Secara kelembagaan sosial dan ekonomi masyarakat di desa-desa yang menjadi sasaran penelitian yang berperan sangat penting adalah kepala kaum, biasanya pemilihan kepala desa atau pimpinan formal lainnya haruslah mendapatkan rekomendasi dari kepala kaum, ketua kaum/kepala kaum dipilih langsung oleh komunitas warganya dengan beberapa pertimbangan peran-peran paternalistic sangan dominant dikemudian hari dalam proses demokrasi di kampung.

Di wilayah Sungai Ipuh, dimana diyakini sebagai wilayah tertua di Muko Muko yang kenyataan ini diperkuat dengan banyaknya rumah-rumah tua yang sampai saat ini masih dirawat dengan baik oleh warganya (salah satunya adalah rumah di depan tempat kami ‘ditampung’ hampir sebagain besar dindingnya dari kulit kayu). Menurut Bapak Aswir (yang bergelar adat Depati Mudo Panjang Rambut) saat ini menjabat sebagai Kapala Desa Sungai Ipuh dari cerita ninik mamak secara turun temurun dulunya Luak di Sungai Ipuh hanya terdapat 3 suku atau Luak (kesatuan kekeluargaan/clan) masing-masing Luak tersebut adalah Luak Depati Suko Rajo, Luak Depati IV dan Luak Depati VII. Luak Depati Rajo adalah komunitas yang pertama kali mendiami wilayah Sungai Ipuh dan dipercayai berasal dari Gunung Bungkuk Bengkulu Utara adalah komunitas homogen, baru kemudian di sebut-sebut Luak Depati IV dan Luak Depati VII juga mendiami wilayah ini.

Ke tiga Luak kemudian bersepakat untuk membentuk perkampungan di sisi dan sepanjang DAS Sungai Ipuh, kesepakatan inilah yang kemudian dikenal dengan Berkampuh Luak Nan Nan Tigo dan salah satu komunitas yang juga bergabung ke dalam komunitas Berkampuh Luak Nan Nan Tigo adalah Talang Ajan, karena pertambahan dan perubahan yang terjadi nama kumpulan komunitas Desa ini berganti dengan Nama Sungai Ipuh dan kemudian membentuk desa-desa disekitar Sungai Ipuh seperti Talang Buai, Talang Medan, Lubuk Bento dll, Ipuh diambil dari nama pohon yang saat itu tumbuh di wilayah Sungai Ipuh, ketika itu sebagian besar masyarakatnya mengunakan kulit kayu Ipuh sebagai pakaian sehari-hari.

Secara umum ke tiga luak yang ada di Sungai Ipuh ini menganut sistem matrilinial yang lebih berat ke pada pihak ibu, sementara pihak laki-laki ada ketidak jelasan hirarkis namun biasanya pihak laki-laki hanya berperan pada proses perkawinan, jika dilihat lebih jauh sistem lokal atau adat yang dianut masyarakat Sungai Ipuh ini kecenderungan mirip sistem lokal masyarakat Minangkabau Sumatera Barat, tetapi dalam sistem komunal lebih bersifat geneologis matrialinistik dan tidak mengenal sistem tenurial community, sampai saat ini sistem kelembagaan Kaum di dalam Lauk tertentu masih mengacu pada falsapah  lalu kemekah sutan sidi, lalu bekudo jalan darek, dulu allah kemudian nabi, dulu lembago kemudian adat, pepatah ini menyepakati antara sistem adat dan sistem syara’ dan sistem kelembagaan adat yang utuh.

Pertambahan penduduk juga berimplikasi dengan bertambahnya Kaum di Sungai Ipuh, saat ini terdapat 13 Kaum yang merupakan pecahan dari 3 kaum yang disebut terdahulu, Menurut Barlian (ketua Perkumpulan Gerakan Pemuda Sungai Ipuh/GENESIS) boleh saja para pihak membuat kaum baru tentunya dengan beberapa prasyarat, seperti punya anggota kaum, kepengurusan kaum dan yang terpenting adalah membayar beras 20 kulak (4 cupak) dan melaksanakan prosesi potong kambing yang akan diberikan kepada para kepala Kaum yang sudah ada, tentunya dengan study kelayakan dengan perspektif adat yang dilakukan oleh para sesepuh dan kepala kaum yang sudah eksis lebih dahulu.

