Oleh: Dedek Hendry/Koordinator Program
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (MHA) Rejang mengalami lima tahapan perkembangan dari bersifat genealogis hingga teritorial, yakni meramu (genealogis), petulai (genealogis), kutei (genealogis), kuteui (teritorial), dan marga (teritorial). Pada masa meramu, masyarakat Rejang hidup mengembara dalam kelompok yang kecil. Mereka menggantungkan kehidupan dari hasil hutan dan sungai. Setelah mengenal teknik bercocok tanam, mereka mulai menetap dan membangun perkampungan yang didiami beberapa keluarga untuk mencukupi keperluan bersama atau disebut Petulai. Kesatuan kekeluargaan yang timbul dari sistem unilateral, dengan sistem garis keturunan yang patrilineal, dan cara perkawinan yang eksogami (Siddik, 1980) itu dipimpin oleh seseorang yang disebut Ajai.
Pada masa ini, masyarakat Rejang terbagi empat Petulai dengan pemimpinnya adalah Ajai Bintang, Ajai Begelan Mato, Ajai Siang dan Ajai Tiea Keteko. Pada masa Ajai ini datanglah empat orang utusan negara bagian Majapahit bernama Biku Sepanjang Jiwo, Biku Bembo, Biku Bejenggo dan Biku Bermano. Kedatangan mereka diterima baik, bahkan mereka diangkat menjadi pemimpin. Di bawah pimpinan empat biku ini, masyarakat Rejang mulai mempunyai hukum yang mengatur kehidupan masyarakat dan lingkungan. Sehingga, terbentuklah satu masyarakat hukum adat dengan jumlah penduduk tidak lebih 100 orang, dan terdiri dari 10 atau 15 rumah tangga yang disebut Kuteui. Kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat genealogis dengan petulainya berciri patrilineal eksogami (Siddik, 1980) ini pemimpin oleh Tuai Kuteui.
Seiring dengan pertambahan penduduk, masyarakat Rejang membuka kuteui-kuteui baru yang secara perlahan tidak lagi beranggotakan orang se-petulai, tetapi campuran orang berbagai petulai dan pendatang. Dengan demikian, kuteui tidak lagi merupakan satu masyarakat hukum adat bersifat genealogis, tetapi sudah menuju ke arah masyarakat hukum adat bersifat teritorial. Lalu, pada masa penjajahan Belanda, keberadaan kutei diubah menjadi marga, suatu masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial (Siddik, 1980). Perubahan marga dilakukan oleh asisten residen Belanda di Keresidenan Palembang, J Walland (1861 – 1865) yang dipindahkan ke Bengkulu, dengan mengadopsi peninggalan pemerintahan Sultan Palembang. Marga dibentuk dari beberapa kuteui yang disatukan di bawah pimpinan yang disebut Pesirah. Kepala kutuei disebut proatin atau depati atau ginde. Ginde yang berdiam di kutei tempat pasirah berdomisili disebut pembarap. Selain pasirah dan jajarannya, pada kelembagaan marga juga terdapat Dewan Marga yang berperan membuat keputusan bersama dengan pasirah, dan mengawasi pemerintahan pasirah dan warga marga.
Hingga tahun 1961, Siddik (1980) mencatat, Masyarakat Hukum Adat Rejang mendiami 28 marga di wilayah Provinsi Bengkulu dan 15 marga di Sumatera Selatan. Sebanyak 28 marga di wilayah Provinsi Bengkulu itu meliputi Marga Suku IX, Marga Suku VIII, Marga Bermani-Jurukalang, Marga Selupu Lebong, Marga Bermani Ulu, Marga Selupu Rejang, Marga Merigi, Marga Bermani Ilir, Marga Sindang Beliti, Marga Suku Tengah Kepungut, Marga Selupu Baru, Marga Selupu Lama, Marga Merigi Kelindang, Marja Jurukalang, Marga Bang Haji, Marga Semitul, Marga Bermani Sungai Hitam, Marga Bermani Perbo, Marga Bermani Palik, Marga Air Besi, Marga Kerkap, Marga Lais, Marga Air Padang, Marga Bintunan dan Marga Sebelat.
Sedangkan 15 marga di wilayah Provinsi Sumatera Selatan itu meliputi Marga Muara Rupit, Marga Rupit Ilir, Marga Rupit Tengah, Marga Rupit Dalam, Marga Proatin V, Marga Tiang Pumpung Kepungut, Marga Sindang Kelingi Ilir, Marga Batu Kuning Lakitan, Marga Suku Tengah Lakitan Ulu, Marga Sikap Dalam Musi Ulu, Marga Tedajin, Marga Kejatan Mandi Musi Ulu, Marga Lintang Kiri Suku Sadan, Marga Semidang, Marga Lintang Kanan Suku Muara Pinang, Marga Lintang Kanan Suku Muara Danau dan Marga Lintang Kanan Suku Babatan.
Pola Penguasaan Lahan-Hutan
Hutan (imbo) bagi Masyarakat Hukum Adat Rejang merupakan sumber kehidupan baik secara ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan. Pada masa Kuteui, imbo merupakan kepunyaan bersama. Imbo milik kuteui adalah imbo kepunyaan bersama yang diwariskan oleh nenek moyang atau dikenal dengan istilah tanak tanai utan piadan nenek muyang keme (tanah hutan piadan nenek moyang kami). Begitu eratnya hubungan dengan imbo, masyarakat Rejang memiliki penyebutan mengenai hutan dan tata gunanya seperti imbo lem, imbo cadang, imbo bujang, belukar, tebo, sakea, jamai, jamai imbo, ujung taneuik, sawa air idup dan sawa bendar langit.
Penyebutan Hutan dan Tata Guna

