Berdasarkan hasil telaah dan pembahasan bersama para pihak dalam Rakor Hutan Adat yang dilaksanakan pada tanggal 23-24 Januari 2018 lalu di Jakarta, Rapat Kerja Teknis ini dihadiri oleh 300 orang bertujuan untuk mensosialisasikan pengakuan hutan adat oleh Pemerintah pasca ditetapkannya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/ PUU-X/ 2012 tanggal 16 Mei 2013.
Dimana, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa Hutan Adat adalah Hutan yang berada di wilayah adat masyarakat hukum adat dan bukan lagi Hutan Negara. Keputusan ini juga sekaligus sebagai landasan bagi pemerintah untuk membangun pola interaksi dengan masyarakat hukum adat dan bertukar informasi serta melakukan tindak lanjut yang harus dilaksanakan setelah adanya penetapan hutan adat disuatu wilayah, sehingga esensi dari putusan tersebut adalah bahwa masyarakat memiliki akses kelola kawasan hutan adat sesuai dengan kearifan lokal.
Pengakuan masyarakat adat dan hak kelola kawasan hutan hukum adat, memang memungkinkan terjadinya kontradiksi nilai, namun hasil dari perjalanan panjang diskusi Perhutanan Sosial yang telah dilakukan lebih dari belasan tahun meyakini dengan tata ruang hutan yang baik, pengelolaan kawasan hutan lebih terproteksi, karena kawasan ini merupakan kawasan tumpu, kawasan sebagai pendukung yang menopang hidup masyarakat di kawasan hutan adat.
Terhadap usulan/potensi calon hutan adat diwilayah Provinsi Bengkulu diperoleh hasil-hasil sebagai berikut: Usulan Hutan Adat di Kabupaten Lebong Propinsi Bengkulu seluas 8.036,2 Ha yang terediri dari 11 polygon yakni; 1) Kutai Embong Uram Marga Suku IX seluas 1.517 Ha. 2) Kutai Embong I Marga Suku IX seluas 1.072 Ha. 3) Kutai Kota Baru Marga Suku IX seluas 698 Ha. 4) Kutai Plabai Marga Suku IX seluas 696 Ha. 5) Kutai Kota Baru Santan Marga Suku IX seluas 239 Ha. 6) Kutai Talang Donok Marga Jurukalang seluas 178,9 Ha. 7) Kutai Talang Donok I Marga Jurukalang seluas 317,3 Ha. 8) Kutai Teluk Diyen Marga Jurukalang seluas 572,7 Ha. 9) Kutai Tanjung Bajok Marga Jurukalang seluas 260,6 Ha. 10) Kutai Talang Ratu Marga Jurukalang seluas 1.210,3 Ha dan 11) Kutai Suka Sari Marga Jurukalang seluas 1.274,4 Ha.
Ke 11 (sebelas) wilayah yang telah terkonsolidasi dengan baik dilakukan oleh Akar Foundation atas dukungan HuMA dan Epistema, PERDA No 4 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Rejang merupakan pijakan kebijakan pengakuan dan dukungan politik Pemerintahan Kabupaten Lebong dalam mendukung pengelolaan dan pengakuan atas hak kelola hutan melalui skema Hutan Adat, pengakuan ini menjadi titik awal dan sekaligus titik balik dalam usaha pengembalian hak-hak Masyarakat Hukum Adat Rejang setelah sekian lama secara struktural dan sistematis diambil alih oleh Negara.
Selain meletakkan kedaulatan pengelolaan hutan pada masyarakat melalui PERDA No 4 Tahun 2017, pola pengakuan hak atas hutan adat MHA Rejang juga harus menekankan prinsip dasar sistem pengelolaan hutan pada pengertian ekosistem (Ecosystem Based Principles). Hal ini dicirikan oleh aspek kelestarian semua kehidupan tergantung pada kesatuan ekosistem yang mencakup komposisi, struktur dan proses. Karena itu antara masyarakat setempat dan kehidupan sosial, ekonomi dan budayanya berada dalam suatu kesatuan ekosistem hutan. Secara langsung maupun tidak, para pemanfaat atau pengguna hasil hutan dan jasa harus berbagi tanggung jawab untuk mempertahankan dan memperbaiki ekosistem. Dalam konteks keutuhan ekosistem maka komoditas yang diusahakan memiliki tingkat keragaman yang tinggi dan tidak hanya tergantung pada ekstraksi salah satu komoditas tertentu.
Untuk mewujudkan prinsip pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat hukum adat, sangat diperlukan adanya perubahan paradigma pembangunan, kebijakan dan peraturan di sektor kehutanan, kelembagaan, termasuk perilaku dan budaya setiap pihak yang terlibat (stakeholders). Hal tersebut di atas dapat tercapai bila dalam proses penyusunan dan implementasi kebijakan mengakomodir dua hal penting. Pertama: dalam proses penyusunan kebijakan harus menerapkan prinsip demokrasi, transparansi, dan partisipasi; Kedua: dalam implementasi kebijakan harus menegakkan prinsip konsistensi dan non diskriminasi.
