Pada 24 September 1960 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diundangkan. Dalam keputusan tersebut dinyatakan bahwa lahirnya UUPA menandai kemenangan rakyat tani, dengan diletakannya dasar-dasar bagi pelaksanaan Land Reform untuk mengikis habis feodalisme dan penghisapan manusia atas manusia melalui penguasaan tanah. Tiga tahun setelahnya, presiden Soekarno melalui Kepres No. 169 tahun 1963 menetapkan bahwa 24 September sebagai Hari Tani Nasional. Sebagai pengingat bahwa tonggak kemenangan rakyat tani atas lahirnya UUPA belum terwujud tanpa dijalankannya pembaruan agraria.   

 

Presiden Soekarno pun menegaskan bahwa gagasan pembaruan agraria merupakan landasan untuk mewujudkan kemerdekaan seutuhnya dari kolonialisme dan feodalisme serta sistem warisannya. Dalam pidato kenegaraan pada 17 Agustus 1960 beliau menyatakan, 

 

“…bahwa revolusi tanpa land reform adalah sama saja dengan gedung tanpa alas, sama saja pohon tanpa batang, sama saja dengan omong besar tanpa isi”; “Tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan ! Tanah untuk Tani! Tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah ! 

 

Namun, setelah 2 abad dan 61 tahun penguasaan dan perampasan tanah, sumber penghidupan dan budaya kaum tani melalui imperialisme hingga kini oligarki, cita-cita keadilan agraria bagi kaum tani semakin jauh dari pencapaiannya. Sehingga kondisi petani dan sistem pertanian kita saat ini tergambarkan seperti yang disebutkan oleh Robert Elson; The end of the Peasantry in Southeast Asia bahwa secara umum petani mulai meninggalkan budaya pertaniannya dengan melakukan force adjustment terhadap strategi nafkahnya agar dapat bertahan hidup dari tekanan dan krisis ekonomi. Kaum tani terpaksa melakukan komodifikasi strategi nafkah bahkan dengan memilih pola-pola subsisten diluar sektor pertanian atau off farm. Sehingga hal ini kemudian menyebabkan relasi petani dengan tanahnya menjadi vulnerable atau bahkan hilang dan lepas sama sekali. 

 

Selain itu, aspirasi petani terhadap pasar global membuat petani tidak lagi dikategorikan sebagai ‘peasant’ atau petani subsisten, melainkan mengubah dirinya menjadi ‘farmer’ yakni petani yang memproduksi tanaman berdasarkan fluktuasi harga produk pertanian. Dan umumnya tanaman yang diproduksi tidak untuk dikonsumsi sendiri, namun mendatangkan uang tunai seperti kopi, karet, sawit, lada, dll. Kondisi inilah yang kemudian juga membuat petani menjadi sangat bergantung dengan uang. Kebutuhan terhadap uang tunai membuat para petani memasuki status pekerjaan baru yang dianggap lebih mendatangkan uang tunai. Lahan yang dihabiskan untuk tanaman monocrop menempatkan petani berada diluar kontrol terhadap naik turunya komoditas global. Sehingga saat ini petani sedang menuju bencana ketika menyerahkan seluruh otonomi tanah dan pangan mereka dalam rantai pasar komoditas global. Sementara negara juga tidak menyediakan jaminan perlindungan sosial terhadap kondisi petani yang semakin lama semakin rentan, melainkan menjadi alat pemuas/pleasure bagi para korporat. 

 

Krisis Agraria dan pola perampasan tanah

 

Seiring dengan runtuhnya perekonomian feudal dan berkembangnya industri tepatnya pasca orde lama di Indonesia, telah berlangsung proses pemisahan produsen langsung dari sarana produksinya di pedesaan. Meski terjadi berangsur-angsur, tetapi peristiwanya begitu brutal. Rakyat tani diusir dari dan tidak bisa lagi memanfaatkan lahan garapan. Di Indonesia proses perampasan tanah-tanah rakyat yang disebut sebagai enclosure ini dimulai sejak pembatasan atau klaim tanah dan sumberdaya alam oleh negara. Perampasan ini didukung oleh seperangkat perundang-undangan yang dibuat oleh wakil-wakil golongan elit di parlemen. Dengan dukungan legal, golongan elit bisa mengelola lahan-lahan rampasan itu secara akumulatif.