IstilahArti
ImboHutan
Imbo LemHutan belantara atau hutan larangan
Imbo CadangHutan cadangan
Imbo BujangHutan yang sudah pernah dikelola, namun telah ditinggalkan atau ditelantarkan lebih dari 15 tahun
BelukarHutan yang sudah pernah dikelola, namun telah ditinggalkan atau ditelantarkan lebih dari 7 tahun
TeboHutan dengan kemiringan 40 derajat dan berada di bawah bukit
SakeaHutan yang telah dibuka hingga dengan pembakaran
JamaiLadang yang telah menghasilkan
Jamai ImboLadang yang sudah berubah menjadi kebun
Ujung TaneuikLahan kosong yang berbatasan dengan Jamai yang bisa menjadi cadangan pengelola jamai untuk memperluas lahan
Sawa Air IdupSawah yang pengairannya bersumber dari air sungai
Sawa Bendar LangitSawah yang pengairannya bersumber dari air hujan

Setelah berubah menjadi marga, imbo sebagai milik bersama kuteui berubah menjadi milik bersama marga. Kawasan imbo milik marga yang merupakan gabungan imbo milik beberapa kuteui itu disebut luak langgam (batas kekuasaan). Terhadap luak langgam, marga memiliki hak untuk menguasai dan mengaturnya untuk kepentingan warga marga. Sedangkan hak warga marga terhadap luak langgam meliputi hak untuk membuka dan mengelola imbo; memungut dan mengambil hasil-hasil imbo, hasil berburu binatang liar, dan hasil sungai atau danau yang berada di imbo; dan hak untuk berdiam atau bertempat tinggal. Pada hakekatnya, terang Hazairin dalam Siddik (1980), hak bersama marga dan hak anggota marga adalah satu. Bedanya adalah kalau ditinjau dari sudut anggota suatu masyarakat hukum adat, ia dinamakan hak peserta. Sedangkan kalau ditinjau dari sudut kolektivitas, ia dinamakan hak bersama. Dengan kata lain, secara intrinsik dalam hak bersama terdapat hak peserta marga.
Dalam pelaksanaan hak, warga marga memiliki hak utama, hak pakai dan hak milik. Hak utama adalah suatu hak yang dimiliki setiap warga marga yang mendahului hak warga lain yang semarga. Hak utama ini berlaku untuk jangka waktu tertentu. Sedangkan hak pakai adalah hak untuk mengelola hingga memungut hasil dari pengelolaan hutan atau sawah. Hak pakai ini dibedakan untuk warga marga dan pendatang, dan berlaku untuk jangka waktu tertentu. Sementara hak milik adalah hak kepemilikan warga marga atas hutan atau sawah yang dikelola secara terus menerus.
Jenis-jenis Hak Warga Marga

