Peningkatan kapasitas internal AKAR Foundation dengan menggelar pelatihan tentang gender, disabilitas dan inklusi (Gedsi), 27, 28, 29 Juli 2023, di Hotel Jodipati Bengkulu.

AKARNEWS. Guna meningkatkan pengetahuan dan wawasan tentang isu-isu gender, disabilitas dan inklusi (Gedsi), internal Akar Foundation menggelar pelatihan Gedsi selama 3 hari mulai tanggal 27, 28, 29 Juli 2023, di Hotel Jodipati Bengkulu. Tema kegiatannya tentang Pengarusutamaan gender, disabilitas dan inklusi dalam sistem tenurial dan livelihood Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal (MAKL) di Pedesaan. Selaku pemateri adalah Peneliti Feminis dan Konsultan GEDSI Jakarta, Ruth Indiah Rahayu atau yang akrab disapa Yuyut.

Hari pertama pelatihan, seluruh kru Akar Foundation diberikan materi tentang uraian tentang pengertian apa itu Gedsi? Kemudian dilanjutkan materi terkait indikasi ketimpangan-ketimpangan sosial yang menyebabkan terjadinya ekslusi sosial (social exclution). Dituturkan Yuyut, eksklusi sosial adalah proses yang kompleks dan multidimensional. Hal ini melibatkan seseorang yang mengalami pengucilan sosial tidak memiliki akses atau ditolak dalam mengakses sumber daya, hak, manfaat pembangunan sehingga menimbulkan ketidakmampuan untuk berpartisipasi secara normal dalam kegiatan dan relasi sosial baik di arena ekonomi, sosial, budaya, maupun politik.

Yuyut menambahkan, ada 3 sifat pengucilan sosial yang terjadi di masyarakat. Pertama, pengucilan sosial luas (wide). Yakni, mengacu pada sejumlah besar orang yang dikucilkan menurut satu atau beberapa kategori sosial. Kedua, pengucilan sosial mendalam (deep) yang mengacu pada pengucilan terhadap beberapa dimensi yang tumpang tindih. Dan ketiga, pengucilan sosial terkonsentrasi yaitu, mengacu pada pengucilan berdasarkan konsentrasi geografis atau area.

“Ada tiga hal yang menjadi indikator penyebab terjadinya pengucilan sosial. Yaitu, partisipasi yang tidak setara/adil. Akses yang tidak setara/adil dan hambatan untuk memperoleh peluang. Jadi, jika kita ingin berfikir inklusi, maka pahami dulu ekslusi sosialnya”, kata Yuyut.

Peneliti Feminis dan Konsultan GEDSI Jakarta, Ruth Indiah Rahayu atau yang akrab disapa Yuyut sedang menyampaikan materi Gedsi kepada peserta.

Di sisi lain, lanjut Yuyut, bicara soal gender seringkali salah kaprah atau salah anggapan. Perlu diketahui, pengertian gender tidak sama dengan pengertian jenis kelamin. Gender itu sendiri artinya, persepsi masyarakat atau yang mengacu pada peran, perilaku, ekspresi, dan identitas seseorang, baik laki-laki maupun perempuan. Istilah ini juga erat hubungannya dengan orientasi seksual. Gender biasanya diasosiasikan dengan istilah maskulin dan feminin.

“Jenis kelamin yang ditakdirkan itu ada laki-laki dan perempuan. Tapi tetap ada pengecualian pada orang yang mengalami kelainan sex/kelamin sejak lahir. Gender ini sendiri sudah ada sejak dulu-dulu, jauh sebelum kehidupan modernisasi seperti saat ini. Artinya, persoalan gender ini bukan muncul sekarang. Tapi istilah gender atau kesetaraan gender ini sepertinya masih sangat awam di masyarakat”, kata Yuyut.

Yuyut melanjutkan, kenapa perbedaan gender menimbulkan masalah? Ada beberapa penjelasan terkait hal ini. Jika dilihat dari sudut pandang konstruktivisme sosial, gender bermasalah karena adanya konstruksi sosial berdasarkan gender yang menempatkan laki-laki pada hirarki dominan terhadap perempuan. Lalu, jika dilihat dari tinjauan pendekatan pembangunan, pembeda berdasarkan gender yang hirarki menyebabkan perempuan tidak memiliki akses, partisipasi, kontrol, peluang/manfaat.

“Jadi selama ini kesannya laki-laki itu simbol patriarki banget. Padahal, sejak bumi ini diciptakan, laki-laki dan perempuan itu setara. Kalau laki-laki kerja cari nafkah, perempuan kerja di rumah, itu kan artinya sama-sama kerja. Pembagian tugasnya saja yang beda. Apakah posisi perilaku sosial itu bisa dibalik? Bisa”, sambung Yuyut.

Bicara tentang kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan inilah muncul bentuk ketimpangan-ketimpangan berdasarkan gender. Diantaranya, adanya stereotip atau anggapan. Kemudian ketimpangan terkait marginalisasi atau peminggiran hak-hak perempuan. Ada juga ketimpangan subordinasi atau perendahan pada kaum perempuan. Dan ini paling banyak terjadi. Kekerasan dan beban kerja berlebihan pada perempuan.

