Tulisan; Tiak.Bdikar
Inilah narasi heroik petani penggarap di sebuah desa. Desa Talahak, Desa Talang Arah yang di kelilingi perkebunan swasta. Desa tua bentukan Malin Demang. Narasi ini diceritakan oleh Sarjaya (42 th), seorang pentani pengarap di lahan terlantar milik Perkebunan Swasta.  Narasi ini berhasil saya rekam ketika di undang bertemu dengan puluhan petani penggarap, pertemuan dilakukan di bawah tenda di tengah-tengah kebun yang di sengketakan sejak tahun 2012 lalu.
Peristiwa perlawanan yang sengaja saya munculkan kembali, sebagai pijakan, untuk membuat perepektif lain tentang karakter politik pertanahan dan penguasaan tanah oleh investor atas nama investasi dan kesadaran kaum tani yang tertindas dalam menuntut hak atas tanah.
Dua hari saya bersama mereka di tengah-tengah lokasi yang disengketakan. Kami berbelok setelah keluar dari jalan poros, sepanjang jalan dinding rumah-rumah warganya masih tetap kusam. Seperti dinding istana Kremlin menjelang kematian Stalin. Hanya beberapa saja yang tampak terang dengan cat warna-warni. Hanya beberapa saja. Tidak banyak. Di depan rumah-rumah tampak duduk anak-anak yang sedang bermain, beberapa anak makan di piring plastik tanpa baju, anak-anak yang ditinggalkan ibunya bekerja sebagai buruh harian lepas di perkebunan-perkebunan swasta yang mengelilingi desa mereka.
Pemandangan seperti ini sudah cukup lama berlangsung. Cerita Pak Sarjaya. Pemandangan yang menggambarkan bahwa sesuatu pernah terjadi di desa ini. Ini tidak hanya terlihat dari suasana desa yang begitu kusam, tetapi juga garis-garis wajah warga yang masih tampak murung.
Ya, puluhan tahun lalu, sebuah perlawanan warga pernah terjadi. Sekelompok warga yang mayoritas petani marah terhadap perusahan perkebunan karena membiarkan permainan licik dalam penguasaan tanah yang tidak transparan, mengunakan tangan-tangan aparat dan ‘centeng’ dalam pemanenan lahan-lahan milik warga. Lahan milik warga sebagain besar yang saya temui di kediaman Pak Sarjaya, tepatnya rumah sederhana yang dia sebut ‘pondok’, tempat tinggal sementara di tengah-tengah kebun miliknya yang di tinggalkan oleh perkebunan swasta.
Kebun sawit yang terletak di tengah-tengah bukit harapan. Kemarahan sekelompok warga ini kemudian memicu kemarahan massa yang lebih besar. Pak Sarjaya marah, darah memuncah Ketika melihat petani-petani tetangga kebunnya sering kali di usir, lahannya dipanen paksa oleh oknum yang mengatas nama perusahaan, petani-petani yang dikriminalisasi karena mengarap lahan miliknya.
Pak Sarjaya melawan, dia mulai melakukan protes. Kantor-kantor pemerintah didatanginya untuk menuntuk hak sekaligus meminta perlindungan bagi petani-petani sejawatnya atas kelakuan pemilik perkebunan swasta dan oknum pemerintahan desa yang di backup oleh pihak keamanan. Instabilitas psikologi warga terus-menerus berlangsung. Pihak yang di protesnya melawan. Streotif dan Intimidasi terjadi di sana sini. Warga yang pernah tertangkap untuk diinterogasi polisi mendapatkan julukan baru yang tidak menyenangkan: Kriminal.
Kesadaran warga melalui konsolidasi. Pak Sarjaya adalah tokoh dibelakang memuncaknya keberanian warga. Warga mulai berani memunculkan kemarahannya, namun kemarahan yang muncul belum kuat untuk berlawan. Agitasi dan propaganda pernah dimulai sejak beberapa waktu lalu oleh suatu organisasi yang berbendera LSM. Organisasi tani ini mencoba untuk mengajak warga menciptakan sebuah narasi kecil; menciptakan kehidupan yang setara tanpa penindasan yang dimulai dari perlawanan kaum tani.
