Catatan dari Seminar Mengembalikan Legitimasi dan Pemberlakukan Hukum dan Lembaga Adat Rejang di Kabupaten Lebong
‘orang yang beradat tapi tidak beragama itu bisa dimaklumi, tetapi jika orang yang beragama tapi tidak beradat itu sangat keterlaluan….’ (H.Rosjansyah,SI.p,Msi- Bupati Lebong)
Kata-kata tersebut disampaikan oleh Bupati Kabupaten Lebong ketika memberikan kata sambutannya ketika membukan Seminar Mendorong Pengakuan Lembaga dan Hukum Adat di Kabupaten Lebong yang dilaksanakan oleh HuMA dan Akar Bengkulu pada hari Jum’at tanggal 21 Juni 2013 yang dilaksanakan di Aula Pertemuan Pemerintahan Kabupaten Lebong, seminar yang dilaksanakan ini merupakan rangkaian aktivitas yang telah dilaksanakan sebelumnya baik dalam bentuk Focus Group Discussion (FGD) maupun konsultasi Publik tentang Hukum Adat yang dilaksanakan oleh Akar di beberapa titik di Kabupaten Lebong.
Temuan-temuan penting yang didapati dari FGD dan Konsultasi Publik adalah bahwa dalam implementasi Peradilan Adat; didapati minimnya acuan dalam beracara adat, ketika dilakukan praktek peradilan adatpun dalam prakteknya hanya menyelesaikan kasus-kasus normatif (Asusila) dan terkesan ‘dipolitisasi’ dan ‘dikomersialisasi’ oleh pelaksana peradilan adat, jika dilihat lebih dalam ruang-ruang pelanggaran ini diakibatkan karena ketimpangan kapasitas antar pelaku peradilan adat serta lemahnya hukum adat ketika dihadapkan dengan hukum formal disatu sisi, dan sisi lainya adalah lemahnya penghormatan komunitas atau pihak yang bersengketa atas keputusan peradilan adat.
Menurut Bupati Kabupaten Lebong H.Rosjansyah, proses Penguatan Kapasitas dan Pengakuan bagi Hak Adat adalah prioritas yang harus diselesaikan karena adat menjadi pondasi dan acuan ketertiban dalam berkehidupan sehingga elemen yang menempel pada adat baik lembaga, hukum dan wilayah adat adalah sesuatu yang harus dijaga dihormati karena tidak hanya sebagai sumber indentitas tapi lebih dari itu sebagai sumber hidup, pertahanan bahkan kepercayaan dan yang paling penting bahwa Kabupaten Lebong adalah Asal Lahirnya Peradaban Rejang.
Sebagai dukungan kongkrit dari Pemerintahan Kabupaten Lebong dalam mendukung pengakuan Lembaga dan Hukum Adat Rejang, dalam seminar ini dilaksanakan penandatangan kesepakatan antara Pemerintah Kabupaten Lebong dengan HuMA dan Akar Bengkulu yang isinya adalah Mendorong Upaya peningkatan kapasitas institusi dan sumber daya manusia yang akan dilaksanakan dalam bentuk penyelenggaraan seminar, pelatihan, pendampingan hukum, dan legislative drafting penyiapan produk hukum daerah serta Upaya penguatan hukum pada tingkat masyarakat di Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu untuk 5 tahun Kedepan. Pada Penandatangan Kesepakatan ini Pemerintah Kabupaten Lebong diwakili oleh Bupati Kabupaten Lebong Bapak Rosjonsyah, S. IP, M.Si, HuMA diwakili oleh Direktur Eksekutif Huma Bapak Andiko, SH,MM sementara dari Akar Bengkulu diwakili oleh Direktur Eksekutif Akar Bengkulu Bapak Sugian Bahanan.
