Resensator: Erwin Basrin
Orang Indonesia dan Tanahnya bukan sekadar buku, melainkan sebuah pintu yang terbuka lebar menuju abad yang riuh oleh suara rakyat yang nyaris tak terdengar. Cornelis van Vollenhoven, sarjana Belanda yang jarang menginjak tanah yang ia bela, menulisnya seperti orang yang berdiri di pinggir lapangan, mencatat setiap pelanggaran, setiap manipulasi hukum, setiap sepetak tanah yang perlahan dicuri dari tangan pemilik sahnya. Dari ruang rapat Tweede Kamer di Den Haag hingga sawah yang terhampar di kaki gunung Priangan, buku ini menyingkap bagaimana kata “hak” dalam hukum adat kerap dipelintir menjadi “celah” dalam hukum kolonial. Dan di sanalah kita mendengar gaungnya. Sebuah pembelaan yang melampaui masa, mengingatkan bahwa tanah bukan sekadar harta benda, melainkan denyut nadi hidup orang Indonesia. Buku ini ibarat jendela yang membawa kita melihat bagaimana hukum adat dan hak ulayat tanah masyarakat Indonesia diabaikan dan dilanggar oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Dengan gaya populer yang mudah dipahami, Orang Indonesia dan Tanahnya menjadi semacam pamflet akademis yang penuh semangat pembelaan terhadap hak rakyat jelata atas tanah mereka sendiri.
Pada paruh kedua abad ke-19, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan sejumlah kebijakan agraria yang berdampak besar terhadap petani pribumi. Regeeringsreglement 1854 Pasal 62 ayat (3) sebenarnya melarang Gubernur Jenderal menyewakan tanah yang digarap orang bumiputra atau tanah dalam kekuasaan desa. Demikian pula Agrarische Wet 1870 menegaskan bahwa pemberian konsesi tanah kepada perusahaan tidak boleh melanggar hak-hak penduduk asli, bahkan memungkinkan penduduk pribumi mendapatkan hak milik atas tanahnya (agrarisch eigendom). Secara hitam di atas putih, hukum kolonial saat itu mengakui eksistensi hak tanah masyarakat adat Nusantara.
Praktik berkata lain. Kenyataan di lapangan justru menunjukkan banyak pelanggaran terhadap hak-hak agraria orang Indonesia, yang dilegalkan melalui celah-celah hukum kolonial itu sendiri. Prinsip domein verklaring (pernyataan domain) memperbolehkan pemerintah mengklaim tanah “tak bertuan” sebagai milik negara. Padahal bagi masyarakat adat, hampir tak ada tanah yang benar-benar tak bertuan. Tanah ulayat, hutan, ladang berpindah, hingga padang penggembalaan semuanya berada dalam penguasaan komunal adat. Akibat domein verklaring, tanah ulayat yang “tidak digarap” oleh penduduk sering dipandang kosong dan diambil alih untuk kepentingan perkebunan atau perusahaan kolonial. Inilah awal dari “seabad ketidakadilan” yang disorot Van Vollenhoven dalam bukunya.
Van Vollenhoven muncul sebagai pembela prinsip hak ulayat, hak komunal masyarakat adat atas tanah. Ia menegaskan bahwa hukum adat agraria di Nusantara nyata adanya dan tidak bisa disamakan begitu saja dengan hukum agraria Barat. Hukum adat bersifat hidup dan berbeda di tiap komunitas, tidak terkodifikasi kaku seperti hukum Eropa. Menurut Van Vollenhoven, mencoba menyeragamkan hukum tanah di Indonesia dengan model Barat hanya akan menimbulkan kekacauan. Ia menggambarkan betapa janggalnya jika hak-hak orang Bugis, Aceh, atau Jawa atas tanah disamakan dengan hak pemilik tanah di Belanda yang konteks sosial dan budayanya terlalu berbeda. Petani Jawa yang menggarap sawah berpindah-pindah atau ladang di lereng bukit tentu punya ikatan berbeda dengan tanahnya dibanding petani di Veluwe, Belanda. Pandangan ini menegaskan bahwa konsep hak ulayat – hak kolektif komunitas adat atas wilayahnya tidak bisa diukur dengan kaca mata hukum pertanahan ala Eropa.
