Oleh Erwin Basrin 

Di pesisir Bengkulu, dari kesunyian pulau Enggano hingga riuhnya Pasar Seluma dan pantai nelayan Linau–Merpas di Kabupaten Kaur, laut adalah sumber kehidupan sekaligus arena konflik. Praktik penangkapan industri, terutama pukat tarik dasar (trawl), konversi pesisir, dan lemahnya penegakan regulasi telah mempersempit ruang hidup nelayan tradisional dan merusak habitat penting seperti lamun, mangrove, dan terumbu. Tuntutan untuk pengakuan hak atas laut oleh masyarakat hukum adat bukan sekadar soal restitusi legal. ia merupakan upaya mempertahankan cara hidup, ketahanan pangan, dan pengelolaan ekosistem yang berkelanjutan.

Untuk menganalisis fenomena tersebut saya mencoba untuk membuat tulisan sederhana merujuk dua tradisi teori Garrett Hardin yang memperingatkan tentang tragedy of the commons, risiko kerusakan ketika akses ke sumber daya bersifat terbuka dan teori Elinor Ostrom yang menunjukkan jalan keluar empiris Dimana komunitas dapat menyusun aturan dan institusi efektif untuk mengelola commons. Tulisan ini menempatkan perdebatan teori tersebut dalam praktik di wilayah kerja Akar Global Inisiatif yaitu di Paulau Enggano, Pasar Seluma Kabupaten Seluma,  dan Desa Linau dan Merpas Kabupaten Kaur, lalu menawarkan kerangka transformasi hukum dan kelembagaan untuk mewujudkan pengakuan hak laut berbasis adat sebagai bagian turunan dari konsep community based marine management (CBMM) yang telah di susun oleh Akar Global Inisiatif.

Garrett Hardin (1968) memperingatkan bahwa dalam kondisi open access sumber daya yang sulit dikecualikan dan rival aktor individual cenderung memaksimalkan keuntungan jangka pendek sehingga menimbulkan eksploitasi berlebih yang merusak seluruh komunitas.[1] Dalam konteks laut pesisir, logika ini muncul ketika kapal-kapal berskala besar masuk ke perairan tradisional dan menangkap secara intensif, merusak habitat dan menurunkan stok ikan sehingga nelayan kecil kehilangan mata pencaharian.

Namun Elinor Ostrom (1990) membantah gagasan bahwa commons pasti menuju kehancuran tanpa intervensi negara atau privatisasi. Berdasarkan studi komparatif lintas komunitas, Ostrom menunjukkan bahwa masyarakat lokal sering mengembangkan aturan-aturan adaptif, mekanisme monitoring, sanksi, dan institusi pemecahan konflik yang efektif selama ada kepastian hak, kapasitas untuk berorganisasi, dan dukungan terhadap kapasitas penegakan.[2] Prinsip-prinsip desain Ostrom (jelasnya batas, aturan yang sesuai, mekanisme pemantauan, sanksi bertingkat, pengakuan hak-kemampuan lokal, dan mekanisme resolusi konflik) menjadi pijakan untuk membayangkan model pengelolaan laut berbasis komunitas (Community-Based Marine Management, CBMM) yang relevan di Bengkulu.

Kedua perspektif ini saling melengkapi. Hardin memberi peringatan structural, mengapa open access berbahaya sementara Ostrom memberi resep kelembagaan bagaimana komunitas bisa membalikkan kecenderungan itu. Dalam praktik, kunci transformasi adalah pengakuan hak (tenurial) dan pembentukan institusi bersama yang menggabungkan norma adat, pengetahuan lokal, dan dukungan negara.

Di Bengkulu, Pulau Enggano dikenal sebagai pulau terisolasi dengan tradisi adat yang kuat. Komunitas adat menuntut pengakuan wilayah laut hingga 3 mil dari bibir pantai sebagai hak ulayat laut mereka. Ekologinya menampilkan terumbu karang, padang lamun, dan pantai peneluran penyu sebagai habitat sensitif yang rentan terhadap penangkapan destruktif. Keterbatasan pengawasan pemerintah dan pelanggaran izin eksternal menempatkan komunitas di posisi rapuh sehingga pengakuan hak laut menjadi syarat untuk menegakkan aturan adat dan mekanisme pemantauan partisipatif.