Hak warga marga–       Membuka dan mengelola imbo
–       Memungut hasil-hasil imbo
–       Memungut hasil berburu binatang liar
–       Memungut hasil sungai atau danau
–       Berdiam atau bertempat tinggal
Hak UtamaHak yang dimiliki setiap warga marga yang mendahului hak warga lain yang semarga, yang berlaku dalam jangka tertentu
Hak PakaiHak untuk mengelola hingga memungut hasil dari pengelolaan ladang atau sawah yang berlaku dalam jangka waktu tertentu
Hak MilikHak kepemilikan warga marga atas kebun atau sawah yang dikelola secara terus menerus yang dapat diwariskan

Sumber: FGD (2015); Hartiman (2013); Siddik (1980)
Hak Utama
Hak utama yang berlaku di MHA Rejang bervariasi menurut objek dan masa berlakunya. Hak utama tersebut meliputi (FGD, 2015; Hartiman, 2013; Siddik, 1980) :

  1. Hak utama atas imbo yang telah diletakkan balai-balai, yang akan hilang bila balai-balai jatuh ke tanah.
  2. Hak utama atas sakea berlaku selama 1 tahun. Hak utama akan hilang bila penggarapan sakea tidak diteruskan dengan beto’o. Apabila penggarapan sakea tidak diteruskan karena sesuatu hal yang dapat dipahami, maka warga yang menggarapnya tidak mendapat sanksi. Tetapi bila sengaja membiarkan sakea begitu saja, bahkan membuka imbo baru, maka warga bersangkutan dijatuhi sanksi dengan alasan tidak bertanggungjawab dan merusak imbo.
  3. Hak utama atas jamai berlaku selama tiga tahun. Setelah tiga tahun pertama membuka dan mengelola jamai dan selanjutnya tidak dikelola lagi, jamai menjadi hak marga. Bila di lahan jamai terdapat pohon buah-buahan yang ditanam oleh warga yang pertamakali membuka dan mengelola jamai, maka hanya lahan yang kembali kepada marga. Sedangkan pohon yang ditanam, tetap menjadi kepunyaan warga yang menanamnya. Terhadap jamai yang telah kembali ke marga, pasirah bisa memberikan izin mengelola jamai kepada warga semarga lainnya. Hanya saja, warga marga yang mendapat izin tersebut tidak boleh merusak pohon yang berada di jamai. Bila dirusak dan mati, maka harus diganti dan mendapat sanksi denda.
  4. Hak utama atas jamai imbo juga berlaku selama 3 tahun. Izin pengelolaan jamai imbo juga bisa diberikan kepada warga semarga lainnya oleh pesirah dengan syarat yang sama dengan jamai.
  5. Hak utama atas ujung taneuik berlaku selama 1 tahun, setelah ujung taneuik tersebut dibuka oleh pengelola jamai.
  6. Hak utama atas sawa air idup berlaku selama tiga tahun. Bila selama tiga tahun sawa air idup tidak dikerjakan lagi atau dibiarkan terbengkalai, maka pengelolaan sawa air idup bisa diberikan kepada warga semarga lainnya.
  7. Hak utama atas sawa bendar langit berlaku selama satu tahun. Jika selama satu tahun sawa bendar langit tidak dikelola lagi, pengelolaan sawa bendar langit bisa diberikan kepada warga semarga lainnya.
  8. Hak untuk mengambil hasil hutan seperti damar, rotan, madu (sialang) berlaku selama tanda sulo yang diberikan atau diletakkan tidak hilang atau rusak.

Hak Pakai
Hak pakai yang diatur dalam hukum adat Rejang hanya terhadap jamai dan sawa bendar langit. Hak pakai diatur untuk orang yang merupakan anggota Masyarakat Hukum Adat Rejang bukan semarga, dan orang luar atau bukan anggota Masyarakat Hukum Adat Rejang meliputi orang luar yang beristeri orang Masyarakat Hukum Adat Rejang dan orang luar yang tidak beristeri orang Masyarakat Hukum Adat Rejang, serta orang bukan anggota Masyarakat Hukum Adat Rejang dan bukan semarga. Hak pakai diberikan seizin pasirah, dengan diajukan terlebih dahulu oleh orang yang ingin mendapatkan hak tersebut melalui tuai kuteui. Hak pakai tersebut meliputi (FGD, 2015; Hartiman, 2013; Siddik, 1980) :

  1. Hak pakai untuk anggota Masyarakat Hukum Adat Rejang bukan semarga

Hak pakai bagi kelompok ini bisa diperoleh setelah meminta izin dari pasirah, dengan membayar sewa bumi. Bila pengelolaan jamai dan sawa bendar langit dilakukan secara terus-menerus, maka hak pakai bisa berubah menjadi hak milik.

