Catatan Singkat; Erwin Basrin
Di dalam seminar yang dilaksanakan oleh Universitas Bengkulu dan Akar Global Inisiatif yang mengusung tema “Customary Law and Indigenous Rights in Malaysia and Indonesia; Legal Protection and Policy Development” yang dilaksanakan di Gedung Magister Hukum Universitas Bengkulu Tanggal 11 Maret 2025, bersama Dr. Muhammad Sayuti bin Hasan, Deputy Dean Industrial and Community Networking Faculty of Law, Universiti Kebangsaan Malaysia saya diminta untuk menyampaikan tentang dinamika pengakuan masyarakat hukum adat di Indonesia.
Saya memulai presentasi dengan menceritakan tentang kisah panjang perjuangan masyarakat adat yang melibatkan berbagai komunitas di seluruh dunia yang telah ada jauh sebelum munculnya negara-negara modern dan tersebar di berbagai benua mulai dari Amerika, Australia, Afrika, Asia hingga Eropa dan masing-masing memiliki tradisi serta sistem nilai yang unik, yang mencerminkan cara hidup yang telah diwariskan dari leluhur. Masyarakat adat ini secara internasional dikenal dengan istilah Indigenous Peoples, Indigenous yang diambil dari bahasa latin kuno, Indu/Endo berarti di dalam dan Gignere/Gene, melahirkan dan memperanakan.
José R. Martinez Cobo melalui Study of the Problem of Discrimination Against Indigenous Population yang ditulis pada 1982 menjadi tonggak menguatkan narasi gerakan Indigenous peoples dan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat pada 13 September 2007 oleh Majelis Umum PBB dan kemudian dikenang sebagai Hari Deklarasi PBB untuk Hak-Hak Masyarakat Adat (United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples/UNDRIP). Laporan yang dituliskan oleh José R. Martinez adalah laporan yang menyebutkan adanya sekelompok manusia yang selalu mendapatkan diskriminasi atas kebijakan negara-negara dunia dan melahirkan ketidakadilan bersejarah. Pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia menyebut istilah Inlander untuk pribumi nusantara, pribumi Indonesia alias bumiputera Indonesia, istilah yang mengacu pada kelompok penduduk asli yang berasal dari wilayah kepulauan dan dijadikan sebagai warga kelas tiga di bawah golongan eropa dan golongan timur asing.
Pasca kemerdekaan terminologi Indigenous peoples diterjemahkan menjadi masyarakat adat dan masyarakat hukum adat. “Masyarakat Adat” merupakan istilah umum yang merujuk pada kelompok-kelompok atau kesatuan manusia se identitas, hidup secara de facto, culturally based dan independen dari struktur negara, “Masyarakat Hukum Adat” mengacu pada kelompok masyarakat adat yang secara resmi diakui dalam kerangka hukum negara sebagai pemilik atau pengelola hak atas tanah dan sumber daya alam. Masyarakat Hukum Adat adalah satuan manusia di wilayah (teritori), hidup secara de jure, politically based dan bagian dari fungsi dalam struktur negara.

Konstitusi Indonesia (UUD 1945) tidak secara eksplisit mencantumkan istilah “Masyarakat Asli” ataupun “Masyarakat Adat.” sebagai terjemahan dari kata indigenous peoples. Meskipun demikian, keberadaan dan hak-hak kelompok yang memiliki hubungan historis, kultural, dan pengelolaan sumber daya alam secara turun-temurun ini tetap menjadi bagian penting dalam wacana pembangunan dan hukum di Indonesia. Istilah-istilah masyarakat adat tidak muncul dalam teks konstitusi, meskipun bisa saja diinterpretasi sebagai prinsip-prinsip dasar UUD 1945 yaitu keadilan, persatuan, dan kemanusiaan. UUD 1945 Pasal 18B ayat 2 memunculkan terminologi masyarakat hukum adat (MHA) yang memiliki ciri pokok Beschikkingsrecht sebagai sistem pengaturan hidup bersama, memiliki kekayaan komunal dan otoritas khusus yang otonom.
Ketiadaan terminologi “masyarakat adat” dalam konstitusi menjadi salah satu tantangan, karena hal tersebut menyulitkan konsolidasi hak dan perlindungan hukum yang komprehensif bagi kelompok-kelompok tersebut. Namun, melalui perkembangan hukum dan advokasi di tingkat nasional dan internasional termasuk penggunaan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat dan upaya untuk mengintegrasikan nilai-nilai kultural dan hak atas tanah yang dikelola secara tradisional terus berkembang.