Setelah dilaksanakan penandatangan kesekapakatan, untuk menjawab masalah hasil inventarisir yang dilaksanakan oleh Tim Akar sebelumnya, maka dilaksanakan Seminar yang menghadirkan beberapa orang pembicara, acara seminar dan penyampaian pokok-pokok pikiran ini dimoderatori oleh Deputi Direktur Akar Bengkulu Saudara Rahmat Hidayat. S, Sos.
Pembicara pertama dalam seminar ini adalah Bapak Kadirman,SH selaku Ketua Badan Musyawarah Adat (BMA) Kabupaten Lebong sebagai inisiator dan penulis Draf Kompilasi Hukum Adat Rejang, dalam kesempatan ini Bapak Kadirman SH menyampaikan bahwa BMA Kabupaten Lebong melalui Pemerintah Kabupaten Lebong telah mengajukan 3 buah Raperda antara lain Raperda Lembaga Adat, Raperda Tulisan Adat dan Raperda Hukum Adat, ketiga Reperda ini adalah bentuk dari Pengakuan Institusi dan Hak Adat, alasan penting dari ketiga Raperda ini karena Kabupaten Lebong adalah wilayah asal dan tempat lahirnya Adat Rejang serta kesepakatan antar kepala Suku Rejang yang tertuang dalam Sumpah Adat yang kemudian disebut dengan ‘Supaeak Semoayo Bejanjai Setio’. Ditambahkan bahwa dalam kompilasi hukum adat yang telah disusun dan disebut dengan Kelpiak Ukum Adat Jang sebagai turunan dari Raperda yang nantinya akan dilegitimasi oleh Peraturan Bupati memuat tentang Azas, Prinsip, Metode Penyelesaian Adat yang mengacu pada pola musyawarah mufakat yang tidak hanya membahas kasus normatif dan budaya Rejang tapi juga diperluas pada kasus tata kelola ruang, tata kelola sumber daya alam dan tata kelola ekonomi. Kemudian lembaga yang akan melaksanakan tertib berperadilan adat ini disebut dengan lembaga Hakim Adat atau ‘Jenang Kutai’ berjumlah 6 orang terdiri dari 4 orang representatif ketua suku, 1 orang Ketua BMA tingkat Desa dan 1 orang Kepala Desa sebagai Kepala Adat ditingkat Desa atau Kutai.
Pembicara kedua adalah Representatif Pemuda Adat Rejang Saudara Batara Yuda, ada pengakuan jujur yang disampaikan dalam seminar ini bahwa terjadi proses penurunan pemahaman bagi pemuda yang ada di Kabupaten Lebong tentang sistem (Budaya, Hukum dan Kearifan Adat) Rejang, selain penguatan pemahaman dan wawasan serta pengetahuan tentang adat ditingkat pemuda, partisipasi politik masyarakat adat adalah prasyarat penting dalam mendorong pengakuan hukum adat. Menurut Batara Yuda Persoalan pengakuan ini menjadi penting karena masyarakat adat yang ada di Lebong diikuti oleh hak azas yang melekat diantaranya hak untuk hidup layak, informasi, lingkungan, akses sumber daya alam, kekayaan intelektual dan mengembangkan serta mewarisi kekayaan adat dan berhak menolak peraturan jika merugikan masyarakat adat. Paling tidak menurut Batara Yuda Persoalan alas hak adat ini bisa terjawab jika DPRD Kabupaten Lebong segera mengesahkan Raperda Hukum Adat, maka Perda ini nantinya bisa menjadi titik masuk dalam pengakuan Wilayah dan Hutan Adat dimana sebagian besar luas wilayah administratif Kabupaten Lebong adalah Kawasan Hutan yang diperuntukan untuk Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS), Hutan Lindung, Cagar Alam dan Taman Wisata Alam dan kawasan ini dulunya adalah Hutan Marga. Selain mendorong pengakuan hak atas wilayah adat, Hukum Adat juga akan berkontribusi yang sangat efektif sebagai rambu dan tertib sosial bermasyarakat disamping sebagai ruang bagi pengakuan – pengakuan dan perlindungan bagi perempuan dalam sengketa adat.