  1. Hak pakai untuk orang bukan anggota Masyarakat Hukum Adat Rejang

a. Beristri anggota Masyarakat Hukum Adat Rejang
Hak pakai diberikan atas izin pasirah dengan membayar sewa bumi. Hak pakai untuk kelompok ini dapat berkembang menjadi hak milik bila hak pakai dilakukan secara terus-menerus.
b. Tidak beristri anggota Masyarakat Hukum Adat Rejang
Hak pakai untuk kelompok ini disebut juga hak orang tumpangan. Hak pakai ini tidak boleh dipindahkan kepada orang lain atau ahli warisnya. Hak pakai ini habis masa berlakunya, setelah panen. Orang yang mendapatkan hak pakai ini diwajibkan untuk menyerahkan sebagian dari hasil panen yang digunakan untuk kepentingan bersama anggota marga.

  1. Hak pakai untuk bukan anggota Masyarakat Hukum Adat Rejang dan bukan semarga.

Hak pakai untuk kelompok ini bisa diperoleh seizin pasirah, dan membayar sewa bumi. Hak pakai ini masa berlakunya setelah panen, tidak bisa dipindahtangankan atau diwariskan.
Pola Pengelolaan Hutan
Untuk mengelola imbo, setiap warga marga mengawalinya dengan melakukan survei. Setelah menemukan hamparan imbo yang belum dikelola, berada di dekat aliran sungai atau mata air dan dianggap layak untuk dibuka, calon pembuka imbo akan membuat pemberitahuan terlebih dahulu. Calon pembuka imbo akan menerangi atau menebas semak belukar dengan ukuran 2 – 4 meter persegi di sudut-sudut hamparan lahan imbo yang akan dibuka, dan memancangkan tiga kayu yang diikat dengan akar dan di tengahnya digantungi kayu atau disebut balai-balai, di lahan yang diterangi. Bila warga semarga lainnya melihatnya, warga tersebut tidak akan mengganggu, apalagi sampai menghalang-halangi rencana calon pembuka imbo.
Pemberitahuan itu dilakukan selama 3 bulan. Setelah itu, calon pembuka imbo akan melakukan ritual tabeus untuk menyampaikan permintaan izin kepada roh halus atau leluhur penjaga imbo. Ritual dilakukan dengan meninggalkan sesaji dan mengambil secuil tanah untuk dibawa pulang ke rumah dan diletakkan di bawah bantal. Apabila rencana membuka imbo tidak disetujui, calon pembuka imbo akan mendapatkan mimpi buruk. Selama 3 bulan tidak pernah mendapatkan mimpi buruk, maka calon pembuka imbo meminta izin kepadapasirah melalui tuai kuteui. Bila tidak terdapat pelanggaran hukum adat, permintaan izin dipenuhi oleh pasirah. Berbekal izin dari pasirah, calon pengelola imbo meneruskan rencananya dengan menebas akar-akar pepohonan dan semak belukar. Tiga hingga 6 bulan setelah menebas akar pohon dan semak belukar, calon pengelola imbo menebangi pohon-pohon. Biasanya, penebangan pohon dilakukan menjelang akhir musim kemarau.
Setelah dibiarkan sekitar 3 bulan, maka kayu-kayu pohon dibakar atau neme’un. Pembakaran lazimnya dilakukan menjelang awal musim penghujan. Sebelum neme’un, pengelola lahan akan membersihkan bagian pinggir lahan sebagai batas agar api tidak menjalar ke luar lahan atau menggeges. Batas yang dibuat berjarak 1 – 2 meter. Sewaktu neme’un, pengelola lahan mengawasi api. Bila api menjalar keluar lahan dan membakar semak belukar dan pohon-pohon di luar lahan yang digarap, pengelola lahan dikenakan sanksi juluak tujua. Yakni, mengumpulkan seluruh sisa pembakaran menjadi tujuh tumpukan.
Apabila hasil pembakaran belum memadai, pengelola lahan mengumpulkan kayu-kayu sisa pembakaran untuk dibakar lagi atau disebut ngepoa. Lahan yang digarap hingga ngepoadisebut sakea. Sakea kemudian dibiarkan begitu saja hingga dibasahi air hujan. Sembari menunggu hujan turun, pengelola lahan membuat pancuran air, dan serudungatau tempat beristirahat sewaktu mengelola lahan. Bila hujan turun dan sakea telah diguyur oleh air hujan, aktivitas selanjutnya adalah beto’o (menugal), membuat lubang-lubang kecil di tanah menggunakan sebatang kayu yang diruncingi, menaburi benih padi ke lubang-lubang kecil, dan menutupnya dengan tanah.