Pasar Seluma, salah satu desa nelayan di Kabupaten Kaur adalah pusat pasar ikan dan basis nelayan kecil yang bergantung pada tangkapan di zona pesisir. Konflik antara nelayan tradisional dan kapal trawl kerap terjadi. Nelayan tradisional melaporkan penurunan tangkapan, kerusakan dasar laut, dan kriminalisasi ketika menentang kapal besar. Ekonomi lokal rentan, dan kelembagaan formal (patroli laut, koordinasi antar-instansi) seringkali lemah.

Sementara di Linau dan Merpas, komunitas pesisir memiliki praktik pengelolaan tradisional namun berdamai dengan tekanan ekonomi dari perusahaan di hulu dan perizinan tambak yang tidak responsif terhadap hak adat. Ancaman habitatnya Adalah kerusakan padang lamun, perlombaan tangkap ikan memicu kewaspadaan komunitas yang mulai mengorganisir diri untuk pemantauan bersama.

Mengapa Pengakuan Hak Laut Penting & Bagaimana Teori Memandu Praktik

Tanpa kepastian hak, komunitas tidak memiliki wewenang formal untuk mengecualikan pelaku eksternal atau menegakkan sanksi terhadap pelanggaran. Dari sudut Hardin, ketiadaan batas yang diakui mendorong open access. Dari sudut Ostrom, kepastian hak menjadi salah satu prasyarat desain institusional. Hanya dengan pengakuan (formal atau de facto) komunitas bisa menetapkan aturan yang sah dan menjamin kepatuhan. Oleh karena itu tuntutan Enggano untuk pengakuan 3 mil, serta inisiatif pemetaan wilayah tangkap di Seluma dan Kaur, adalah langkah strategis untuk mengubah rezim akses.

Ostrom menekankan aturan lokal yang cocok dengan kondisi setempat. Di ketiga lokasi, institusi adat (mis. lembaga adat Enggano, kelompok nelayan Pasar Seluma, forum masyarakat CBMM di Linau–Merpas) sudah memiliki norma pengelolaann temporary closure, pendataan, pantau komunitas yang bisa menjadi fondasi. Pengakuan hak harus diikuti pembentukan Customary Marine Council atau mekanisme serupa yang mengintegrasikan representasi perempuan dan pemuda, serta prosedur FPIC (free, prior and informed consent).

Ostrom juga menekankan monitoring yang kredibel. Model pemantauan partisipatif (community rangers, sistem pelaporan menggunakan radio/GPS, dan integrasi dengan kampus atau NGO) relevan untuk Bengkulu. Di Pasar Seluma, misalnya, kelompok pemantau nelayan harus bisa mendokumentasikan pelanggaran trawl sehingga polisi air atau dinas terkait dapat bertindak cepat. Pengakuan hak memudahkan penggunaan bukti peta partisipatif sebagai dasar tindakan.

Sanksi berskala dan mekanisme resolusi konflik lokal meningkatkan kepatuhan. Sanksi adat (denda sosial, termasuk larangan jual-beli sementara) jika diakui secara administratif dapat memperkuat efek jera tanpa harus selalu mengandalkan aparat. Namun perlu juga jalur hukum formal bagi pelanggaran serius dan ini tentu menuntut sinergi antara lembaga adat dan aparat negara.

Pengakuan hak harus beriringan dengan program transisi mata pencaharian, dukungan untuk teknologi tangkap ramah lingkungan, nilai tambah produk perikanan, dan akses pasar yang lebih adil (koperasi nelayan). Pengakuan ini mengatasi godaan adopsi praktik destruktif karena tekanan ekonomi. Pendekatan ini menggabungkan prinsip Ostrom: aturan yang membuat manfaat dirasakan semua pemangku kepentingan.

Jalan Menuju Pengakuan & Pengelolaan yang Berkelanjutan

Berdasarkan kombinasi pelajaran Hardin–Ostrom dan kondisi lapangan, berikut langkah-langkah operasional:

Legalkan Pengakuan Hak Laut Komunitas (Tenurial Recognition)

  • Dorong pendaftaran hak ulayat laut (3 mil untuk Enggano; klaim zona tangkap tradisional untuk Seluma dan Linau–Merpas) melalui proses partisipatif yang menghasilkan peta resmi dan dokumen FPIC.
  • Advokasi Peraturan Daerah (Perda) atau SK dinas yang mengakui kewenangan lokal dalam pengelolaan zona pesisir.