Pembicara ketiga dalam seminar ini adalah Direktur Eksekutif HuMA Saudara Andiko. SH, MM. Presentasinya dimulai dengan menceritakan gugatan terhadap UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, dengan masa sidang 1 tahun Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Keputusan MK 35 UUP Kehutanan, dimana terdapat pemisahan antara Hutan Adat dengan Hutan Negara, tentu ini bisa menjadikan ruang bagi pengakuan hutan adat di Kabupaten Lebong yang harus dimanfaatkan secara maksimal, ruang dan peluang ini bisa masuk melalui PP 35 tahun 2004 tentang wewenang Bupati sebagai Kepala Daerah untuk melegitimasi dan mengakui masyarakat adat diwilayahnya (ada lembaga adat, wilayah adat, hukum adat, kepatuhan masyarakat terhadap sistem adatnya), tentu pekerjaan yang harus dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah melaksanakan rekomendasi penting untuk ditindak lanjuti dari keputusan MK; Indentifikasi dan inventarisasi wilayah masyarakat adat, penguatan kelembagaan adat, memperkuat tata kelola wilayah/hutan pengakuan ditingkat daerah.
Pembicara keempat adalah Bapak Andi Wijaya sebagai Penggiat dan Pemerhati masyarakat adat di Sumatera bagian Selatan, dia menyatakan dari hasil riset dan observasi yang telah dilakukannya ada pola tata kelola kelembagaan yang seragam dan unik di sumatera bagian selatan dalam bentuk Marga dan ini akan memudahkan proses identifikasi atas hak adat yang melekat disetiap komunitas Marga yang ada, seperti yang diisyaratkan dalam konstitusi Amandemen UUD 1945 UUD pasal 18 B ayat 1 dan 2 bahwa masyarakat adat yang dimaksud harus memiliki wilayah, lembaga, hukum dan masyarakat adat. Tentu saja untuk mengkonkritkan atas kebutuhan konstitusi ini maka perlunya dilakukan pemetaaan partisipatif wilayah adat sebagai basis klaim pengakuan, pentingnya mendokumentasi tentang sistem adat (kearifan, hukum, budaya dll) serta adanya ruang pengakuan untuk tata kelola ruang wilayah adat oleh masyarakat adat dalam kebijakan baik ditingkat daerah maupun ditingkat nasional.
Setelah masing-masing pembicara menyampaikan pokok-pokok pikirannya, moderator seminar kemudian memfasilitasi diskusi interaktif dengan peserta seminar, secara umum kebutuhan mendasar yang dibutuhkan adalah pengakuan ditingkat daerah dalam bentuk pengesahan 3 Raperda (Hukum Adat, Lembaga Adat dan Tulisan Adat) menjadi PERDA. Sementara dalam Kompilasi Hukum Adat yang telah disusun hendaknya juga memisahkan antara denda dan sangsi, dimana Denda haruslah disesuaikan dengan bentuk kerugian fisik pesakitan sementara sangsi harus mengacu atas dasar hitungan kerugian atas pemulihan keseimbangan sosiologis yang memperhatikan faktor historis. Terhadap simbol-simbol adat baik bahasa, rumah adat dan lain-lain menjadi sumber inspirasi dan identitas masyarakat adat yang ada di Lebong harus juga dijaga dan diakui.
Kegiatan seminar ini kemudian ditutup oleh Akar, yang menyatakan bahwa ini akan menjadi model pengakuan hak-hak adat yang telah digerus oleh kepentingan politik, ekonomi dan budaya dimana secara masif terjadi penghancuran struktur-struktur sosial, maka ruang yang telah disediakan oleh Negara melalui kebijakan pemisahan antara hutan negara dengan hutan adat ini menjadi titik masuk untuk membangun alas hak masyarakat adat.