Beberapa waktu lalu,  pada tanggal 3 April saat berkunjung ke Kota Curup sambil membuat temu dalam suasana silahturahmi dan buka puasa bersama para petani tepi hutan Bukit Daun, saya teringat pernyataan dari seorang teman yang mengatakan bahwa saat ini industrialisasi hasil-hasil sumber daya hutan telah merontokkan sistem nilai yang terkandung dalam sistem sosial masyarakat kita, khususnya masyarakat tepian hutan yang menggantungkan hidupnya pada hutan. Salah satunya dan yang saat ini sedang tren adalah tanaman kopi. Menurutnya letupan bisnis ini menggiring masyarakat untuk menjadi semakin kalkulatif. Dimana  yang dicari adalah keuntungan seperti prinsip business as usual. Sehingga perlahan, mereka mulai meninggalkan prinsip-prinsip subsistensi dalam bertani dan mengutamakan kepentingan bisnisnya.

Namun dalam kondisi ini petani sebetulnya tidak bisa disalahkan, karena pasar memiliki mekanismenya sendiri untuk bekerja. Pasar telah mengubah sistem nilai dan sosial serta perilaku masyarakat. Hal tersebut kemudian juga menggeser perspektif masyarakat terhadap cita-cita kesejahteraanya, yakni “bukan mimpi petani menjadi kaya” dan tidak ada seorang pun yang berhak melarang cita-cita tersebut.

Sebetulnya kopi sendiri merupakan 1 dari sekian banyak produk hasil hutan yang saat ini masuk dalam siklus demam komoditas atau boom crops. Hal ini tidak terjadi di Rejang Lebong saja, tetapi mewabah dimana-mana. Dan ini bukanlah siklus pertama bagi masyarakat yang hidup disekitar kawasan hutan. Sebelum kopi, demam komoditas yang dialami oleh masyarakat sekitar 5 sampai 10 dekade terakhir adalah karet dan tembakau. Secara signifikan hal ini sangat berdampak pada kondisi perekonomian masyarakat di desa.

Ditengah obrolan pasca melepas dahaga setelah seharian berpuasa bersama sore itu, Edison (46) petani Hutan Kemasyarakatan desa Tebat Pulau meletuskan pernyataan, “Tidak ada lagi yang namanya paceklik”.

Dalam penuturannya, Edison melanjutkan bahwa Pada minggu sebelumnya dia baru saja mendengarkan keluhan dari petani di salah satu desa di Kabupaten Kepahiang yang menyatakan bahwa 2 tahun belakangan ini adalah paceklik terpanjang yang pernah mereka hadapi. Hal tersebut akibat dari cuaca ekstrem dimana terjadi tingginya curah hujan dalam 2 tahun terakhir.  Petani di desa tersebut bahkan menghadapi hujan es yang kerap kali terjadi.

Menurut Edison, tembakau lah yang membuat keluarganya mampu membangun rumah di desa. Baginya kopi saat ini sedang menuju repetisi siklus boom crops yang sudah-sudah. Sehingga beberapa petani kopi mulai optimis untuk mendapatkan keuntungan dari berkebun kopi. Ditambah lagi akses untuk memanfaatkan hasil hutan telah legal dan dukungan fasilitas usaha masyarakat semakin banyak, mulai dari dukungan langsung dari pemerintah maupun kerjasama dengan pihak lain.

Penuturan edison tersebut membawa saya pada ingatan tentang statement yang disampaikan oleh Suwandi, Petani asal Bandung Jaya yang bertemu dengan kami pada tanggal 9 maret 2023 lalu dalam sebuah forum diskusi Bersama petani hutan kopi lainnya. Menurutnya, 2 tahun ini petani kopi sedang berada pada momentum emas yakni harga kopi melambung tinggi. Harga beras kopi atau green bean bahkan mencapai Rp 27.000/Kg dari harga sebelumnya yang hanya berada pada angka Rp16.000 hingga Rp21.000/Kg.

Edison pada saat melakukan proses pemetikan kopi kualitas premium

Dengan kapasitas yang ia miliki dalam momentum emas ini, Edison dan keluarganya mulai menyusun strategi bisnisnya. Keluarga Edison memiliki lahan kurang lebih 2 Hektar. Per 1 hektar lahan tersebut ia dapat menghasilkan 2,5 Ton beras kopi yang terdiri dari 1,6 Ton kopi asalan dan 900 kg kopi petik merah atau premium. Kalender musim untuk tanaman kopi Edison sebagai berikut: panen agung berlangsung selama 5 bulan yakni dimulai dari bulan April/Mei hingga Agustus/September. Selama bulan agung ini seluruh jenis kopi di panen, mulai dari kopi jenis asalan hingga kopi premium. Strategi bisnisnya adalah menjual kopi asalan kepada tengkulak di desa pasca panen dan hasilnya dapat dinikmati selama 3 bulan sejak bulan Agustus/September hingga Oktober/November, bahkan bisa ditabung untuk belanja lainnya. Sementara kopi jenis premium ia simpan untuk kebutuhan ekonomi selama 4 bulan mendatang untuk bulan November/Desember hingga Maret/April, dimana pada bulan-bulan tersebut biasanya terjadi kelangkaan stok kopi.

Harga kopi asalan saat ini mencapai Rp 27.000/kg sementara kopi premium mencapai Rp 45.000/kg. Jika dikalkulasikan, selama 1 tahun dan diatas 1 hektar lahan, Edison dan keluarga mampu menghasilkan Rp 83.700.000 hanya dari usaha kopinya atau setara dengan Rp 6.975.000/bulan. Namun, ini belum keuntungan bersih yang ia dapatkan. Setelah panen agung, ia dan kebanyakan petani lainnya di desa mesti membayar hutang dengan ‘bos’ atau tengkulak yang selama bergenerasi membiayai kehidupan mereka dengan membebani hutang.

Artinya, memang benar bisnis kopi saat ini bisa mengatasi paceklik bahkan sangat menguntungkan bagi petani. Namun butuh waktu yang panjang bagi petani untuk menikmati keuntungan tersebut. Karena kehidupan petani di desa tidak hanya memiliki relasi tunggal dengan pasar, tetapi yang paling kuat adalah relasi sosial yang selama ini menyelamatkan mereka menghadapi musim-musim paceklik.(DINAR/AKAR)