Membangun Institusi Co-Management yang Inklusif

  • Bentuk Customary Marine Council (dengan wakil perempuan, pemuda, nelayan, dan lembaga adat) yang berfungsi menetapkan aturan zonasi, seasonal closure, dan mekanisme sanksi.
  • Rancang mekanisme koordinasi formal dengan KPHL, Dinas Perikanan, dan kepolisian air.

Pemantauan Partisipatif & Sistem Evidensi

  • Latih komunitas menggunakan alat sederhana: GPS, kamera ponsel, logbook patroli, dan sistem pelaporan radio. Integrasikan data ini dengan lembaga akademik (mis. Universitas Bengkulu) untuk verifikasi ilmiah.
  • Buat “buku bukti” pelanggaran yang dapat dipakai dalam proses penegakan.

Penegakan Terpadu & Sanksi Bertingkat

  • Susun aturan sanksi adat yang diakui oleh pemerintah daerah; kombinasikan sanksi sosial dan administratif (denda, pencabutan izin admin) untuk pelanggar eksternal.
  • Tetapkan jalur cepat untuk penindakan ketika bukti pelanggaran terkumpul.

Ekonomi Alternatif & Penguatan Nilai Tambah

  • Kembangkan koperasi perikanan, fasilitas pengolahan sederhana, ekowisata komunitas, dan skema sertifikasi produk lestari untuk meningkatkan pendapatan nelayan.
  • Skema kompensasi atau insentif bagi kapal yang beralih ke alat tangkap ramah lingkungan.

Pendidikan, Kesadaran, dan Advokasi Publik

  • Kampanye publik lokal–nasional tentang dampak trawl dan nilai pengelolaan komunitas; gunakan media lokal dan jaringan donor untuk menarik dukungan.
  • Pelatihan hukum untuk pemimpin adat agar mereka bisa bernegosiasi dalam forum formal.

Implementasinya tentu akan menghadapi tantangan berupa resistensi dari pemilik modal dan operator kapal besar; korupsi birokrasi; kriminalisasi ketika komunitas melakukan penegakan serta masalah internal seperti ketimpangan gender dalam pengambilan keputusan. Untuk mengurangi risiko jalan yang harus di lalui Adalah jalin aliansi multi-aktor (LSM nasional, akademisi, media), dokumentasikan bukti kuat, dan gunakan jalur hukum serta diplomasi publik untuk membentuk legitimacy.

Kisah laut di Enggano, Pasar Seluma, dan Linau–Merpas bukan sekadar soal ikan dan jarring. Ia tentang hak hidup, martabat, dan hak atas masa depan. Hardin memperingatkan ancaman open access; Ostrom menunjukkan bahwa masyarakat yang diorganisir bisa menyusun solusi efektif. Jalan keluar paling realistis menuntut pengakuan hak laut berbasis adat, penguatan institusi lokal menurut prinsip-prinsip desain Ostrom, dan kombinasi sanksi-sanksi adat dengan dukungan penegakan formal. Pendekatan demikian tidak hanya menyelamatkan stok ikan dan habitat, tetapi juga memulihkan kedaulatan komunitas pesisir untuk mewujudkan laut sebagai commons yang dikelola secara adil, berkelanjutan, dan berakar pada hak-hak masyarakat adat.

 

[1] Garrett Hardin, “The Tragedy of the Commons,” Science 162, no. 3859 (1968): 1243–1248.

[2] Elinor Ostrom, Governing the Commons: The Evolution of Institutions for Collective Action (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), terutama bagian yang membahas prinsip-prinsip desain untuk institusi pengelolaan sumber daya bersama (mis. perumusan aturan, mekanisme pemantauan, sanksi, dan penyelesaian konflik)

Language

 - 
Arabic
 - 
ar
Bengali
 - 
bn
German
 - 
de
English
 - 
en
French
 - 
fr
Hindi
 - 
hi
Indonesian
 - 
id
Portuguese
 - 
pt
Russian
 - 
ru
Spanish
 - 
es

Sosial Media

Privacy Preference Center