Perjuangan itu pada akhirnya gagal. Seluruh warga mengalami demoralisasi, termasuk pengurus-pengurus kelompok tani yang sebagian besar masih berstatus bujangan dan kepala keluarga muda. Sebagian pengurus kelompok berpendapat bahwa kegagalan ini karena belum matangnya konsolidasi. Sebagian yang lain berpendapat bahwa kegagalan tersebut terjadi karena jumlah massa tani yang masih relatif kecil. Sebagian lain masih beranggapan belum kuatnya kapasitas petani dalam berlawan.
Gagal yang pada awalnya disikapi dengan wajah haru, ditandai dengan suara sesak tersesak saat menceritakan perjuangan yang dilakukan. Kegagalan menjadi pemicu untuk berbenah diri dalam menyusun siasat.  Pak Sarjaya berkeliling. Dia sadar sebagai mana kondisi petani yang di ceritakan Lenin, juga mengambarkan kondisi desa hasil bentukan bentukan orde lama yang sebagian besar masyarakatnya adalah petani dan sebagian lagi adalah petani. Selain itu, pandangan politik kaum tani yang bersifat kedaerahan, dan terisolasi dari hubungan politik, juga akan menciptakan kesulitan-kesulitan yang luar biasa bagi konsolidasi menuju kehidupan yang setara tanpa penindasan, meskipun kehidupan yang setara tanpa penindasan dalam narasi kecil.
Kaum tani yang di pimpin oleh Pak Sarjaya, pada prinsipnya, akan lambat dalam memahami dinamika perjuangan karena tidak berada secara langsung dalam kontradiksi, dan tidak terdorong secara terus menerus. Perlawanan kaum tani sifatnya insidental. Dengan demikan, dengan istilah apapun, kehidupan yang setara tanpa penindasan tidak bisa lahir dari perjuangan kaum tani. Kemenangan perjuangan kaum tani pada beberapa kasus, pada kebenaran historis dan ketepatan analisis bukan kemenangan atas kapitalis, tetapi hanya kemenangan atas para tuan-tuan pemilik dan penguasa tanah dan borjuis kecil.
Bukit Harapan. Adalah secercah harapan yang akan disemai untuk hidup lepas dari penindasan adalah asa yang tidak boleh padam dan di padamkan. Dengan wajah lesu dan sendu mereka siap dan akan melawan tatanan system perkebunan yang sudah tumbuh dan akarnya mencengkram sejak colonial. Perkebunan yang khas investasi padat modal dan padat tenaga buruh. Perkebunan yang dilakukan melalui alih fungsi lahan, mengubah bentang hutan tropis menjadi perkebunan monokultur. Perkebunan yang didukung oleh system hukum yang meng-Kolonial, hukum The Bosch Ordonenantie dan Agrarische Besluit, yang menekankan hak atas lahan.
Masyarakat local, masyarakat adat sebagaimana Pak Sarjaya tidak punya hak atas lahan meskipun sejak lama hidup menetap di kampung-kampung yang mengelilingi perkebunan. Kampung-kampung mereka hanya dijadikan hinterland (daerah penyangga) bagi growth pole (pusat pertumbuhan). Kampung-kampung mereka mengalami kemerosotan sendi-sendi perekonomian berbasi rakyat. Karena pola hubungan dialektika ekonomi yang kapitalistik, maka sustainabilitas social and economic livelihood penduduk terancam.
Karakter politik pertanahan dengan pendekatan ekonomi yang terjadi di Talang Arah dan Bukit Harapan sebagai kosentrasi modal investasi mengemukakan bahwa dalam proses politik apa pun kita bisa menemukan praktik kalkulasi ekonomi di dalamnya.  Asumsinya adalah bahwa setiap individu-politisi, birokrat, atau pengusaha mempunyai tujuan untuk memaksimalkan kepentingan ekonominya. Politisi atau birokrat bisa memanfaatkan jabatan, sumberdaya publik, atau sumberdaya kebijakan untuk memaksimalkan kepentingan diri dan kelompoknya untuk mempertahankan atau merebut kekuasaan atas lahan.
