RINGKASAN EKSEKUTIF
Provinsi Bengkulu ini adalah Propinsi yang dibentuk berdasarkan UU No 9 Tahun 1967, wilayah Propinsi Bengkulu merupakan eks wilayah Keresidenan Bengkulu dengan Luas Wilayah 19.813 Km2, awalnya terdiri dari empat Daerah tingkat II, yaitu Kotamadya Bengkulu, Bengkulu Utara, Bengkulu Selatan dan Rejang Lebong. Saat ini Propinsi Bengkulu berjumlah 10 Kabupaten dan Kota. Dalam proses pelayanan terhadap masyarakat dan proses pembangunan yang dilaksanakan mengacu pada visi Provinsi Bengkulu yaitu terwujudnya masyarakat Bengkulu yang maju dan sejahtera. Variabel sejahtera yang dimaksud adalah indikasi terus meningkatnya angka pendapatan perkapita serta terus menurunnya angka kemiskinan dan penganguran tentu saja harus berkontribusi pada peningkatan kualitas ekologi.
Dalam perjalanannya setelah berjalan 16 tahun pasca Reformasi, korelasi cita-cita ditingkat lokal dan perencanaan strategis dan tujuan pembangunan di tingkat nasional seharusnya bersipat simetris, supaya melalui kebijakan desentralisasi, pemberian otonomi yang lebih luas kepada Pemerintahan Daerah menampakkan hasilnya kepada masyarakat sehingga fakta-fakta masih tingginya tingkat kemiskinan dan pengangguran, kerusakan lingkungan, ekploitasi yang kekayaan alam yang masif, tunggakan konflik pengelolaan sumber kekayaan alam serta merebaknya inefisiensi penggunaan anggaran merupakan tunggakan masalah yang harus diselesaikan.
Propinsi Bengkulu ini adalah salah satu Propinsi yang ada di Pulau Sumatera yang memiliki kekayaan alam yang berlimpah baik terbarukan maupun yang tidak terbarukan, tetapi sekaligus merupakan wilayah rawan bencana. Mitigasi bencana ekologis yang disumbangkan oleh ekosistem hutan yang ada memiliki peran strategis dan pivotal, di satu sisi menjadi penyedia bahan-bahan yang dapat digunakan secara langsung oleh mahluk hidup, dan di sisi lain berperan penting menjamin keberlanjutan fungsi-fungsi alam, seperti tata air, penyaring udara, pengatur kestabilan iklim, serta pengikat tanah. Sehingga Peraturan Daerah No 02 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Propinsi Bengkulu 2012-2032 menegaskan bahwa perencanaan tata ruang Propinsi Bengkulu berbasis mitigasi bencana.
Hal tersebut menjadi argumen dasar baik oleh Akar Foundation sebagai CSO yang peduli dengan keberlanjutan lingkungan dan sumber daya alam, maupun oleh Gubernur Bengkulu berinisiatif menjadikan Pembangunan Bengkulu berbasis pada Pembangunan Ekonomi Hijau, capaiannya adalah untuk memastikan keseimbangan ekologi dan posisi rakyat untuk mendapatkan manfaat dari praktek-praktek tata kelola sumber daya alam yang ada di Bengkulu.
PENDAHULUAN
Provinsi Bengkulu terletak disebelah Barat pegunungan Bukit Barisan. Luas wilayah Provinsi Bengkulu mencapai lebih kurang 1.991.933 hektar atau 19.919,33 kilometer persegi secara administratif terbagi menjadi 9 kabupaten dan 1 kota. Wilayah Provinsi Bengkulu memanjang dari perbatasan Provinsi Sumatera Barat sampai ke perbatasan Provinsi Lampung dan jaraknya lebih kurang 567 kilometer. Sebagian besar penggunaan lahan di Provinsi Bengkulu merupakan kawasan hutan dengan luas sebesar 47.05% dari luas total wilayah Propinsi Bengkulu yang sebagian besar terletak si sisi timur Provinsi Bengkulu dan tersebar merata di masing-masing kabupaten. Berdasarkan data Citra Landsat lahan hutan di Provinsi Bengkulu jenis penutupan lahan yang dominan adalah kebun campuran seluas 947.105 Ha (47,28%) dan hutan seluas 762.700 Ha (38,08%). Kebun campuran pada umumnya menyebar di seluruh Kabupaten, sedangkan hutan sebagian besar terdapat di kabupaten Muko-Muko, Bengkulu Utara, Lebong dan Kaur yang merupakan Taman Nasional. Data luas hutan dari Citra Landsat ini hanya 82,81% dari luas kawasan hutan berdasarkan Peta Penggunaan Tanah (BPN, 2008). Hal ini menunjukkan bahwa di kawasan hutan di wilayah Provinsi Bengkulu telah terjadi perambahan hutan yang serius yang diperuntukan untuk kegiatan budidaya pertanian berupa perkebunan, ladang, permukiman dan lain-lain.
