Oleh: Sugian Bahanan

Pendahuluan

Secara harfiah partisipasi berarti keikutsertaan. Untuk memaknai partisipasi dalam konteks politik dapat dikatakan sebagai bentuk keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik. Keikutsertaan warga yang dimaksud adalah kemauan warga untuk melihat, mengkritisi serta ikut terlibat secara aktif dalam setiap proses politik baik dalam proses Pemilihan Kepala Daerah maupun Pemilihan Umum.

Keterlibatan tersebut bukan berarti warga akan mendukung seluruh keputusan, kebijakan maupun pelaksanaan kebijakan/keputusan yang akan dan telah ditetapkan oleh pemimpinnya. Jika terjadi sebaliknya, maka kondisi ini tidak bisa dikatakan sebagai partisipasi, namun yang lebih tepat adalah mobilisasi politik. Partisipasi politik yang dimaksud adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak perencanaan, pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan.

Partisipasi politik dapat dilihat dari berbagai sisi yaitu partisipasi aktif dan pasif (Surbakti, 1992: 142). Partisipasi aktif menyangkut kegiatan warga Negara dalam mengajukan usul mengenai suatu kebijakan umum, mengajukan alternatif kebijakan yang berbeda dengan kebijakan pemerintah, perbaikan dan saran terhadap kebijakan pemerintah. Sementara partisipasi pasif berupa kegiatan mentaati peraturan pemerintah, menerima dan melaksanakan begitu saja setiap keputusan pemerintah.

Dalam bentuk yang hampir sama, model partisipasi yang dikembangkan pemerintah sebagai upaya melibatkan rakyat dalam pelaksanaan keputusan dapat menyebabkan jebakan partisipasi (participation trap) (APMD dan Ford Foundation, 2005: 194 – 196).

Partisipasi model ini sudah sangat jelas dan tidak peka terhadap kebutuhan masyarakat  yang dipahami sebagai bentuk sosialisasi kebijakan pemerintah kepada masyarakat, dimana dalam konteks kebijakan bentuk sosialisasi ini perlu dilakukan agar tidak terjadi gejolak dalam masyarakat. Meskipun pada awalnya dapat meredam gejolak yang tumbuh, namun tetap saja secara substantif, model partisipasi yang dikembangkan tidak mampu secara jelas merepresentasikan atau mempertemukan model kebijakan yang diambil dengan kebutuhan masyarakat.

Sementara itu menurut Milbarth dan Goel, mereka membedakan partisipasi menjadi beberapa kategori yaitu 1) apatis; orang yang menarik diri dari proses politik; 2) spectator; orang yang setidak-tidaknya pernah ikut dalam pemilu; 3) gladiator; orang-orang yang secara aktif terlibat dalam proses politik, yakni sebagai komunikator dengan tugas khusus, aktivis partai dan pekerja kampanye serta aktivis masyarakat bias dikategorikan masuk dalam tipe gladiator; 4) pengkritik; orang-orang yang berpartisipasi dalam bentuk yang tidak konvensional. Beberapa julukan diberi kepada orang-orang yang tidak berpartisipasi dalam politik  seperti apatis, sinis, alienasi dan anomie (terpisah).(Sastroatmodjo, 1995¨: 74).

Berdasarkan pendapat diatas, LSM sebagai agen civil society sudah semestinya menjadi gladiator, secara aktif terlibat dalam proses politik baik dalam bentuk pendidikan pemilih maupun pemantauan sejak pra-pemilihan sampai pelaksanaan kebijakan public sebagai hasil/output dari sebuah proses politik. Bukan hanya berhenti pada system proyek dengan timing yang terbatas, namun dengan sungguh-sungguh membangun komunitas yang sadar politik dan lepas dari berbagai pembodohan atas nama apapun.

Partisipasi menurut sifatnya dibagi menjadi 2 yaitu sukarela (otonom) dan desakan orang lain  (mobilisiasi). Nelsom membagi 2 untuk mobilisasi yang dinamakan autonomous participation (partisipasi otonom) dan mobilized participation (partisipasi yang dimobilisasi). Pemberian suara dalam pemilu merupakan salah satu wujud partisipasi dalam politik yang terbiasa. Kegiatan ini, meskipun cuma pemberian suara, namun juga menyangkut semboyan yang diberikan dalam kampanye, bekerja dalam membantu pemilihan, membantu tempat pemungutan suara, dan lain-lain  (Sastroatmodjo, 1995¨: 77).

Jika kita menarik kembali proses partisipasi ini dalam kondisi Indonesia, pola partisipasi yang dilaksanakan lebih banyak menerapkan pola partisipasi yang dimobilisasi. Belum jauh membuka ruang partisipasi masyarakat untuk terlibat di dalamnya meskipun banyak kebijakan yang memungkinkan pelibatan aktif masyarakat.

Kerangka Hukum dan Kebijakan Partisipasi Warga (Working Paper)

Dalam studi empiris Kartasasmita (1997) menunjukkan kegagalan pembangunan atau pembangunan tidak memenuhi sasaran karena kurangnya partisipasi (politik) masyarakat, bahkan banyak kasus menunjukkan rakyat menentang upaya pembangunan. Keadaan ini dapat terjadi karena beberapa hal: 1).Pembangunan hanya menguntungkan segolongan kecil orang dan tidak menguntungkan rakyat banyak bahkan pada sisi ekstrem dirasakan merugikan. 2).Pembangunan meskipun dimaksudkan menguntungkan rakyat banyak, tetapi rakyat kurang memahami maksud tersebut. 3).Pembangunan dimaksudkan untuk menguntungkan rakyat dan rakyat memahaminya, tetapi cara pelaksanaannya tidak sesuai dengan pemahaman tersebut. 4).Pembangunan dipahami akan menguntungkan rakyat tetapi rakyat tidak diikut sertakan.