Komunitas Kaum ini dikepalai oleh Kepala Kaum, kepala kaum ini dipilih oleh Warga Kaum beserta para sesepuh kaum, dalam sejarah adat Kepala Kaum berfungsi sebagai mediasi beberapa persoalan yang ada baik didalam kaum maupun dengan kaum dengan yang lain, persoalan ini biasanya diselesaikan dengan mengacu pada adat pegang pakai. Secara politik Kepala Kaum berperan sebagai negosiator dengan pihak lain misalnya dengan Pemerintahan Desa, dan bertanggung jawab penuh atas anak-anak atau warga kaumnya serta bertanggung jawab atas pinta pento, kesepakatan atas sistem hubungan keluarga/clan yang mengacu pada naik setakik tanggo turun setakik tanggo atau naiknyo pado adat turunyo pado baso.

Masing-masing kaum yang ada di Sungai Ipuh biasanya memiliki 1 buah Surau yang berfungsi sebagai tempat kenduri dah nuai (pesta panen), rapat kaum dan tempat belajar agama, sistem sosial yang masih dilakukan sampai saat ini adalah gotong royong, sistem ini biasa dilakukan dalam kaum disebut nyerayo atau gotong royong kaum, sedangkan gotong royong antar kaum gotong royong negeri dan biasanya di komandoi oleh Kepala Desa.

Pada dekade 1970-an wilayah Sungai Ipuh pernah menjadi lumbung padi di Kabupaten Muko Muko, ketika itu jenis padi yang ditaman adalah varietas lokal seperti padi umbut, belang bujuk dalam pengelolaan SDA bisanya dilakukan menjemput semangat padi (ritual adat dalam mengumpulkan yang teserak tesirai) dalam menanam padi, dan ketika padi berumur 1 bulan masyarakat warga biasanya melakukan ritual dengan membaca Surat Yasin, kemudian ketika padi berumur 2 bulan biasanya di lakukan pembacaan Yasin kembali, pada saat jemput semangat padi menjelang panen kembali dilakukan ritual adat biasanya dilakukan tarian adat enteak-enteak yang disertai dengan ritual sebagai pengkhatam rampung semangat padi dengan lagu-lagu hak-huak-hak-huak kemudian dilanjutkan dengan acara makan-makan atau ngadap jambar.

Terhadap hak kepemilikan atas sumber daya di atas lahan biasanya dipasang tanda besawah (dibersihkan), berebo (tanda-tanda tertentu), sementara sistem bagi hasil biasanya dikenal dengan buah adat dihadang dan ditutuh pada masa-masa panen biasanya ada larangan negeri, dimana masing-masing pihak bergiliran memanen yang di koordinir oleh Kepala Kaum dan Pemerintahan Desa ini merupakan aplikasi atas apresiasi warga kaum kepada pengurus kaum.

Masyarakat Sungai Ipuh masing meyakini adanya kekuatan gaib diluar kemampuan manusia sehingga dalam membuka hutan dilakukan rutual untuk meminta izin kepada penguasa gaib di hutan terutama untuk mendapatkan keselamatan dalam mengelola lahan dalam bahasa lokal disebut kalau tepat minta sipih, kalau sipih minta lepeh, aktivitas yang dilakukan ini disebut do’a buka rimbo.

