Dalam perspektif sejarah, hukum pada dasarnya untuk pengaturan kehidupan dalam konflik-konflik antar masyarakat dengan komponen-komponen kehidupan. Dalam hal ini, dengan menggunakan kebijakan-kebijakan lokal, masyarakat mampu menata sistem hukumnya dengan tata aturan yang sinergis dengan sosiokulturnya. Kemampuan masyarakat saat itu dalam menata sistem hukum dapat dipahami, karena kebijakan yang digunakan benar-benar diekstrasi dari sosiokultur masyarakat itu sendiri.

Dalam perkembangan berikutnya, sebagai konsekuensi dari terjadinya revolusi industri yang diikuti oleh imperialisme yang berujung pada kapitalisme liberal, maka tata hukum yang berkembang diintervensi oleh kepentingan-kepentingan politik hukum imperialis yang didukung oleh kekuatan struktural, kuasa finansial dan kuasa administratif yang massif dan tersistematis. Pada kondisi ini tata hukum masyarakat akhirnya “kalah”, sehingga dengan terpaksa masyarakat menerima tata hukum yang dipenuhi oleh kepentingan-kepentingan tersebut. Fenomena ini berlanjut sampai pada titik dimana masyarakat tidak mengenal lagi tata hukum yang selama ini mampu menata kehidupan yang selaras dan harmonis. Sementara itu tata hukum yang dibawa oleh kaum imperialis berkembang menjadi hukum mainstream sedangkan hukum masyarakat lokal tenggelam dalam kebisingan hukum mainstream yang positivistik. Hukum masyarakat yang kalah itulah yang kami namakan HUKUM RAKYAT.

Indonesia sebagai negara yang memposisikan hukum sebagai acuan dan pedoman dalam bernegara juga terintervensi oleh sistem hukum manintream tersebut. Walaupun, tidak dipungkiri bahwa dalam beberapa hal tata hukum di Indonesia juga mengakomodasi kebijakan-kebijakan masyarakat lokal sebagai sumbernya. Dan, saat ini posisi hukum tersebut mulai dipertanyakan oleh sebahagian masyarakat terutama dalam hal pemenuhan rasa keadilan.

Meningkatnya konflik-konflik dalam pengelolaan kekayaan alam dimana masyarakat lokal (indigenous people) cenderung selalu dalam posisi yang tidak seimbang ketika berhadapan dengan sistem hukum mainstream adalah salah satu indikasi dari belum adanya “keseimbangan” antara hukum mainstream dengan hukum rakyat. Masyarakat lokal dengan sendirinya terpinggirkan dan akhirnya kehidupan mereka berada pada posisi kelompok masyarakat rentan.

Atas kondisi tersebut, Sekolah Pendamping Hukum Rakyat Bengkulu yang kemudian disebut dengan SPHR-B, adalah salah satu upaya untuk menumbuhkan pemahaman hukum kritis di tingkat masyarakat lokal dalam mendorong keberpihakan hukum dan pengelolaan kekayaan alam kepada Rakyat.

Semboyan SPHR-B ini adalah BERKEADILAN DALAM HUKUM BERKEDAULATAN DALAM PENGELOLAAN KEKAYAAN ALAM.