Skema hutan adat sesungguhnya memiliki tuntutan yang sangat tinggi dalam hal tata-kelola ekonomi dan lingkungan, pelibatkan parapihak utamanya Pemerintahan Daerah (Kabupaten dan Propinsi), Balai TNKS, BPN ATR dan KLHK adalah kunci utama dalam percepatan maupun pengelolaan hutan adat. Oleh karena itu dalam pelaksanaan pengelolaan hutan adat seharusnya tidak diperlakukan sebagai suatu investasi (prakarsa baru), tetapi sebagai upaya pengendalian meluasnya dampak kerusakan (damage control) dan pemberdayaan (empowerment), pembenahan struktur kebijakan dan tata-kelola wilayah yang saat ini terbukti sangat lemah, salah satunya melalui pembenahan penataan ruang.
Penelitian yang dilakukan oleh Akar Foundation menunjukan bahwa tanah adat wilayah Jurukalang dan Marga Suku IX masih di akui oleh komunitas Warganya, ini dibuktikan dengan keinginan yang kuat oleh masyarakat hukum adat di wlilayah tersebut untuk menghidupkan kembali kelembagaan kutainya. Hubungan MHA Rejang dengan wilayah adatnya, seperti yang di sebutkan oleh Ter Haar bahwa ‘bilamana orang menoropong suku bangsa Indonesia manapun juga, tampaklah dimatanya lapisan bagian bawah yang amat luas suatu masyarakat yang terdiri dari gerombolan-gerombolan yang bertalian satu sama lain terhadap alam yang tidak kelihatan mata terhadap dunia luar dan terhadap alam kebendaan, maka mereka bertingkah laku sedemikian rupa sehingga mendapat gambaran yang sejelas-jelasnya gerombolan-gerombolan tadi dapat disebut rechtsgemeenchap (masyarakat hukum). Koptasi wilayah adat oleh Negara dengan tidak melibatkan masyarakat adat ini kemudian memunculkan konpilk dan saling klaim atas kepemilikan atas objek tanah yang sama, klaim kepemilikan atas wilayah kelola masyarakat hukum adat dimana sebagian besar sangat tergantung dengan kawasan hutan sebagai bagian penompang kehidupan mereka, sementara pemangku kawasan mengenangap masyarakat tersebut sebagai perambah yang harus di tertibkan dan di usir dari lahan-lahan pertanian yang dikelola secara tradisional. Data mengenai luasan hutan yang di buka sejak tahun 1985 -1990 menyatakan bahwa para peladang berpindah mungkin bertanggungjawab sekitar 20% hilangnya hutan.
Selain kehilangan tanah penyebab terjadi aktivitas pertanian dan perkebunan di Taman Nasional Kerinci Seblat adalah proses penetapan yang tidak partisipatif. Kenyataanya pada saat sebelum adanya taman nasional beberapa daerah telah menjadi areal perkebunan dan persawahan masyarakat, beberapa daerah seperti Desa Tapus, Bandar Agung, Talang Donok, Tanjung Bajak dan Kota Donok yang merupakan dusun-dusun di Komunitas Marga Jurukalang, Kondisi ini sengaja dibiarkan dan tidak pernah dilakukan upaya-upaya penyelesaian dengan tuntas. Sehingga masyarakat terus melakukan aktivitas tapi seperti pencuri di tanah mereka sendiri.
Hasilnya adalah hasil pertanian yang diperoleh oleh rakyat tidak pernah memuaskan sementara disisi lain kondisi Taman Nasional semakin tidak jelas. Dengan demikian Pengelolaan Hutan Adat hanya dapat berhasil apabila secara sistematik dilakukan rekonsiliasi tunggakan-tunggakan masalah keruangan dan pertanahan, yang selama ini terbukti ampuh menjadi faktor penguat daya rusak kegiatan-kegiatan pembangunan terhadap daya dukung lingkungan dan kelentingan social. Selain meletakkan kedaulatan pengelolaan hutan pada masyarakat, pola pengakuan hak atas adat masyarakat hukum adat Rejang ini juga harus menekankan prinsip dasar sistem pengelolaan hutan pada pengertian ekosistem (Ecosystem Based Principles). Hal ini dicirikan oleh aspek kelestarian semua kehidupan tergantung pada kesatuan ekosistem yang mencakup komposisi, struktur dan proses. Karena itu antara masyarakat setempat dan kehidupan sosial, ekonomi dan budayanya berada dalam suatu kesatuan ekosistem hutan. Secara langsung maupun tidak, para pemanfaat atau pengguna hasil hutan dan jasa harus berbagi tanggung jawab untuk mempertahankan dan memperbaiki ekosistem.