REDD atau reducing emission from deforestation and forest degradation adalah sebuah upaya global dalam rangka mereduksi menurunnya fungsi-fungsi ekologi dari Hutan, Di Propinsi Bengkulu, hutan bukan saja berfungsi secara ekologi tetapi berfungsi secara ekonomi bagi warganya yang mengantungkan hidup dari hutan tersebut. Maka langkah-langkah kesiapsiagaan masyarakat (community preparedness) terhadap skema REDD merupakan sesuatu yang harus didorong oleh organ-organ masyarakat sipil (OMS).
Secara institusi Akar aktif melakukan kesiapsiagaan ini sejak pertengahan 2009, bekerjasama dengan Samdhana Institute dan 13 NGOs yang ada di Pulau Sumatera, prakarsa awal dilakukan dengan skala dan cakupan terbatas diperoleh hikmah pembelajaran (lessons learned) dan dikembangkannya perangkat awal penjamin keselamatan masyarakat (community safeguard) yang dirumuskan berdasarkan pengalaman masyarakat di Pulau Sumatera yang selama ini ketika berinteraksi dan berhadap-hadapan dengan beragam investasi skala raksasa terkait lahan dan hutan serta ekstraksi bahan galian tambang dan sumber-sumber energi.
Inisiatif ini berangkat dari kondisi Pulau Sumatera sebagai pulau yang memiliki ekosistem hutan yang berperan untuk pivotal, di satu sisi menjadi penyedia bahan-bahan yang dapat digunakan secara langsung oleh mahluk hidup, dan di sisi lain berperan penting menjamin keberlanjutan fungsi-fungsi alam, seperti tata air, penyaring udara, pengatur kestabilan iklim, serta pengikat tanah. Disatu sisi Pulau Sumatra memiliki jejak historik perombakan bentang alam, sosial dan politik yang sangat panjang, sejak masa pendudukan Belanda di Abad ke-18. Jejak historik tersebut ditandai pola yang konsisten: Perkebunan besar, pembalakan hutan, penambangan bahan-bahan mineral yang ditopang pembukaan jejaring sarana dan prasarana pendukung percepatan industri berbasis kekayaan alam. Jejak tersebut secara konsisten menunjukkan tingginya daya rusak, besarnya dampak yang diemban dan kecilnya manfaat yang dinikmati masyarakat.
Perubahan iklim memperburuk keadaan yang ada. Di satu sisi perubahan iklim disumbang oleh massifnya deforestasi dan degradasi hutan di Pulau Sumatera, di sisi lain perubahan iklim menjadi potensi ancaman keberlanjutan kehidupan dan fungsi-fungsi alam wilayah tersebut. Pulau Sumatera merupakan pulau yang memiliki laju deforestasi tertinggi. Dan tentu saja Deforestasi ini membuka gerbang bagi kemerosotan mutu hidup dan mutu lingkungan. Deforestasi menjadi mesin ampuh penurun daya dukung lingkungan dan kelentingan sosial. Hal ini menyebabkan pelipatgandaan daya rusak suatu bencana ekologis, baik yang murni alami maupun yang dipicu oleh akumulasi dampak kegiatan manusia dalam jangka waktu lama
Pertanyaan terpenting yang harus dijawab adalah menemukan titik temu dan korelasi antara kebutuhan ekonomi masyarakat dengan fungsi hutan. Oleh karena itu REDD seharusnya bukan semata-mata tentang lahan hutan dan karbon, tetapi harus diarahkan sebagai suatu kesepakatan pembenahan dan pembaruan tata-kelola hutan, dengan mengutamakan pengendalian faktor-faktor penyebab deforestasi. Seperti yang dipaparkan Jackson (2005), upaya adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim melalui penataan ruang harus mengedepankan status keselamatan manusia.
Skema tersebut sesungguhnya memiliki tuntutan yang sangat tinggi dalam hal tata-kelola ekonomi dan lingkungan bagi Indonesia. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya REDD seharusnya tidak diperlakukan sebagai suatu investasi (prakarsa baru), tetapi sebagai upaya pengendalian meluasnya dampak kerusakan (damage control) dan pemberdayaan (empowerment) struktur kebijakan dan tata-kelola wilayah yang saat ini terbukti sangat lemah, salah satunya melalui pembenahan penataan ruang. Penataan ruang yang efektif adalah upaya untuk memenuhi prasyarat kunci prakarsa-prakarsa adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim di Indonesia. Agenda adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim di Indonesia hanya dapat berhasil apabila secara sistematik dilakukan rekonsiliasi tunggakan-tunggakan masalah keruangan dan pertanahan, yang selama ini terbukti ampuh menjadi faktor penguat daya rusak kegiatan-kegiatan pembangunan terhadap daya dukung lingkungan dan kelentingan sosial.