Pada saat ini ada pergeseran pada tataran implementasi atas penyesuaian intervensi dari sistem luar misalnya Pemerintahan Desa, dimana Kepala Desa merangkap sebagai Kepala Adat yang diawali dengan ritual pemberian gelar adat berdasarkan atas filosofi lapuk li berganti li lapuk pauh jelipung tumbuh, kemudian dilanjutkan dengan recik tepung gelar adat yang diberikan kepada yang bersangkutan berdasarkan atas kesepakatan kaum dari mana dia berasal, ritual ini tidak hanya dilakukan oleh Luak yang bersangkutan tetapi juga dilakukan oleh masing-masing Luak yang ada di sekitar Sungai Ipuh.

Dalam sistem pemerintahan ada pembagian wewenang antara pemerintahan adat dengan Pemerintahan Desa, tetapi ada wewenang lebih Kepala Desa atas konsekwensi pemberian gelar atas dasar Kepala Desa sebagai kunci adat seperti dalam pepatah adat sutan hidayat mudik bekudo, kudo tuanku pagaruyung, lubuk adat gedung lembaga, urang tuo kepalo kaum.

Sangsi-sangsi adat bisanya mengacu pada kesepakatan antar kaum itu sendiri seperti yang tercantum dalam aturan adat, do’a punjung putih dan punjung kuning adalah bentuk sangsi yang paling berat yang diberikan terhadap konsekwensi suatu perbuatan yang dianggap tercela, dalam penyelesaian sengketa yang terjadi Kepala Kaum bertindak sebagai pembela bagi warga kaumnya, dan kepala desa sebagai payung adat dalam kasus adat sering bertindak sebagai mediasi yang ditemani oleh sesepuh adat sebagai tempat konsultasi dalam memberikan keputusan adat.

UU No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa berimplikasi langsung dengan system kelembagaan sosial sehingga memaksakan kelembagaan lokal melakukan penyesuaian dengan menggenalisir beberapa aturan lokal, penghancuran struktur lokal ini tidak hanya akibat kebijakan Pemerintahan Desa yang sentralistik namun sentralistik kebijakan dan demokrasi otonomi di dalam bidang perkebunan pun tidak membawa perkembangan yang berarti dari aspek kelembagaan, sosial dan ekonomi masyarakat komunitas kaum yang bersinggungan dengan sumber-sumber daya alam yang dikelola oleh pemilik modal dengan membuat perkebunan besar.

Persoalan ini dapat dilihat dari system perkebunan yang masih diliputi oleh dualisme ekonomi, yaitu antara perkebunan besar yang menggunakan modal dan teknologi secara intensif dan menggunakan lahan secara ekstensif serta manajemen eksploitatif terhadap SDA dan SDM, dan perkebunan rakyat yang subsisten dan tradisional serta luas lahan terbatas, kedua sistem ini menguasai bagian tertentu dari masyarakat dan keduanya hidup berdampingan, perbedaan keduanya tidak jarang menimbulkan konflik ekonomi yang berkembang menjadi konflik sosial sehingga peran-peran kelembagaan adat atau kaum tidak bisa masuk ke wilayah-wilayah yang mengaplikasi managemen eksploitasi ini.

Konflik yang terjadi antara masyarakat dapat Sungai Ipuh di Desa Lubuk Saung dengan PT Agro Muko merupakan dampak perbedaaan system antar keduanya yang merupakan aplikasi dari hak mengusainya Negara atas tanah dan kemudian memberikan sebagai hak menguasai itu kemudian menjadi Hak Guna Usaha untuk usaha perkebunan, sementara di satu sisi ketidak pastian hak masyarakat yang hidup secara turun temurun diwilayah tersebut (masyarakat adat dengan tenurial geneologisnya) tidak pernah diselesaikan dengan baik malah dilakukan pemaksaan nilai-nilai dan intimidasi dalam prosesnya.

Masuknya pemodal dalam sector perkebunan ini baik PR Agro Muko maupun PT DDP tidak memberikan kontribusi pada tingkat kesejahteraan masyarakat setempat, dari wawancara dengan Kepala desa Talang Medan saja dapat diketahui bahwa hampir 80 % masyarakatnya adalah bekerja sebagai buruh harian di PT Agro Muko yang tentunya dengan upah di bawah standar minimum yang dibayar harian dengan nominasi yang berbeda-beda antara Rp. 17.000-27.000 perhari, dan upah ini berbeda-beda antar masing-masing desa.