Pemanfaatan sumberdaya tersebut melalui kebijakan alokasi sumberdaya bisa dialokasikan untuk kelas pemodal yang dapat memberikan keuntungan ekonomi atau yang memberi dukungan finansial kepada politisi untuk mendanai usaha merebut kekuasaan. Sebaliknya, di sisi lain kelas pemodal bersedia memberi dukungan finansial (investasi politik) kepada politisi dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan dari investasinya itu. Jadi, dari perspektif ekonomi terhadap politik, setiap transaksi atau proses politik akan selalu ada economic calculus.
Economic calculus yang terjadi di balik kapitalisasi perkebunan kelapa sawit di Talang Arah, berpusat pada kekuasaan sebenarnya berangkat dari tilik pandang yang sama tentang fenomena di atas. Secara empirik politik local kerap menggunakan kekuasaan untuk mengatur dirinya atau untuk meningkatkan kemaslahanan ekonomi. Dari sudut pandang ini, saya memahami praktis politik dipahami sebagai arena bagi individu-individu yang mencari keuntungan untuk dirinya sendiri; elite politik berada dalam tekanan untuk memenuhi kepentingan kelompok di luar sistem kebijakan melalui alokasi sumberdaya publik (baca: kebijakan publik), sedangkan rente digunakan sebagai senjata strategis oleh kelompok tersebut mendapatkan sumberdaya yang diinginkan. Dalam situasi seperti ini, sebenarnya elite politik local terperangkap dalam sebuah siklus euphoria-kecemasan dari dukungan menuju ke krisis legitimasi, peningkatan pengeluaran untuk memenuhi kepentingan kelompok penyedia rente sampai pada ketakberdayaan mengubah kebijakan publik karena tidak memiliki kekuatan politik untuk mengabaikan kepentingan kelompok penekan (investor).
Gelombang perkebunan sawit tidak mampu dibendung oleh masyarakat lokal maupun Pemerintah Daerah. Investasi perkebunan kelapa sawit sudah menjangkau pemilik modal besar dan pejabat-pejabat. Pemilik agribisnis dalam hal ini adalah kelapa sawit lebih didominasi oleh pemilik modal besar berkolaborasi dengan pemerintah pusat, walaupun ada juga pejabat daerah yang memiliki lahan kelapa sawit. Kebiasaan meminta perlindungan dan fasilitas dari penjabat negara berubah menjadi usaha yang gigih mempengaruhi proses penentuan kebijakan publik. Di sisi lain, elite penentu kebijakan publik juga tidak segan-segan memperjual-belikan jabatannya untuk memburu rente ekonomi.
Menurut teori pertukaran sosial, elite penentu kebijakan adalah manusia biasa yang memiliki motivasi untuk mendahulukan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Mereka memiliki kemampuan dan tendensi mempertukarkan sumberdaya, termasuk sumberdaya jabatan, untuk mengejar keuntungan pribadi; mereka adalah rent-seeking bureaucrat and politician. Bahkan, mereka sangat rentan terhadap pengaruh kapitalis.
Akibanya, kata Mehlum dalam tesisnya Cursed by poor institution ia menjelaskan mekanisme sebagai mana diatas membuat sebuah negara dan penduduknya mengalami kutukan atau bencana sumberdaya alam. Petani untuk kasus yang dialami Pak Sarjaya dan unit analisis yang lain, mengalami bencana, terjebak dalam perangkap kemiskinan, karena institusi yang dirumuskan untuk mengatur relasi investasi dengan warga sekitar tidak memihak dan bahkan merampas hak petani. Relasi ini jauh lebih berbahaya daripada kapitalisme semu (ersazt capitalism), lumpen bourgeois (borjuis gembel), atau kapitalisme perkoncoan.