Beto’o dilakukan secara bergotong-royong. Pengelola lahan menyiapkan makanan untuk orang-orang yang bergotong-royong. Bubua tingting yang terbuat dari tepung beras, dan nasi dengan lauk umbut aren dan ikan kering. Bubua tingting yang disiapkan bukan hanya untuk orang-orang bergotong-royong, tetapi juga keluarganya. Saat pulang, orang-orang yang bergotong-royong diberikan bubua tingting di dalamkaceung tebet yang terbuat dari bulua (bambu) kapea untuk dibawa pulang. Kegiatan bergotong-royong ini dilakukan secara bergiliran atau disebut ali bilai (ganti hari).
Setelah berumur 5 – 6 bulan, padi mulai berbuah. Semakin intensif merawat dan menjaga padi, pengelola lahan membuat pondok. Pembuatan pondok juga dilakukan dengan bergotong-royong. Pengelola lahan juga menghidangkan makanan persis sama dengan makanan yang disiapkan saat melakukan aktivitas beto’o. Setelah panen, dilakukan acara syukuran atau meket poi. Dalam acara, pengelola lahan menyediakan lemang untuk orang yang menghadiri, dan sesaji seperti pisang emas, sirih, gambir dan lainnya untuk dipersembahkan kepada Dewi Sri. Ladang yang telah menghasilkan inilah yang disebut jamai.
Awalnya imbo dibuka dan dikelola untuk bertanam padi atau ketan. Namun, secara perlahan juga ditanami dengan tanaman muda yang bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan sayur, rempah-rempah (bumbu), obat-obatan dan tradisi (ritual). Biasanya, lahan mulai ditanami dengan tanaman keras yang bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan kayu dan buah setelah dua kali panen padi. Selain untuk berladang dan berkebun (kebun campur atau agroforestry), tidak sedikit pula warga marga membuka imbo untuk dikelola menjadi sawa bendar langit dan sawa air idup.
Pola Memanen Hasil Hutan
Untuk mengambil atau memanen hasil imbo seperti kayu, damar, rotan dan madu, setiap warga marga bisa melakukannya. Langkah yang dilakukan adalah membersihkan semak belukar di bawah pohon dan memancangkan sebatang pohon bambu yang di bagian atasnya telah dipecahkan dan dijepitkan batang bambu lainnya. Tanda terbuat dari bambu itu disebut sulo. Selain sulo, cukilan-cukilan di batang juga bisa menjadi tandanya. Setelah memasang sulo atau membuat cukilan-cukilan, warga tersebut melaporkan kepada tuai kutei. Untuk mengambil hasil hutan tidak diperlukan izin pasirah. Kecuali untuk mengambil hasil hutan di daerah imbo cadang yang telah ditetapkan oleh dewan marga, dibutuhkan izin pasirah.
Larangan dalam Pengelolaan Hutan
Selain imbo cadang yang ditetapkan oleh dewan marga dan pasirah, dan imbo lem yang ditetapkan pasirah dan pemerintahan hindia Belanda yang dilarang untuk dibuka, Masyarakat Hukum Adat Rejang juga memiliki sejumlah larangan untuk membuka imbo atau menebang pohon (FGD, 2015; Hartiman, 2013), diantaranya:

  • Tidak boleh menebang pohon yang berumur ratusan tahun dan dipercaya dihuni oleh roh halus
  • Tidak boleh menebang pohon di bantaran atau pinggir sungai
  • Tidak boleh membuka imbo yang terdapat mata air
  • Tidak boleh membuka imbo di lahan-lahan yang curam
  • Tidak boleh membuka imbo di dekat air terjun
  • Tidak boleh menimbun atau merusak mata air
  • Tidak boleh membuka imbo atau menebang pohon di hulu sungai
  • Tidak boleh membuka imbo di atas tebing

Sumber: Laporan Studi Pola Penguasaan Lahan/Pemanfaatan Sumber Daya Alam Masyarakat di Dalam dan Sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat.

.