Hingga saat ini pun masih belum ada distribusi aset dan manfaat dari hasil usaha perkebunan terdapat masyarakat desa, jika adapun hanya untuk kepentingan sosial seperti bantuan kepada tempat ibadah (sumbangan masjid) itu melalui mekanisme yang rumit.

Masalah Kelembagaan

Persoalan kelembagaan perkebunan di Kabupaten Muko Muko khusunya yang bersentuhan dengan wilayah kelola perkebunan PT Agro Muko dan PT DDP, proses kelembagaan khususnya Corpoorated Social Responsibility (CSR) dalam pengembangan masyarakat, dari study yang dilaksanakan oleh Akar ada beberapa hal yang menjadi persoalan utama masyarakat yang bersentuhan dengan masalah kelembagaan ini, antara lain;

  1. Pengunaan Tanah (Land Use), proses ini akibat dari masih berlakunya hak ketuan-tanahan sehingga system kemilikan atas tanah tidak merata dan kebanyakan petani hanya sebagai kuli tani atau petani sebagai pengelola
  2. Lembaga pengkreditan atau utang piutang masih bersipat pribadi yang menguntungkan si peminjam dengan ketentuan bunga tinggi
  3. Mobilitas sosial vertikal masih rendah karena mereka tidak memiliki kemampuan lebih untuk bergerak diluar apa yang diketahuinya
  4. Belum berkembangnya kewirausahaan dan rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan

Kelembagaan petani yang sebagian besar hidup di sekitar perkebunan besar baik PT Agro Muko maupun PT DDP masih lemah, baik dari aspek sosial maupun ekonomi.

Lemahnya kelembagaan ini terjadinya karena intervensi yang berlebihan dari pemerintah, terutama dengan pembentukan KUD-KUD yang justru banyak merusak tatanan kelembagaan masyarakat. Di satu sisi memang dukungan permodalan dan investasi kurang mendukung, terutama Kelembagaan yang menjamin keberpihakan kepada petani masih lemah, salah satu alasannya adalah anggapan bahwa petani tidak mampu untuk mengembangkan usahanya secara ekonomis.

Masalah Sosial Kultural (Sosial Budaya)

Pembangunan perkebunan tidak hanya berdampak pada keberlanjutan lingkungan itu sendiri tapi lebih jauh berkontribusi pada penghancuran struktur-struktur sosial yang ada dan berkembang di masyarakat, di Kabupaten Muko Muko saja ada beberapa persoalan yang memicu terjadinya konflik sosial di daerah perkebunan, antara lain adalah

  1. Tidak berkolerasinya alokasi lahan dengan laju pertambahan penduduk, sebagian besar penduduk ini bermata pencarian sebagai petani dan penggarap di satu sisi terjadinya dominasi lahan oleh pemilik modal ketimpangan ini mulai tampak dengan perbandingan luasan kepemilikan lahan oleh masyarakat seluas rata-rata 1-2 Ha dan pemilik modal sampai 100-an Ha
  2. Adanya tatanan kebijakan agrarian yang tidak kompatibel dengan perkembangan dan kondisi masyarakat, kerancuan ini dapat dilihat dari benturan kebijakan nasional dengan kebijakan di daerah tentu saja dengan basis argument dan atas nama otonomi daerah
  3. Terjadinya bundle of rights atau kepemilikan ganda atas objek tanah yang sama baik itu antar masyarakat dengan perkebunan maupun antara masyarakat dengan kawasan konservasi
  4. Belum adanya kepastian hukum atas kepemilikan lahan oleh masyarakat sehingga bias saja dikooptasi sebagai wilayah Negara yang kapan saja bias di alih fungsikan maupun dicabut hak atas kepemilikannya
  5. Makin kompetitifnya alternatif kepemilikan lahan terutama untuk kebutuhan lahan pemukiman