 

Selain itu, proses perampasan tanah atau pengambilalihan tanah dan sumber daya alam oleh korporasi serta pemerintah yang baru kita kenal dengan istilah Land Grabbing beberapa tahun ini sering terjadi. Beberapa studi menunjukan bahwa meningkatnya perampasan tanah di Indonesia beriringan dengan program pembangunan nasional berbasis koridorisasi ekonomi, yakni Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) ,  Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang diyakini dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi sebuah negara. 

 

Karakteristik lain dari Land Grabbing adalah penggunaan aparat militer sebagai pengaman proses pengambilalihan lahan kepada swasta atau negara. Penggunaan tindak kekerasan bersenjata kerap kali tidak dapat dihindari mengingat mereka selalu berlindung dibalik legitimasi untuk melakukannya. 

 

Di Bengkulu, kita sudah sangat sering menyimak keterlibatan aparat dalam konflik lahan antara masyarakat, perusahaan dan pemerintah. Seperti kasus perampasan tanah masyarakat di Kecamatan Malin Deman, Kabupaten Mukomuko oleh agroindustry raksasa kelapa sawit. Kemudian kasus perampasan tanah masyarakat desa Penago dan Rawa Indah, Kabupaten Seluma oleh industri ekstraksi Pasir Besi. Dan penggusuran serta kriminalisasi petani di sekitar hutan oleh aparat penegak hukum dan aparat kehutanan di Kabupaten Kepahang, Rejang Lebong dan Lebong. 

 

Perampasan tanah rakyat yang terjadi ini tidak hanya dilakukan atas dasar kepentingan investasi tapi juga kepentingan politik. Sehingga konflik-konflik agraria yang terjadi saat ini bukan hanya tidak terselesaikan namun dipelihara dan dirawat oleh berbagai pihak untuk mendapatkan keuntungan baik secara ekonomi maupun politik. Disinilah titik dimana rezim oligarki kolektif dalam demokrasi elektoral tumbuh. 

 

Sirkuit Pasar dan Oligarki 

 

Oligarki ini dipahami dalam bentuk relasi kekuasaan dari koalisi politico-business yang cair di Indonesia yang memperkaya sekelompok orang dengan mengeruk sumber-sumber agraria dan pengkonsentrasian kekuasaan dan kekayaan oleh kelompok/golongan tertentu. Oligarki ini bersifat ekstraktif, ekspansif dan bahkan destruktif, sehingga proses perampasan tanah yang terjadi, berkaitan dengan proses pertarungan politik dalam memperebutkan sumber daya material di tengah konteks politik agraria berbasis pasar. 

 

Di bawah industrialisasi, tanah dan petani menjadi faktor produksi penting. Diatas sebidang tanah dan oleh tenaga kerja petanilah kegiatan produksi dilakukan. Karena kedudukan vitalnya ini pula harga tanah dan tenaga kerja tercipta dan begitu pula pasarnya. Muncul dan merebaknya pasar tanah dan tenaga kerja juga telah menyediakan saluran yang memudahkan pemilik modal menginvestasikan uangnya ke dalam produksi. Penciptaan pasar tanah dan tenaga kerja merupakan syarat penting muncul dan berkembangnya kapitalisme industrial. 

 

Dalam sirkuit kapitalisme industrial ini, rakyat yang tanahnya dirampas tidak lagi memiliki pilihan selain bertahan hidup secara paksa dan sukarela dibawah tekanan pasar. Relasi, akses dan pengelolaan rakyat terhadap tanahnya sudah diperantarai oleh pasar. Sehingga mau tak mau petani yang hidup secara subsisten ini harus menanggapi pasar yang sedang naik dengan bersaing satu sama lain se-efektif mungkin baik itu melalui pertarungan komoditi ataupun skills sebagai modal tenaga kerja. Pada titik inilah intimate exclusion yang diterangkan oleh HDL terjadi. 

