Tanpa peringatan simbolik, tanpa momentum, bagi petani hidup dalam keseharian adalah perjuangan. Dan dalam peringatan 61 Tahun Hari Tani Nasional ini, kondisi petani dapat kita ibaratkan seperti orang yang berdiri di air sebatas dagu, sehingga riak air yang kecil saja sudah cukup menenggelamkannya.

 

Dalam dua abad dan 61 tahun, sudah semestinya rakyat tani Indonesia mendapatkan kedaulatan dan kemerdekaan atas tanah dan sumber-sumber penghidupannya. Namun dalam usia ini, petani dan sistem pertanian kita menjadi semakin terpuruk dan tergerus oleh sistem ekonomi yang eksploitatif dan predatoris. Sehingga perjuangan petani tidak pernah sampai pada politik rekognisi yang menghasilkan cita-cita ‘kedaulatan’. Dan dalam usia ini pula, kaum petani masih dijebak dalam mimpi-mimpi populisme agraria yang menjanjikan kebijakan dan dukungan yang berpihak pada kaum tani.

 

Dalam kegiatan ‘Orasi Petani’ hari ini, Senin, 27 September 2021 di kanal zoom Akar Foundation, para petani menyampaikan orasinya yang berisi tuntutan, gambaran kondisi petani saat ini dan harapan terhadap masa depan petani.

 

Kegiatan Orasi Petani ini dibuka dengan pengantar yang di sampaikan oleh Bung Anwar Sastro Ma’ruf Sekjen KPRI. Dalam pengantarnya beliau menyampaikan Reforma Agraria adalah tanda bahwa Negara ini merdeka sehingga segala hak-hak terkait kepemilikan maupun pengelolaan tanah ada ditangan rakyat. Sehingga seharusnya Reforma Agraria sejati itu, semua masyarakat baik buruh maupun petani atau berbagai lini masyarakat memiliki hak untuk mempunyai tanah baik untuk tempat tinggal maupun bercocok tanam. Sastro juga menyampaikan bahwa Reforma Agraria sesungguhnya adalah dasar yang menyiapkan pondasi industrialisasi kerakyatan yang membuat bangsa ini berdikari. Kita tidak akan berdaulat ketika tanah tidak diberikan kepada seluruh rakyat Indonesia secara adil dan merata. Kita juga tidak akan adil setara dan sejahtera jika kita tidak memajukan yang disebut dengan pertanian, menyambungkan dengan teknologi dan inovasi.

 

Kemudian acara dilanjutkan dengan penyampaian pidato yang disampaikan oleh para petani, yakni dimulai oleh Susanto, Petani Kopi Hutan Kemasyarakatan Kabupaten Rejang Lebong yang menyampaikan bahwa hingga saat ini, petani belum merdeka. Sehingga salah satu tuntutannya kepada pemerintah adalah menyediakan bibit unggul yang berkualitas untuk menciptakan produk pertanian yang layak untuk dikonsumsi oleh petani itu sendiri.

 

Kemudian Supriyanti petani perempuan pelopor gerakan petani kopi dan palawija di kaki Bukit Kaba Kabupaten Kepahiang menyampaikan hal yang sama bahwa saat ini petani belum merdeka. Dan tuntutan yang beliau sampaikan sangat lugas yakni pertama distribusi lahan untuk petani adalah sebuah keniscayaan. Kedua, distribusi informasi dan pengetahuan yang berkaitan dengan teknologi untuk mengelola lahan pertanian petani agar lebih produktif. Ketiga, kepastian segmentasi pasar dan harga hasil pertanian yang stabil dan dapat dikontrol oleh petani itu sendiri. Keempat dan yang paling penting adalah negara dapat mendistribusikan alat-alat produksi pertanian kepada petani.

 

Sementara Saudia, perwakilan Masyarakat Hukum Adat Rejang, Kabupaten Lebong menyampaikan bahwa petani adalah tiang sebuah negara. Dan pendidikan petani adalah sebuah keharusan. Sebab pendidikan akan membuat petani lebih bermartabat.

 

Ahmad Laka, perwakilan Serikat Petani Pejuang Bumi Sejahtera (SPPBS) menyampaikan “Sampai saat ini petani masih terjajah. Keadilan dan keberadaban hanya berpihak pada mereka yang berkuasa”. Dan tuntutannya juga sangat tegas yakni berdasarkan konflik agraria yang saat ini mereka hadapi maka SPPBS menuntut negara untuk pertama, memberikan legalisasi kepemilikan petani atas lahan garapannya.  Kedua, memberikan perlindungan dan keamanan bagi petani dalam mengelola lahannya. Dan dalam penutupan orasinya beliau menyampaikan “Tidak ada negara tanpa petani”.

 

Mahdalena, perwakilan Kelompok Petani Perempuan desa Air Pikat Kabupaten Rejang Lebong menyampaikan bahwa saat ini petani bertahan hidup dengan pola-pola subsistensi diluar sektor pertanian, misalnya hutang. Dan hal ini membuat petani semakin rentan karena ia bergantung pada patronase atau toke/tengkulak. Sehingga cita-citanya hanya satu; yakni melihat petani menjadi petani yang mandiri. Salah satu pintu masuk menjadi petani yang mandiri adalah mendapatkan dukungan dari negara berupa modal untuk mengelola lahan pertaniannya agar produktif dan berkelanjutan.

 

Akar Foundation yang diwakilkan oleh Zelig Hamka dan Erwin Basrin menyampaikan aspirasinya sebagai pendamping yang juga memiliki cita-cita terhadap perubahan nasib petani. “Tidak ada kata selamat untuk peringatan hari tani kali ini, karena saat ini petani masih berjuang untuk memperbaiki kesejahteraan hidupnya. Dan harapan kami terhadap masa depan petani dan pertanian di Indonesia adalah pertama, perbaikan tata kelola produksi domestik petani. Kedua, kedaulatan bagi petani untuk menjadi petani yang mandiri, yang tidak bergantung pada faktor eksternalnya; pasar dan negara (regulasi). Ketiga, menuntut hak terhadap kepemilikan aset dan alat produksi pertanian. Keempat, stabilitas produksi dan jaminan pasar” ucap Zelig.

 

Sementara Erwin menyampaikan bahwa reforma agraria harus menjamin penguasaan alat produksi pertanian. Dan yang paling penting adalah keadilan bagi petani untuk mendapatkan benih yang baik dan akses terhadap sumber air bersih di tengah-tengah krisis iklim dan invasi industri pertanian yang merusak benih-benih alami tanaman serta sumber-sumber utama penghidupan petani. Sehingga petani yang disebut oleh Soekarno sebagai PEndukung TAtanan Negara Indonesia harus mendapatkan dukungan (finansial dan pemberdayaan), pengakuan secara politik dan jaminan perlindungan sosial agar tidak rentan menghadapi zaman yang terus berubah.