Oleh Mohammad Prihatno
Satu problem yang masih mencemaskan kita sekarang adalah bagaimana mengisi ruang politik demokrasi yang sudah terbuka. Kecemasan ini masuk akal karena kita terlihat tidak mempunyai persiapan yang mumpuni untuk menghadapinya. Perubahan yang terjadi secara mendadak dan massif mengejutkan kesadaran nurani sehingga muncullah kegoncangan nurani; antara kembali ke kesadaran-primordial atau ke kesadaran-kontemporer. Bahkan, faktor-faktor internasional yang bekerja untuk membuka ruang demokrasi di negeri ini baru disadari oleh anak bangsa ketika konsekuensi ekonomi-politik mulai merambah anak negeri.
Masalahnya memang bukan hanya sekedar mengisi ruang, tapi juga mengoperasikannya dengan benar. Bila di ruang itu kita letakkan peralatan-peralatan standar demokrasi modern (parlemen, pers, rule of low, pasar dan partai, misalnya), lalu siapa yang akan mengoperasikannya? Operasionalisasi yang terjadi belum menimbulkan efek kesejahteraan ideal atau setidak-tidaknya efek ketenangan dalam bernegara.
Mereka yang selama ini menggerakkan mesin besar demokrasi-modern, terus digugat dan dibombardir oleh sebagian komponen masyarakat penggerak demokrasi, yang anehnya tetap dengan menggunakan peralatan-peralatan demokrasi modern. Semua menganggap diri sebagai pemegang hak-wenang dalam operasionalisasi kemoderenan.
Akibatnya, terjadi benturan-benturan secara diametral antara birokrasi dengan NGO, parlemen dengan parlemen jalanan, opini pers dengan suara bisu rakyat, mekanisme pasar dengan subsidi kebutuhan, kiri dengan kanan, miskin dengan kaya dan sebagainya, memperebutkan demokrasi (!)
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS: Ali Imron:104)
Al Qur’an hanya membebankan kepada segolongan umat untuk menjadi pioner perubahan. Tugas kita sekarang adalah menentukan siapa “segolongan umat” tersebut. Kesalahan terbesar yang sering dilakukan dalam mengidentifikasikan adalah pada saat “segolongan umat” tersebut dipersonifikasikan pada profesi atau pranata sosial. Seharusnya, identifikasi yang dilakukan adalah melalui fungsionalisasi kemanusiaan (kenegarawanan, kedermawanan, kesetiaan, kepedulian, misalnya)
Tingkat tertinggi dari fungsi kemanusiaan adalah KECENDEKIAWANAN, kepada merekalah hendaknya tugas pengisi sekaligus operator dari ruang kemoderenan dimandatkan.
Meletakkan harapan itu pada kalangan cendekiawan merupakan obsesi historis dari setiap perubahan. Kelompok kecil yang “terpilih” selalu diandalkan sebagai agen perubahan. Tapi soalnya adalah seberapa besar energi politik yang dimiliki kelompok itu dalam memahami idealisasi demokrasi.
Sejarah panjang peradaban membuktikan bahwa perubahan terus digerakkan oleh cendekiawan dengan tingkat keberhasilan yang “traumatik”. Kini, bila pembaruan itu hendak kembali dijatuhkan ke pundak kalangan cendekiawan, pengulangan historis itu agaknya harus diperiksa lebih dahulu dalam skema baru kebudayaan dan politik dunia beserta paradoks-paradoksnya.
Konteks sosiologis pertama yang perlu diperhatikan adalah perubahan demografi yang telah berhasil mengubur “mitos kepahlawanan” terhadap pola partisipasi politik cendekiawan. Pragmatisme hidup telah menjadi nilai baru bagi kalangan ini, melebihi semua ideologi perjuangan yang pernah ada dalam sejarah politik cendekiawan di masa lalu. Artinya, kendati nada keadilan masih tetap tinggi diperdengarkan, kebutuhan akan kepastian akan masa depannya sebagi individu sebetulnya telah menggantikan rasa kerakyatan yang pekat pada dirinya. Keadilan sebagai tema perjuangan cendekiawan sekarang ini telah menuju pada makna yang lebih terukur, yaitu suatu tuntutan pemenuhan hak yang lebih individual sifatnya. Gejala ini memang paralel dengan perubahan wacana tentang ideologi.
Namun, persis di belakang perkembangan rasional itu, sedang berlangsung juga gejala retradisionalisasi peran pada sebagian kalangan cendekiawan, yaitu aktivitas pendasaran aspirasi publik pada nilai-nilai komunal yang partikuler sifatnya. Di sini peran dikonsepsikan sebagai wilayah sakral yang harus diisi dengan satu nilai tunggal dan dijalankan untuk memastikan perwujudan suatu finalitas, entah itu suatu ideologi transenden atau suatu doktrin monolitik. Pandangan ini memperoleh momentum globalnya bersamaan dengan meluasnya debat tentang paham hak-hak asasi manusia, politik identitas, dan gagasan multikulturalisme.
Ironis memang, sekarang kita berhadapan dengan problem mutakhir dari sistem demokrasi itu sendiri. Di satu pihak demokrasi harus diisi oleh aturan-aturan publik yang dapat diakses oleh semua warga negara, tapi sekaligus harus mengakomodasi desakan mayoritas yang monolitik. Ketegangan inilah yang sekarang tengah dihadapi oleh kalangan cendekiawan dalam usaha mereka mengisi ruang demokrasi yang sudah terbuka itu.
 
LALU………ADA DIMANA KITA DAN MAU KEMANA????