Dari perspektif masyarakat, suatu kewaspadaan dini (early precaution) terhadap dampak dan risiko berbagai bentuk prakarsa dari luar menjadi langkah mendasar. Rendahnya manfaat yang dinikmati masyarakat dari kegiatan eksploitasi kekayaan alam skala besar di Pulau Sumatera di satu sisi menjadi argumen yang kerap digunakan mendorong upaya pelibatan masyarakat. Namun hal tersebut harus dilatarbelakangi satu pemahaman dan kesadaran kritis tentang daya-rusak yang tidak terhindarkan berbagai bentuk eksploitasi kekayaan alam terhadap kegunaan dan manfaat jangka-panjang bagi kehidupan masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Hal ini juga berlaku bagi REDD, sebagai sebuah skema investasi.
Perangkat awal penjamin keselamatan masyarakat (community safeguard)
Paradigma pembangunan kehutanan di Indonesia saat ini telah mengalami perubahan dalam memandang masyarakat di sekitar hutan maupun yang berada di dalam kawasan, seperti termaktub dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. 37 tahun 2007 tentang Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang menjelaskan bahwa:
“Penyelenggaraan hutan kemasyarakatan dimaksudkan untuk pengembangan kapasitas dan pemberian akses terhadap masyarakat setempat dalam mengelola hutan secara lestari guna menjamin ketersediaan lapangan kerja bagi masyarakat setempat untuk memecahkan persoalan ekonomi dan sosial yang terjadi di masyarakat (Pasal 3). Hutan kemasyarakatan bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat melalui pemanfaatan sumberdaya hutan secara optimal, adil dan berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi hutan dan lingkungan hidup (Pasal 4).”
Adanya ruang kebijakan ini harus disikapi secara konstruktif oleh semua pihak kepentingan di daerah dalam upaya memenuhi usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan dan keberlanjutan pembangunan wilayah kehutanan secara lestari.
Sejalan dengan semangat reformasi dan otonomi Pembangunan Daerah maka pemerintah dituntut untuk merubah pola manajemen pembangunan, yaitu dari Pemerintah sebagai pelaksana utama pembangunan menjadi fasilitator, akselator dan pengendalian pelaksanaan program pembangunan. Dengan demikian, program pembangunan yang dirancang harus mampu meningkatkan peran dan partisipasi masyarakat secara luas. Sebagai untuk memastikan perangkat awal penjamin keselamatan masyarakat (community safeguard) berjalan Akar Foundation telah melakukan beberapa inisiatif implementatif yang lebih diarahkan pada kebutuhan pola pengembangan kelembagaan atas program HKm yang sedang berjalan dan penguatan kapasitas anggota kelompok HKm guna menterjemahkan kebutuhan program HKm secara berkelanjutan. Dan memastikan bangunan komunikasi parapihak (Multistakeholders) dalam mendukung program Pembangunan Kehutanan di daerah Propinsi Bengkulu secara konstruktif akan diwujudkan melalui assessment data dan inventarisis potensi dan masalah atas tata kelola kehutanan.
Hikmah pembelajaran (lessons learned)
Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Lebong adalah Secara Adminsitratif Kabupaten yang dipilih untuk mengimplementasi ide ini, dimana di kedua Kabupaten ini terjadi tumpang tindih (bundle), baik tumpang tindih paradigma (bundle of paradigm), tumpang tindih kebijakan (bundle of disposition) dan tumpang tindih hak atas kepemilikan (bundle of rights) pada objek yang kemudian disebut dengan wilayah konservasi atau kehutanan.
Dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. 37 tahun 2007 tentang Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang menjelaskan bahwa hutan kemasyarakatan dimaksudkan untuk pengembangan kapasitas dan pemberian akses terhadap masyarakat setempat dalam mengelola hutan secara lestari guna menjamin ketersediaan lapangan kerja bagi masyarakat setempat untuk memecahkan persoalan ekonomi dan sosial yang terjadi dan bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat melalui pemanfaatan sumberdaya hutan secara optimal, adil dan berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi hutan dan lingkungan hidup.
Dari proses konsolidasi dan assesment ditingkat lapangan, telah terbentuk 27 Kelompok Tani Hutan Kemasyarakatan (HKm) di 5 Desa di Kabupaten Rejang Lebong Propinsi Bengkulu, dan 21 Kelompok telah diverifikasi oleh Departemen Kehutanan sementara sisanya dalm proses verifikasi di tingkat Kabupaten. Di Kabupaten Lebong terdapat 12 Desa yang difasilitasi proses konsolidasi dan assesment awal oleh Akar yang tentu saja dilakukan secara partisipatif. Selain proses pendampingan ditingkat lapangan, Akar bersama masyarakat juga melakukan advokasi kebijakan dan saat ini Akar terlibat secara aktif dan sebagai Tim perwakilan CSO untuk Percepatan Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Hutan Desa (HD) di Bengkulu yang beranggotakan CSO, Dinas Kehutanan Kabupaten dan Propinsi, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP DAS) Ketahun dan Universitas Bengkulu.
Diskusi-diskusi intensif terus dilakukan baik ditingkat lapangan dalam penguatan kapasitas masyarakat dan tentu saja pada akhirnya memastikan tata kelola kawasan berbasis ekologi dan ekonomi bisa diplementasi dan terbentuknya wacana tata kelola kehutanan yang berkelanjutan serta memastikan ruang kelola rakyat ada diatasnya.