“Salah satu bentuk kesetaraan gender, misal, profesi bidan itu hanya dilakukan oleh perempuan. Pada kenyataannya, sekarang ini malah dokter kandungan banyak diminati laki-laki. Artinya, kesetaraan hak perilaku sosial laki-laki dan perempuan kan sama”, sambungnya.

Hari kedua pelatihan membahas tentang disabilitas. Disabilitas adalah seseorang orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan berinteraksi secara penuh dan efektif dengan warga lainnya. Penyandang disabilitas juga acapkali mengalami ketimpangan atas haknya, terlebih di kehidupan sosial.

Adapun perspektif dalam memahami penyandang disabilitas meliputi, perspektif medis dan perspektif moral. Perspektif model medis ini adalah, cara pandang ‘orang luar’ terhadap penyandang disabilitas.  ‘Orang luar’ ini menganggap kecacatan sebagai kekurangan, adanya gangguan (impairment), ada yang ‘salah’ pada kebertubuhannya sehingga harus dibantu. Model medis biasanya mengabaikan apa yang dibutuhkan penyandang disabilitas dan menganggap rendah kemampuannya. Sehingga penyandang disabilitas kehilangan kemandirian, pilihan, dan kendali atas hidup mereka.

Lalu ada perspektif moral atau menganggap kecacatan berkaitan dengan karma seseorang atau keluarganya. Perspektif ini, disabilitas dapat menimbulkan stigma, rasa malu, dan tanda kesalahan.

Model sosial disabilitas adalah cara pandang terhadap dunia yang dikembangkan oleh penyandang disabilitas itu sendiri. Model ini berpendapat bahwa penyandang disabilitas dinonaktifkan atau dihambat oleh masyarakat dan bukan oleh kecacatannya. Faktor penghambat bisa berasal dari persepsi ‘orang luar’ terhadap perbedaan kebertubuhanya, menganggap tidak mampu melakukan apa-apa. Termasuk juga desain bangunan atau tata ruang desa/kota yang abai terhadap kebutuhan penyandang disabilitas.

Para peserta Pelatihan Gedsi sedang diskusi menyampaikan hasil kesimpulan kerja kelompok terkait materi Gedsi.

Yuyut menambahkan, konstruksi sosial mengenai ‘orang cacat’ dan ‘orang normal’ telah menciptakan berbagai bentuk diskriminasi terhadap penyandangan disabilitas. Istilah yang sering kita dengar di kehidupan masyarakat tentang orang cacat dan orang normal itu sangat tidak patut diucapkan. Orang cacat (penyandang disabilitas) itu bukan berarti dia tidak normal. Mereka normal tapi mengalami keterbatasan.

“Contoh, Ludwig van Beethoven itu tokoh musik klasik dunia. Dia buta tapi bakatnya dalam bermusik klasik mendunia. Dan itu tercatat dalam sejarah”, kata Yuyut.

Sehingga, lanjut Yuyut, muncullah ketimpangan disabilitas. Bentuknya, bisa diskrimasi langsung dan tidak langsung. Contoh diskriminasi langsung sering dijumpai pada iklan lowongan pekerjaan yang mencatumkan syarat-syarat khusus seperti, good looking. Sedangkan contoh diskriminasi tidak langsung juga sering dijumpai pada hal yang sama, lowongan pekerjaan. Misal, persyaratan memiliki SIM.

“Bagi penyandang disabilitas jelas akan terhambat, tidak bisa memiliki akses dan tidak bisa berpatisipasi pada lowongan pekerjaan tersebut. Dan inilah bentuk diskriminasi terhadap penyandang disabilitas yang dimaksudkan”, sambungnya.

Lantas apa yang bisa dilakukan untuk kesetaraan hak bagi penyandang disabilitas? Pemerintah atau pengusaha atau organisasi bertanggungjawab untuk membuka akses supaya penyandang disabilitas tidak terhambat bisa berpartisipasi selayaknya orang-orang yang non-penyandang disabilitas.

Pengarusutamaan Gedsi dalam program lembaga menggunakan bentuk-bentuk strategi. Diantaranya, bisa dengan menggunakan strategi engagement kelembagaan antara LSM, pemerintah lokal dan komunitas lokal. Strategi engagement antar-aktor dan Strategi engagement dengan sektor privat.

“Supaya yang diharapkan pada goals-nya nanti adalah mencapai inklusi ketimpangan gender, disabilitas, dan kelompok sosial lainnya yang mengalami pengucilan sosial. Dengan strategi tersebut akan terintegrasi sejak perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan/evaluasi atas kebijakan, program dan kegiatan pembangunan di semua sektor”, lanjutnya.

Lalu bagaimana peran LSM atau NGO pada persoalan Gedsi ini? Yakni sebagai jembatan antara pemanfaat langsung, komunitas dan pemerintah lokal atas tiga hal.  Pertama, sebagai peningkatan pengetahuan (knowledge) ke penerima manfaat langsung dan tidak langsung (keluarga, komunitas dan apparatus pemerintah lokal). Kedua, peningkatan penyadaran (awareness) ke penerima manfaat langsung dan tidak langsung (keluarga, komunitas dan apparatus pemerintah lokal). Dan ketiga, peningkatan kemampuan (ability) ke penerima manfaat langsung untuk merebut peluang dalam memperoleh akses dan kontrol sekait dengan hak dasar yang seharusnya mereka peroleh.(AKAR)