AKARNEWS. Direktur Eksekutif Akar Foundation Erwin Basrin mengungkapkan pentingnya pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat.
Erwin menjelaskan bahwa dari perspektif sejarah instrumen hak azasi manusia secara umum adalah pengakuan yuridis terhadap hak masyarakat hukum adat sebagai suatu komunitas antropologis.
“Pengakuan negara tentang eksistensi, indentitas budaya dan hak tentang masyarakat adat di dalam hukum nasional secara konstitusional di akui dalam Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945, meskipun dikaitkan dengan empat syarat; sepanjang masih hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakat, zaman dan peradaban, sesuai dengan prinsi Negara Kesatuan Republik Indonesia dan di atur dalam undang-undang.” Ungkapnya kepada Akarnews di sela-sela launching buku Ragam Identitas Perempuan Bukan Bayang-bayang: Menguatkan Konstruksi Nasionalisme Karya Titiek Kartika, Kamis (27/12/2018).
Menurutnya konsep pengakuan atas keberadaan masyarakat adat sebagai pemilik originil dari tanah menjadi sangat penting bagi setiap pengambilan keputusan atau pembuatan kebijakan, pada tahun 1989 disepakati ILO Convention No. 169 Concerning The Indigenous and Trinibal Peoples in Independent Countries dan kemudian pada tahun 1993 telah dibuat The 1993 UN Draft Declaration on the Rights of Indigenous Peoples yang menjadi dasar bagi negara-negara termasuk Indonesia untuk mengakui keberadaan hak masyarakat adat.
“Walaupun demikian produk hukum lainnya justru menunjukan lemahnya pengakuan hak ulayat dan membiarkan kewenangan instansi pemerintah sepenuhnya menentukan dalam memutuskan apakah menghargai hak masyarakat adat/lokal atau tidak.” Katanya.
Dia juga menjelaskan kondisi dilematis dimana mayoritas masyarakat Indonesia hidup di pedesaan dan sebagian diantaranya mengantungkan hidupnya pada sektor pertanian.
Baca Juga: Pak Sa’ud; Selama ini Kami Seperti Berjalan di Lorong Gelap dalam Mengelola Hutan
“Dengan demikian status tanah menjadi bagian sangat penting bagi kehidupan mereka termasuk dalam kerangka perspektif hubungan sosial dan spiritual dan status tanah di mana terdapar sumber-sumber daya alam di atasnya akan berfungsi sebagai pengontrol perilaku masyarakat.” Kata Erwin.
Kontroversi tata batas wilayah adat, Kata Erwin, baik dengan wilayah konservasi, dan beberapa peruntukan lahan yang izinya di keluarkan oleh Pemerintah merupakan sebuah gambaran adanya kooptasi wilayah adat oleh Negara. Kondisi ini semakin mempersempit ruang kelola Masyarakat Adat yang pada akhirnya secara faktual menghilangkan identitas dan integritas komunitas adat sebagai satu persekutuan masyarakat yang pada dasarnya telah terbukti mampu mengelola wilayahnya secara berkelanjutan.
Baca Juga: KSDAE; 4.474 Ha Telah di tetapkan Sebagai Kawasan Hutan Adat di Dalam Kawasan Konservasi di Indonesia
“Marjinalisasi peran dan fungsi yang di miliki oleh masyarakat adat tidak hanya di lakukan oleh Pemerintah secara fisiologis melalui kewilayahan adat, akan tetapi juga dilakukan melalui penghancuran secara terstruktur melalui sistem dan tata aturan kelembagaan adat,”
Baca Juga: Bupati Lebong Menyerahkan Permohonan Pengakuan Hutan Adat Kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
“Revitalisasi serta penyadaran yang lebih di tingkat masyarakat dalam melihat lebih jauh atas hak azazinya merupakan bagian dari proses penyelesaian yang adil terhadap konflik-konflik agraria dan merupakan satu keharusan bagi upaya pemecahan atas persoalan-persoalan sosial yang komplek” Jelasnya.