Pembangkangan sunyi dan perlawanan sehari-hari petani

 

Jika ketimpangan lahan antara negara, korporasi versus rakyat mudah terbaca karena akumulasi kapital terjadi secara sistematis, maka ketika fungsi pasar bergeser dari penyedia peluang menjadi pembentuk keharusan, rakyat tani tidak memiliki pilihan lain selain terjun dalam kontestasi yang diciptakan pasar tersebut. Hal ini mengakibatkan perebutan akses antar rakyat terhadap ‘peluang; sumber daya, pasar dan tenaga kerja’ untuk bertahan hidup dilakukan dengan cara menutup akses bagi yang lain.

 

Teori Scott mengatakan bahwa pelanggaran moral akan membuat petani memberontak. Dan sejauh ini pemberontakan kaum tani tidak hanya terjadi secara terbuka (public transcript), tapi tertanam secara laten (hidden transcript) dalam kehidupan sehari-hari dan terhadap sesama petani. Misalnya yang terjadi di beberapa komunitas petani di Bengkulu, akibat munculnya konflik agraria, masyarakat di desa terbagi kedalam kelompok-kelompok yang oposisi dan afirmatif terhadap perusahaan dan menyebabkan lunturnya solidaritas sosial mereka sebagai sesama petani. Kemudian mencuri hasil panen sesama petani, menariknya warga di desa tersebut sudah menganggap kejadian tersebut sebagai suatu hal yang biasa, sehingga aktivitas pencurian hasil panen sesama petani ini dibiarkan berlangsung dan dimaklumi sebagai salah satu cara untuk bertahan hidup.  

 

Selain itu, intimate exclusion ini juga dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang primordial yakni dengan melakukan diskriminasi bahkan kriminalisasi terhadap masyarakat non pribumi yang berjuang hidup di suatu desa tersebut. Atau penyerangan kepada kelompok tani yang sedang berjuang melalui kutbah-kutbah keagamaan; bahwa apa yang dilakukan petani, pemberontakan dan perlawanannya dianggap bertentangan dengan nilai-nilai agama dan adat. 

 

Namun semua fenomena ini sesungguhnya tidak menjelaskan kenapa pemberontakan para petani ini tidak memberikan tekanan untuk terciptanya perubahan kondisi petani dan sistem pertaniannya. Pertama adalah bekerjanya hegemoni. Kaum kaya ini berkuasa secara hegemonik. Mereka tidak hanya menguasai basis material namun juga simbolik. Mereka tidak hanya menguasai tanah dan produksi komoditi pertanian, tetapi juga menjadi penguasa agama dan kebudayaan. 

 

Yang kedua adalah kesadaran palsu. Sebagaimana pemikiran Marxian, pemberontakan dapat dicegah ketika kaum yang tertindas gagal mengenali kondisi-kondisi objektif yang membuat mereka menderita. Kesadaran palsu ini adalah kabut yang disebabkan oleh mitos-mitos sosial dan doktrin keagamaan. Orang dibuat menerima nasib apa adanya. Dan secara tidak sadar kondisi ini juga membuat petani merasa insecurity atau merasa tidak aman dan pesimis terhadap masa depan petani dan pertanian. Mereka kemudian melarang anaknya untuk melanjutkan hidup sebagai petani dan keluar dari desa sebagai kaum intelektual yang dapat menyelamatkan diri dari kecarut marutan sistem pertanian kita.

 

Beberapa argumentasi diatas masih merupakan gambaran kondisi eksternal petani dan sistem pertaniannya. Sementara masa depan petani sebetulnya juga sangat bergantung dengan kondisi internal petani seperti prinsip, nilai-nilai, aktivitas dan kondisi kelembagaan petani yang mungkin sudah banyak mengalami pergeseran. Sehingga diperlukan tulisan yang lebih komprehensif untuk melihat bagaimana faktor internal petani menentukan masa depan petani dan sistem pertaniannya.