Rakyat, sebagai obyek dalam hal partisipasi mempunyai logika yang beragam. Ada yang menilai bahwa partisipasi sebagai proses untuk membangun pemerintahan yang demokratis. Pada level yang lebih rendah, ada yang menganggap sebagai tempat untuk menyalurkan aspirasi dan tuntutan rakyat melalui partai ketika pemilu.

Secara teoretis partisipasi politik rakyat sebenarnya jauh lebih penting ketimbang kompetisi antar politisi dalam pemilu. Tetapi sayangnya partisipasi politik hanya menempatkan rakyat sebagai obyek yang ambil bagian (ikut serta) atau menggunakan hak pilih (vote), bukan dalam konteks sebagai subyek yang menyuarakan (voice) aspirasinya. Para analis politik selalu menyuarakan bahwa proses pemilu akan membuahkan hasil yang baik bila partisipasi rakyat dalam menggunakan hak pilihnya bersifat rasional-otonom, dengan referensi integritas kandidat dan kualitas program partai. Argumen ini sangat lemah dan tidak relevan dengan konteks anomalie pemilu di Indonesia, karena menilai partisipasi hanya sebagai urusan individual dan mikro. Indonesia sekarang tentu tidak hanya butuh partisipasi rakyat dalam bentuk hak pilih secara individual, tetapi partisipasi kolektif rakyat untuk mendobrak kekuasaan yang oligarkhis dan korup.

Meskipun masih ada beberapa kelemahan, instrumen hukum dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah sejak tahun 1999 telah membuka ruang bagi partisipasi warga dalam pembuatan kebijakan publik dan monitoring pembangunan. Instrumen hukum dan kebijakan di Indonesia, terutama di tingkat kabupaten/kota, juga membuka dua wahana penting bagi partisipasi warga.

Pertama, komite/dewan warga di tingkat daerah sebagai wahana representasi warga. Kedua, forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) dan forum konsultasi publik sebagai forum deliberatif bagi warga.

Untuk mengefektifkan dua wahana partisipasi tersebut, ada tiga hal penting yang bisa dilakukan.

Pertama, perlu segera memperbaiki proses representasi dan pengambilan keputusan, serta daya ikat keputusan forum, baik forum representasi maupun forum deliberasi warga dalam pembuatan kebijakan publik dan monitoring pembangunan.

Kedua, perlu segera dirancang praktek-praktek partisipasi warga di tingkat lokal yang manfaatnya langsung dapat dirasakan, baik oleh warga maupun oleh pemerintah yang berkuasa. Instrumen hukum dan kebijakan yang lebih operasional hendaknya diangkat dari kisah-kisah sukses praktek partisipasi warga.

Ketiga, agar partisipasi warga tidak dijadikan hanya sebagai alat konsolidasi sumberdaya lokal, maka praktek dan kebijakan partisipasi warga harus berdampak langsung pada perubahan relasi kekuasaan yang mendorong terjadinya pendalaman demokrasi dan penciptaan keadilan antar-kelompok pendapatan, antar-wilayah, dan antar-jender.

Partisipasi dan Prasyarat

Para aparat daerah, perguruan tinggi LSM dan berbagai pihak yang peduli terhadap upaya membangkitkan partisipasi masyarakat melalui perhatian dan sumbangan pikiran serta kegiatan pendampingan adalah mutlak dalam pengelolaan social, politik, budaya dan ekonomi masyarakat.

Dalam hal ini Pemerintah Daerah perlu mengambil peranan yang lebih besar karena mereka kurang lebih cukup, mengetahui dan mengenal kondisi dan kebutuhan masyarakat di daerah, peran pembangunan perlu untuk meningkatkan keterlibatan pelayanan dalam penyelenggaraan pembangunan dengan mengembangkan:

  1. Kepemimpinan yang  merakyat.
  2. Mengarahkan setiap kegiatan bukan dilakukan sendiri.
  3. Memperhatikan aspirasi masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan.
  4. Membangun prakarsa dan rasa tanggung jawab masyarakat.
  5. Menciptakan semangat kebersamaan.
  6. Menciptakan peluang dan kesempatan usaha bagi masyarakat.
  7. Memotivasi masyarakat untuk mengubah nasibnya.

Sebagai suatu strategi pembangunan harus terkandung moral pembangunan yaitu:

  1. Pembangunan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
  2. Adanya pemihakan kepada rakyat.
  3. Membangun prasarana dan sarana untuk membuka isolasi.
  4. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam kegiatan sosial ekonomi.
  5. Meningkatkan rasa kesadaran, kemauan dan tanggungjawab, rasa kebersamaan, harga diri dan percaya diri.

Sedangkan bagi aparat pemerintah dituntut untuk semakin pekah, peduli dan tanggap terhadap permasalahan pembangunan sehingga dapat memberikan pelayanan dan pengayoman kepada masyarakat sesuai tuntutan hati nurani rakyat. Ditinjau dari sudut sosial budaya menurut Selo Soemardjan (1993) ada beberapa unsur Yang  perlu dimiliki oleh masyarakat untuk melakukan langkah pertama kearah pembanguan adalah:

  1. Perlu memiliki rasa ingin memperbaiki nasib.
  2. Memerlukan rasa percaya diri (self confidence) untuk mencapai suatu tujuan yang  diinginkan.
  3. Perlu ada kelompok warga (critical mass) yang  melihat lebih jauh dan lebih luas dari pada warga desa lainnya

 Disampaikan Pada Workshop, Partisipasi Politik Masyarakat Adat (Akar-Kesbangpol DEPDAGRI)