Istilah “hak ulayat” sendiri baru muncul kemudian dalam hukum Indonesia, namun akarnya ada pada konsep yang dikemukakan Van Vollenhoven. Ia menyebut adanya beschikkingsrecht, hak masyarakat hukum adat untuk menguasai tanah dan sumber daya di wilayahnya secara komunal. Di kemudian hari, konsep ini diadopsi dalam Undang-Undang Pokok Agraria 1960 sebagai “hak ulayat dan hak-hak serupa dari masyarakat hukum adat”. Bahkan Penjelasan UUD 1945 mengakui hak ulayat ini sebagai bagian dari hak asal-usul masyarakat adat. Artinya, warisan pemikiran Van Vollenhoven tentang hak komunal atas tanah telah tertanam dalam kerangka hukum agraria Indonesia modern, meski penerapannya tidak selalu mudah.
Selain itu, Van Vollenhoven sangat menghargai keanekaragaman hukum adat di Nusantara. Ia mencatat setidaknya 19 lingkaran adat (region adat) dengan karakteristik hukum tersendiri, mulai dari Aceh, Minangkabau, Jawa, hingga Maluku dan Papua. Setiap region punya aturan lokal tentang tanah, warisan, hingga sanksi bagi pelanggar adat. Inilah sebabnya Van Vollenhoven berhati-hati terhadap usaha unifikasi hukum yang memaksakan “satu hukum untuk semua” golongan masyarakat. Baginya, unifikasi semacam itu justru bakal memojokkan dan mengorbankan masyarakat pribumi yang hidup dengan adatnya sendiri. Gagasan utama Van Vollenhoven jelas. Hukum agraria kolonial harus mengakomodasi hak ulayat dan kearifan lokal, bukan malah menyingkirkannya.
Sebagai pakar hukum yang kritis, Van Vollenhoven menyoroti banyak cacat dalam sistem agraria kolonial. Ia melihat pemerintah Hindia Belanda kala itu cenderung membuka lebar penetrasi kapitalisme agraria membuka tanah-tanah luas bagi perusahaan perkebunan asing tanpa memedulikan hak rakyat kecil. Rencana perombakan hukum yang memberi jalan bagi ekspansi modal inilah yang ditentangnya habis-habisan. Dalam Orang Indonesia dan Tanahnya, Van Vollenhoven membeberkan bagaimana penjajahan atas tanah terjadi dalam dua kategori yaitu tanah pertanian yang digarap dan tanah yang tidak dibudidayakan.
Untuk tanah pertanian rakyat, Van Vollenhoven mencatat telah terjadi “seabad ketakadilan” (tahun 1810-an hingga 1910-an). Meski petani pribumi secara hukum diakui haknya, kenyataannya mereka kerap tergusur atau dibatasi aksesnya demi kepentingan ekonomi kolonial. Pemerintah kolonial memberlakukan berbagai aturan agraria dan pajak tanah yang memberatkan, sementara para penguasa lokal (bangsawan atau raja) kadang turut campur mengambil lahan rakyat. Van Vollenhoven menulis dengan nada pedih, menandai periode ini sebagai kegagalan moral pemerintah colonial. Sebuah bab “Matinya Hati Nurani” dalam hal agraria. Baginya, penguasa telah mengorbankan hati nurani demi keuntungan ekonomi semata.
Lebih parah lagi nasib tanah-tanah yang tidak dibudidayakan (hutan, padang, lahan tidur). Van Vollenhoven menyebut sejak pertengahan abad ke-19 terjadi “setengah abad pelanggaran hak” atas tanah tak tergarap. Melalui dalih domein verklaring, tanah adat yang dianggap “tidak digarap” bisa diambil alih pemerintah. Ia mengecam kebijakan ini karena faktanya tanah tersebut tidaklah kosong. Masyarakat adat memakainya secara bergilir atau menjaganya untuk keperluan bersama (seperti hutan adat untuk mencari rotan, berburu, ritual, dsb.). Pandangan Van Vollenhoven sangat jelas. Klaim sepihak pemerintah atas tanah adat adalah akar ketidakadilan. Ia membela prinsip bahwa tanah yang tidak digarap sekali pun tetap punya pemilik yakni komunitas adat setempat dan harus dilindungi haknya. Kritiknya terhadap sistem agraria kolonial bukan hanya legal-formal, tapi juga moral. Pemerintah kolonial, menurutnya, telah menutup mata terhadap jeritan rakyat atas tanah mereka sendiri.