Istilah masyarakat hukum adat (MHA) yang muncul di dalam konstitusi dan kebijakan Negara Indonesia digunakan sebagai bentuk kategori pengelompokkan masyarakat yang disebut masyarakat hukum (rechtsgemeenschappen), Van Vollenhoven dan Ter Haar adalah orang yang berkontribusi memperkenalkan istilah Adat Rechtsgemeenschappen untuk menyebutkan kesatuan masyarakat yang seluruh anggota komunitasnya terikat sebagai satu kesatuan berdasarkan hukum yang dipakai, yaitu hukum adat. Penamaan istilah masyarakat hukum adat (MHA) semakin sering digunakan karena mendekati istilah yang dipergunakan di dalam UUD 1945 yaitu istilah kesatuan masyarakat hukum adat.
UUD 1945 Pasal 18B ayat 2 menjadi landasan bagi masyarakat hukum adat untuk mendapatkan pengakuan dari negara, baik secara de facto atau pengakuan yang bersifat sementara maupun pengakuan de jure bersifat tetap yang diikuti dengan tindakan tindakan hukum lainnya. Dilematisnya, bagi masyarakat hukum adat di Indonesia. Pengakuan ini menghadapi berbagai persoalan seperti konflik sering muncul antara masyarakat adat dan perusahaan yang mengeksploitasi sumber daya alam. Kebijakan pembangunan yang mendorong investasi besar, terutama di sektor pertambangan, kehutanan, dan perkebunan, seringkali dilakukan tanpa konsultasi yang memadai kepada masyarakat adat yang selama ini mengelola wilayah tersebut secara tradisional. Peran pemerintah dan sistem hukum belum mampu menciptakan keseimbangan antara kepentingan investasi dan perlindungan hak masyarakat adat.
Meskipun dasar hukum perlindungan masyarakat hukum adat telah ada dalam kerangka perundang-undangan Indonesia, implementasinya seringkali menunjukkan kelemahan yang signifikan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan implementasi tersebut meliputi birokrasi yang kompleks, lemahnya koordinasi antar instansi, dan kekurangan komitmen politik untuk menegakkan hukum secara adil. Dampaknya masih maraknya konflik agraria, perampasan tanah, dan pengambilalihan sumber daya alam oleh perusahaan besar, meskipun terdapat landasan hukum yang seharusnya melindungi hak-hak masyarakat adat.
Sisi lainnya masyarakat hukum adat, yang memiliki akar budaya dan kearifan lokal yang mendalam seringkali dipandang sebelah mata oleh masyarakat luas oleh faktor historis dan sosial yang telah membentuk persepsi negatif terhadap kelompok-kelompok masyarakat hukum adat. Selama era kolonial dan bahkan pada masa pembangunan Orde Baru, nilai-nilai dan praktik masyarakat adat sering dianggap usang atau tidak relevan dalam menghadapi tantangan modernisasi. Pendekatan pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi sering mengesampingkan kearifan lokal dan mengikis penghargaan terhadap tradisi Akibatnya, masyarakat hukum adat tidak hanya kehilangan ruang dalam pengambilan keputusan, tetapi juga menghadapi marginalisasi dalam kehidupan sosial dan ekonomi.
Di tengah dominasi pengetahuan ilmiah Barat, masyarakat hukum adat sering mengalami apa yang disebut sebagai epistemic injustice, yakni penolakan atau pengabaian terhadap cara mereka dalam memahami dan mengelola alam. Integrasi epistemologi masyarakat hukum adat ke dalam sistem pembangunan memberikan dampak positif yang luas. Dengan menghargai dan menggabungkan kearifan lokal, kita tidak hanya melestarikan warisan budaya, tetapi juga menciptakan model pengelolaan lingkungan yang lebih responsif terhadap tantangan perubahan iklim dan degradasi ekosistem. Pendekatan ini membuka jalan bagi dialog antara pengetahuan tradisional dan ilmu pengetahuan modern, menghasilkan solusi inovatif yang berakar pada nilai-nilai keadilan sosial dan keberlanjutan.
Dalam menghadapi tantangan-tantangan yang semakin kompleks, kerjasama antara berbagai pihak menjadi kunci utama untuk mencapai solusi yang berkelanjutan. Pendekatan kolaboratif dengan menggabungkan kekuatan, pengetahuan, dan sumber daya dari pemerintah, sektor swasta, masyarakat sipil, akademisi, dan masyarakat hukum adat sehingga setiap aspek masalah dapat ditangani secara holistik. Kolaborasi lintas sektor memungkinkan terciptanya sinergi, di mana inovasi dan praktik terbaik dari berbagai bidang dapat diintegrasikan untuk merumuskan kebijakan dan program yang responsif terhadap dinamika sosial, ekonomi, dan lingkungan.