Oleh Sugian Bahanan
Secara umum komunitas adat Suku Tengah Kepungut adalah kesatuan komunitas geneologis yang dibentuk dengan sistem kelembagaan adat marga yang berkedudukan di dusun Lubuk Mumpo dan dikepalai oleh Pesirah. Marga merupakan sistem Pemerintahan Keresidenan yang berasal dari Palembang. Kemudian dibawa oleh J. Walan seorang assisten-residen Belanda (1861-1865), yang ketika itu dimutasikan oleh pemerintahan Belanda, ke dalam pemerintahan di Bengkulu,  Sistem kelembagaan marga memakai tata aturan yang mengacu pada Undang-Undang Simbur Cahaya ciptaan Van Bossche di tahun 1854 [1]
Kelembagaan marga menganut sistem komunal dalam mengelola dan memanfaatkan kawasan adat. Sebagai bagian dari sistem, tanah dan dusun sebagai puak[1], mempunyai ikatan yang erat. Dari tanahlah para anggota komunitas memperoleh makanan untuk kehidupan mereka.  Suku Tengah Kepungut tersebar di beberapa desa, yang berada di Kecamatan Kota Padang, Kabupaten Rejang Lebong.  Beberapa diantaranya adalah Desa Belimbing, Desa Pulo Mas, Desa Durian Emas dan Desa Lubuk Mumpo, yang di kemudian hari dijadikan sebagai lokasi Hak Guna Usaha (HGU) di bidang perkebunan.
Masyarakat Suku Tengah Kepungut  yang tersebar pada kelima desa ini, telah lama berkebun dan bercocok tanam  secara turun temurun.  Keberadaan mereka dibuktikan  dengan adanya Surat Keterangan Penyerahan Tanah dari Pembarap[2] Marga Suku Tengah Kepungut  dari Lubuk Mumpo.  Pengalihan hak milik atas tanah yang diketahui oleh Pengurus Adat, dari Abdul Hadi ke Medorim, pada tahun 1962.
Pada tahun 1987, pemerintah memberi  izin HGU kepada PT. Bumi Megah Sentosa (BMS), di lahan yang menjadi sumber kehidupan masyarakat Suku Tengah Kepungut. Di tahun yang sama, Pemda Rejang Lebong juga membebaskan lahan masyarakat seluas 1,840 Ha untuk dijadikan lokasi transmigrasi. Menurut warga, proses pembebasan lahan dilakukan secara paksa dan tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu kepada masyarakat sebagai pemilik lahan. Hal ini dialami oleh Bapak Ayang, warga Desa Durian Mas, seorang warga yang lahannya diambil dengan cara paksa dan diintimidasi. Setahun kemudian, Bapak Ruslan beserta beberapa warga Sukamerindu dipenjara selama setahun karena dianggap melawan hukum.
Pemberian ijin HGU PT. BMS telah menyebabkan akses masyarakat terhadap lahan tidak ada lagi dan mereka terancam akan kehilangan sumber  mata pencarian buat kebutuhan sehari hari. Pemberian izin yang tidak mengindahkan hak masyarakat telah menimbulkan konflik lahan yang berkepanjangan.  Kondisi ini juga yang menyebabkan perusahaan tidak dapat beroperasi secara optimal, terutama di lahan-lahan yang tumpang tindih dengan lahan yang diklaim masyarakat.
PT. BMS mendapatkan HGU dengan luas 6,925 hektar. Selama 16 tahun  beroperasi, perusahaan ini hanya bisa memanfaatkan dengan tanaman coklat dengan luas 1,200 hektar saja.  Karena konflik yang tidak kunjung selesai, kemudian sejak tahun 1994 PT. BMS menelantarkan lahan-lahan tersebut, sehingga menjadi semak belukar.  Akibat dari kinerja yang jelek, akhirnya BPN mencabut ijin HGU PT. BMS pada tahun 2000 melalui SK. BPN No: 11/VII/ 2000. 
Lahan-lahan yang ditelantarkan inilah kemudian digarap kembali oleh masyarakat adat Suku Tengah Kepungut dengan berkebun kopi, karet, durian, petai dan tanaman keras lainnya. Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Akar Bengkulu, saat ini ada sekitar 414 KK atau kurang lebih 1,678 jiwa, yang hidup dari budidaya perkebunan di dalam lokasi lahan sengketa seluas 729 Ha.

 


[1] Puak adalah sistem pembagian dan tata kelola wilayah berdasarkan kedekatan geologis dan geneologis
[2] Pembarap adalah Kepala Komunitas atau Kepala Persekutuan setingkat Kepala Desa dimana Kepala Marga yang disebut Pesirah berkedudukan