Pemulihan hak kepemilikan dan penguasaan secara hukum dan skema-skema hutan untuk rakyat tidaklah harus berakhir pada kepastian hak atas tanah dan hutan, tetapi memastikan terjadinya peningkatan kesejahteraan, pengentasan kemiskinan, pengembangan ekonomi berbasis masyarakat melalui ragam investasi dan inovasi yang bertujuan untuk menumbuhkan iklim usaha yang kondusif, pengembangan sistem pendukung usaha, pengembangan wirausaha dan keunggulan kompetitif, serta pemberdayaan usaha skala mikro (UMKM Kehutanan).
Pemberdayaan ekonomi masyarakat dan issue lingkungan bukan dua hal yang diametrikal. Yang diperlukan untuk menjembatani keduanya adalah mencari “The right kind of growth”, yakni selain memenuhi pertumbuhan ekonomi, juga mampu memelihara lingkungan bahkan menciptakan pertumbuhan ekonomi baru dari sumber daya hutan dan lingkungan tanpa merusaknya. Sehingga bisa dijelaskan bahwa ekonomi berbasis sumber daya hutan sebagai kegiatan perekonomian yang mampu meningkatkan kesejahteraan dan keadilan sosial di satu sisi, tetapi di sisi lain mampu menghilangkan dampak negatif pertumbuhan ekonomi terhadap lingkungan dan kelangkaan sumber daya hutan.
Maka, praktek-praktek usaha kehutanan masyarakat (Community Forest Enterprise), industri dan rantai nilai yang
mendukung pembangunan ekonomi berkelanjutan harus diprioritaskan sebagai pendorong utama pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Pengembangan ekonomi melalui ragam investasi dan inovasi dibidang kehutanan harus mempertimbangkan dimensi budaya dan sosial termasuk inisiatif keberlanjutan yang tepat melalui perencanaan dan mekanisme partisipatif yang efektif dari masyarakat. Dengan demikian, Pembangunan Ekonomi Bidang Kehutanan akan sama-sama mendukung peluang usaha kehutanan masyarakat (CFE) dan usaha bisnis masyarakat, serta usaha kecil dan menengah (UMKM). Oleh karena itu, penting untuk memfasilitasi dan mengatur pengembangan system pemberdayaan ekonomi yang adil antara produsen di tingkat masyarakat, UMKM, sektor swasta dan Pemerintah sebagai pemangku kebijakan. Dan, paling tidak ada enam poin yang harus diintervensi pada kelembagaan masyarakat pengelola hutan. Pertama, peningkatan peran dan sinergitas antar para pihak. Kedua, mendorong akses yang lebih mudah dalam akses terhadap modal (finansial), pasar, teknologi, informasi dan proses pengambilan kebijakan yang berhubungan dengan tata kelola hutan. Ketiga, menguatkan partisipasi dan jejaring kerja. Keempat, meminimalisir kesenjangan kebijakan. Kelima, meningkatkan posisi tawar kelembagaan dalam kemitraan. Keenam, penguatan dokumen, data dan informasi kelembagaan.
Enam poin tersebut bisa diaplikasikan kedalam Enam belas rekomendasi bagi praktek usaha kehutanan masyarakat (Community Forest Enterprise) yang bertanggung jawab secara sosial, men-sejahterakan serta equitas dalam pratek ekonomi, yaitu;
Isue Kebijakan
Pengakuan dan penghormatan dalam bentuk kebijakan jangka panjang alas hak pengelolaan dan penguasaan hutan sebagai basis properti investasi untuk memudahkan membangun usaha dan akses sumber-sumber pendanaan
Pemerintahan baik di tingkat Nasional dan Daerah harus memfasilitasi penyelesaian hambatan terhadap akses modal, dan pengetahuan
Mengakui praktek-praktek pengelolaan hutan berbasis lokal (ecological knowledge) dan kebijakan perlindungan produk hasil hutan dan pangan lokal
Singkronisasi kebijakan nasional dengan kebutuhan pengembangan investasi dan inovasi tingkat tapak (UMKM Kehutanan) dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang di tingkat Propinsi dan Daerah
Mengembangkan pengembangan ekonomi alternatif berbasis tourism (Eco, Culture & Heritage)
Revitalisasi kultur dan pengarusutamaan peran perempuan (Gender Equality) dalam inovasi dan investasi pengelolaan hasil hutan
Skema Investasi dan Kelembagaan
Praktik tata kelola kawasan hutan harus mengutamakan dan berlandaskan sustainable farming dan tanaman pangan pada wilayah kelola rakyat yang telah terbebani izin baik penguasaan maupun pengelolaan
Memastikan keadilan distribusi pada Tata Kelola produksi melalui sistem production sharing antara masyarakat, pemerintah dan pihak ketiga
Memastikan hak ekuitas masyarakat dengan mendorong proses lahirnya kesepakatan di tingkat nasional berkaitan dengan konsep “Investasi Sektor Kehutanan” yang melindungi secara menyeluruh hak-hak komunitas yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan, terutama dalam kaitannya dengan kemungkinan penciptaan pasar jenis baru yang melibatkan komunitas.
Penguatan daya resistensi masyarakat terhadap ekspansi ekonomi eksploitatif dilakukan dengan secara jelas menyebutkan alur, mekanisme dan complain atas sebuah investasi dan dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Proses FPIC harus menjadi rujukan dalam setiap proses
Pengembangan usaha masyarakat yang berbasis HHBK dengan melakukan: Peningkatan teknologi budidaya sehingga dapat meningkatkan produktivitas; Membangun kemitraan kepada pihak ke 3 (bank dan investor) dalam hal bantuan pembiayaan/modal untuk peningkatan kapasitas usaha. Perlu penyusunan rencana kerja dan proposal kelayakan usaha; Peningkatan kapasitas manajemen usaha sehingga usaha dapat lebih efisien dan efektif dari aspek legalitas, produksi, keuangan, SDM dan pemasaran;
Diadakannya pertemuan bisnis/bussiness matching antar pihak (produsen, pemodal, pengolah, pedagang/retailing).
Skema Pasar
Terintegrasinya kerangka strategi nasional dan daerah untuk memastikan permintaan dan potensi pertumbuhan produk serta kemungkinan perluasan skala sehingga perlukan dukungan dari SKPD tingkat kabupaten/provinsi ataupun mitra pembangunan kepada kelompok usaha (UMKM Kehutanan) untuk standardisasi teknik pengelolaan komoditas, meliputi aspek budidaya, pengolahan bahan baku, standardisasi mutu dan jaminan keberlanjutan, aspek legalitas lahan, akses permodalan, dan intervensi rantai pasar.
Manajemen organisasi bisnis dari UMKM Kehutanan perlu diintegrasikan kedalam Rencana Pembangunan Ekonomi Daerah untuk menjaminkan Bisnis Masyarakat yang berkelanjutan, melalui pengembangan model usaha masyarakat berbasis HHBK dengan fasilitasi dari Pemerintah Daerah,
Diperlukan upaya peningkatan kapasitas pengetahuan, kerjasama bisnis dan bidang pemasaran produk termasuk dengan merangkul perusahaan-perusahaan swasta dalam mendukung keberlanjutan usaha sebagai pemodal, pembeli ataupun bantuan jaringan pemasaran.
Akademisi dapat menjadi mitra potensial untuk mendukung kegiatan masyarakat. Dibutuhkan kerjasama dengan akademisi baik untuk pendampingan secara intensif, penelitian serta kegiatan pendidikan lainnya terhadap usaha masyarakat di semua aspek usaha seperti manajemen organisasi usaha, peningkatan kualitas SDM, manajemen keuangan, dll.