Pemikiran Van Vollenhoven tidak tinggal di menara gading akademis. Ia turun tangan membela masyarakat adat dalam arena kebijakan. Puncak perlawanan intelektualnya tampak pada tahun 1918. Saat itu, seorang pejabat kolonial, G.J. Nolst Trenité, mengusulkan amandemen Konstitusi Hindia Belanda (Regeeringsreglement 1854) yang akan menghapus Pasal 62 ayat (3), klausul perlindungan terakhir bagi hak agraria pribumi. Amandemen ini kalau disetujui akan membuka jalan lebar bagi pemerintah dan pengusaha untuk menguasai tanah-tanah rakyat tanpa hambatan konstitusional. Van Vollenhoven bereaksi keras terhadap rencana tersebut. Ia segera menulis De Indonesiër en zijn grond (1919) yang kita kenal dalam terjemahan sebagai Orang Indonesia dan Tanahnya, khusus untuk menggagalkan rencana amandemen itu. Buku ini memang lahir sebagai pembelaan nyata. Semacam “brief penuntutan” yang membela hak ulayat rakyat dan mendakwa keserakahan kebijakan kolonial.
Dalam karyanya itu, Van Vollenhoven mengerahkan data dan analisis tajam untuk menunjukkan bahwa menginjak-injak hak tanah penduduk bumiputra adalah tindakan keliru yang bahkan kontra-produktif bagi kepentingan kolonial sendiri. Ia memperingatkan, “menginjak-injak hak penduduk berarti tabir kematian bagi eksploitasi tanah secara besar-besaran”, karena rakyat yang teraniaya tak mungkin mendukung proyek pemerintah. Sebaliknya, “menghargai tanah-tanah adat adalah strategi untuk menenteramkan hati penduduk, agar mereka suka membantu Hindia Belanda dengan kerja sama”. Pernyataan Van Vollenhoven ini mencerminkan dua hal; empatinya pada penderitaan rakyat, sekaligus upayanya meyakinkan pemerintah bahwa penghormatan hak adat akan menciptakan stabilitas. Ia membela masyarakat adat bukan hanya atas dasar keadilan, tapi juga sebagai langkah rasional agar pembangunan (atau eksploitasi kolonial) tidak menuai perlawanan. Pendekatan cerdas ini lumayan berhasil. Pasal 62 perlindungan hak pribumi tetap dipertahankan, sehingga hak ulayat tidak dihapus begitu saja oleh kolonial.
Selain kasus amandemen 1918, Van Vollenhoven juga pernah lantang menentang penerapan hukum Barat secara membabi-buta di Hindia Belanda. Misalnya, ia menolak rencana pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Belanda untuk semua penduduk di Hindia. Menurutnya, penerapan KUHPerdata Eropa kepada orang pribumi akan mengabaikan hukum adat yang hidup di masyarakat. Sikap ini konsisten dengan pandangannya bahwa unifikasi hukum kolonial tidak boleh meniadakan pluralisme hukum adat. Dengan reputasinya sebagai Guru Besar Hukum Adat di Universitas Leiden sejak 1901, Van Vollenhoven memakai pengaruh ilmiahnya untuk menjadi jembatan yang menyuarakan kepentingan masyarakat adat kepada penguasa kolonial. Tak heran bila ia dijuluki “pelopor penemuan hukum adat Indonesia” dan karyanya menjadi rujukan penting bagi generasi pertama ahli hukum Indonesia pasca-kemerdekaan.
Meskipun Cornelis van Vollenhoven dianggap pahlawan dalam membela hak-hak adat, pemikirannya juga tak lepas dari kritik dan keterbatasan. Salah satu kritik datang dari Peter Burns, sejarawan hukum, yang pernah menyebut bahwa “hukum adat hanyalah mitos sakral tentang identitas bagi orang Indonesia dalam perjuangan kemerdekaannya”. Pendapat Burns ini menuding bahwa konsep “hukum adat” yang dibela Van Vollenhoven sebenarnya bentukan para sarjana kolonial (termasuk Van Vollenhoven sendiri) dan kaum pergerakan, sehingga terkesan dimitoskan demi kepentingan politik. Ada yang berpendapat hukum adat itu “ditemukan” atau diciptakan ulang oleh Belanda, bukan murni asli tumbuh sendiri. Kritik ini mengajak kita waspada agar tidak memandang hukum adat sebagai sesuatu yang statis dan suci sejak zaman purba, padahal ia juga bisa berubah dan dipengaruhi kepentingan.
Meski secara moral Van Vollenhoven membela rakyat, kita perlu menyadari nuansa pragmatis dalam argumennya. Seperti dikutip sebelumnya, Van Vollenhoven berpendapat bahwa menghormati hak ulayat juga bermanfaat untuk ketertiban kolonial, agar rakyat bersedia bekerja sama mendukung ekonomi Hindia Belanda. Pandangan ini menunjukkan keterbatasan perspektifnya. Tujuan akhirnya masih dalam kerangka kemakmuran Hindia Belanda (yang notabene demi kolonial). Ia mungkin tulus ingin melindungi pribumi, tetapi tetap sebagai bagian dari upaya mempertahankan status quo kolonial yang “lebih manusiawi”. Pemikiran Van Vollenhoven bisa dikritik karena bersifat paternalistic, melindungi masyarakat adat agar tetap tenang di bawah pemerintahan kolonial.
Van Vollenhoven sebagai orang Eropa yang jarang tinggal lama di Nusantara (ia hanya sempat dua kali berkunjung, tahun 1907 dan 1932) tentu saja melihat adat dari kacamata orang luar. Meskipun ia sangat mendalami literatur dan laporan etnografi, ada kemungkinan perspektifnya kurang menangkap dinamika penuh di lapangan. Upayanya memetakan 19 wilayah adat misalnya, bagai pisau bermata dua. Di satu sisi membantu memahami keberagaman hukum adat, namun di sisi lain berpotensi menyederhanakan atau membekukan identitas hukum komunitas yang sebenarnya cair dan terus berkembang. Meski begitu, jasa Van Vollenhoven tetap diakui jauh lebih besar daripada kekurangannya. Kritik-kritik tersebut justru memperkaya diskusi tentang bagaimana seharusnya kita memahami hukum adat – apakah sebagai warisan murni, atau konstruksi kolonial, atau hasil interaksi keduanya.
Lebih dari satu abad berlalu sejak Orang Indonesia dan Tanahnya terbit, namun isu yang diangkatnya masih membayang di langit agraria Indonesia saat ini. Konflik tanah antara masyarakat adat dengan korporasi atau pemerintah terus terjadi, mulai dari sengketa lahan adat dengan perusahaan sawit, tambang, hingga konflik perebutan hutan ulayat. Semangat domein verklaring ala kolonial pun rupanya belum sepenuhnya pergi. Setelah Indonesia merdeka, sebenarnya konstitusi dan UUPA 1960 mengakui hak-hak masyarakat hukum adat atas tanah (hak ulayat). Tetapi pengakuan di atas kertas ini sering tidak otomatis diakui di lapangan. Banyak komunitas adat masih harus berjuang mati-matian untuk memperoleh pengakuan dan mempertahankan tanah leluhurnya. Ibarat deja vu sejarah. Kalua hak-hak yang sudah dijamin undang-undang saja masih harus diperjuangkan, apalagi jika hak itu tidak diakui persis seperti yang nyaris terjadi tahun 1918 dulu.
Pemikiran Van Vollenhoven memberikan pelajaran berharga bagi situasi masa kini. Ia mengingatkan kita bahwa meminggirkan hak ulayat hanya akan melanggengkan konflik dan penderitaan. Suaranya seakan bergema ketika melihat kebijakan masa kini yang kadang mengulang kesalahan kolonial. Misalnya, dalam beberapa tahun terakhir muncul kebijakan memberikan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) oleh negara atas tanah ulayat masyarakat adat. Tujuannya agar tanah adat bisa dikelola bersama negara, tapi kritikus melihat ini justru upaya baru “mengambil alih” tanah adat ke tangan negara. Seorang peneliti hukum Adriaan Bedner mengaitkan kebijakan HPL tersebut (misalnya PP No. 18/2021) dengan kritik klasik Van Vollenhoven terhadap pemerintah kolonial. Bedner memperingatkan, jika tanah ulayat dialihkan menjadi HPL lalu dikonsesikan ke perusahaan, setelah konsesi habis tanah bisa jatuh menjadi milik negara dan tidak kembali ke masyarakat adat. Pola ini mirip dengan logika domein verklaring dulu, di mana negara menguasai tanah rakyat dengan dalih hukum. Teriakan Van Vollenhoven seabad lalu agar komunitas lokal diberi otonomi mengurus tanahnya masih relevan menggema.
Di kalangan aktivis agraria dan pejuang masyarakat adat, nama Van Vollenhoven tetap dihormati. Gagasannya tentang perlindungan hak ulayat dianggap mendahului zamannya dan menjadi landasan perjuangan. Baru-baru ini, seorang peneliti politik Ward Berenschot menulis artikel berjudul “150 Tahun Belenggu atas Hak Tanah” yang menyerukan Indonesia segera menghapus warisan kolonial domein verklaring 1870. Berenschot menunjukkan betapa prinsip domein itu membawa dampak negatif bagi kesejahteraan jutaan rakyat sejak masa kolonial hingga kini. Seruan ini sejatinya melanjutkan api perjuangan Van Vollenhoven, bahwa tanah untuk rakyat tidak boleh lagi terbelenggu regulasi yang mengabdi pada kekuasaan semata. Perjuangan reforma agraria, pengakuan wilayah adat, dan keadilan sosial atas tanah di era modern menemukan inspirasi dari pemikiran Van Vollenhoven yang visioner.
Resensi reflektif yang coba saya susun ini menunjukkan bahwa Orang Indonesia dan Tanahnya bukan sekadar buku sejarah agraria, melainkan cermin panjang perjuangan hak atas tanah di negeri ini. Gagasan utama Van Vollenhoven tentang pentingnya hak ulayat dan penghormatan hukum adat lahir dari konteks kolonial, tetapi relevansinya menembus zaman hingga Indonesia merdeka dan memasuki milenium baru. Dalam narasi yang hidup, kita melihat seorang sarjana Belanda berdiri membela kaum pribumi tertindas, menggunakan pena dan kata-kata ilmiah sebagai senjata melawan ketidakadilan. Di sisi lain, kita juga belajar bahwa solusi yang ditawarkannya punya keterbatasan dan muatan kolonial tersendiri.
Apa pelajaran bagi kita sekarang? Pertama, tanah bagi orang Indonesia bukan semata aset ekonomi, tapi juga ibu pertiwi yang melekat pada identitas dan kelangsungan komunitas. Kedua, hukum negara harus mengakomodasi keragaman dan hak-hak asal-usul yang hidup di masyarakat, bukan malah menafikannya. Ketiga, warisan hukum kolonial yang tidak adil seperti domein verklaring perlu ditinggalkan secara tuntas, baik dalam regulasi maupun praktik. Suara Van Vollenhoven dari seratus tahun lalu masih menyuarakan pesan moral yang kuat. Tanpa keadilan bagi masyarakat adat atas tanah mereka, nurani hukum akan mati. Dan jika nurani hukum mati, yang tersisa hanyalah konflik dan nestapa. Semoga refleksi perjalanan sejarah ini menginspirasi kita untuk lebih bijaksana menghormati hak-hak agraria rakyat kecil, agar cita-cita keadilan sosial di bidang tanah bisa terwujud di bumi Indonesia.
Sumber:
- Cornelis van Vollenhoven, Orang Indonesia dan Tanahnya. Terj. Swargono (Yogyakarta: INSISTPress, 2020).
- Upik Djalins & Noer Fauzi Rachman, Pengantar Penerbit Edisi Baru Orang Indonesia dan Tanahnya (2020).
- R. Yando Zakaria, Epilog Orang Indonesia dan Tanahnya: Seratus Tahun Kemudian (2020).
- Peter Burns, The Leiden Legacy: Concepts of Law in Indonesia (Leiden, 2004) – dikutip dalam Pengantar Bedah Buku Unila 2013.
- Koran Sulindo, “Cornelis van Vollenhoven: Pelopor Penemuan Hukum Adat Indonesia” (4 Juli 2024).
- Noer Fauzi Rachman, “Masalah Hak Ulayat dalam Kebijakan Pertanahan Nasional” (2023).