Dalam rencana pengembangan regional kawasan, Provinsi Bengkulu masuk dalam rencana pengembangan Kawasan Ekonomi Sub Regional (KESR) segitiga pertumbuhan Indonesia-Malaysia-Thailand (IMT-GT) dan menjadi salah satu gerbang masuk dalam pengembangan jalur pelayaran internasional. Pada satu sisi, Propinsi Bengkulu memiliki jejak historik perombakan bentang alam, sosial dan politik yang sangat panjang, sejak masa pendudukan Belanda di Abad ke-18. Jejak historik tersebut ditandai pola yang konsisten: Perkebunan, pembalakan hutan, penambangan bahan-bahan mineral yang ditopang pembukaan jejaring sarana dan prasarana pendukung percepatan industri berbasis kekayaan alam. Jejak tersebut secara konsisten menunjukkan tingginya daya rusak, besarnya dampak yang diemban dan kecilnya manfaat yang dinikmati masyarakat.
Sementara perubahan iklim yang terjadi di Bengkulu disumbang oleh massifnya deforestasi dan degradasi hutan, dan perubahan iklim ini menjadi potensi ancaman keberlanjutan kehidupan dan fungsi-fungsi alam sekaligus membuka gerbang bagi kemerosotan mutu hidup dan mutu lingkungan. Deforestasi menjadi mesin ampuh penurun daya dukung lingkungan dan kelentingan sosial. Hal ini menyebabkan pelipatgandaan daya rusak suatu bencana ekologis, baik yang murni alami maupun yang dipicu oleh akumulasi dampak kegiatan manusia dalam jangka waktu lama.
Dalam perputaran iklim, hutan memiliki peran ganda. Deforestasi dan degradasi hutan melepas karbon yang tersimpan dalam pohon atau lahan gambut. Diperkirakan jumlah emisinya mencapai antara 17-20 persen total emisi gas rumah kaca dunia, lebih besar dari pada emisi sektor transportasi global. Peran hutan menjadi lebih penting lagi dalam kebijakan perubahan iklim, struktur emisi seperti ini membuat Pemerintahan Bengkulu memilih penanganan deforestasi dan degradasi hutan sebagai salah satu cara utama mengurangi emisi dan menghadapi perubahan iklim. Dengan kondisi ini, skema ekonomi hijau yang diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan dan keadilan sosial sekaligus mereduksi dampak negatif pertumbuhan ekonomi terhadap lingkungan dan kelangkaan sumber daya alam.
DESKRIPSI MASALAH
Provinsi Bengkulu mempunyai luas daratan sebesar 2.007.223.9 Ha. Dari daratan ini, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 784/Menhut-II/2012. Keputusan ini adalah keputusan merevisi luas beberapa kawasan hutan seperti yang terdapat dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan perkebunan No. 420/Kpts-II/1999, tentang kawasan hutan di Provinsi Bengkulu. Hutan yang ada di Provinsi Bengkulu adalah hutan lindung, hutan produksi dan konservasi.
Tabel; | Sebaran luas kawasan hutan di Provinsi Bengkulu seluas 924.631 Ha berdasarkan Berdasarkan SK Menhut No. 784/Menhut-II/2012. | ||
No | Fungsi Hutan | Luas (Ha) | |
1 | Kawasan Suaka Alam/Kawasan Pelestarian Alam | 462.965 | |
1.1 | Cagar Alam | 4.300 | |
1.2 | Taman Nasional | 412.325 | |
1.3 | Taman Wisata Alam | 27.630 | |
1.4 | Taman Hutan Raya | 1.748 | |
1.5 | Taman Buru | 16.962 | |
2 | Hutan Lindung | 250.750 | |
3 | Hutan Produksi | 210.916 | |
3.1 | Hutan Produksi Terbatas | 173.280 | |
3.2 | Hutan Produksi Tetap | 25.873 | |
3.3 | Hutan Produksi Konversi | 11.763 | |
T O T A L | 924.613 | ||
Dari data luas kawasan hutan Provinsi Bengkulu ini dapat dilihat bahwa kawasan hutan di Provinsi Bengkulu sebagian besar merupakan kawasan lindung, yang berupa kawasan suaka dan pelestarian alam serta hutan lindung. Kondisi ini tentu memiliki tantangan sendiri dan memerlukan penanganan pengelolaan yang spesifik yang berbeda dengan pengelolaan kawasan yang didominasi hutan produksi. Dominannya keberadaan hutan konservasi dan lindung ini seringkali memang dianggap sebagai beban daripada peluang untuk berinovasi. Namun, di tengah semakin menguatnya isu perubahan iklim, program-program yang bersifat melestarikan hutan dan peningkatan tutupan hutan dapat menjadi unggulan.
Dari 10 daerah administrasi tingkat dua di Provinsi Bengkulu, sebaran kawasan hutan dengan masing-masing fungsi, baik konservasi, lindung, maupun produksi tidaklah merata. Kecuali Kabupaten Kepahiang dan Kota Bengkulu, semua daerah tingkat dua memiliki hutan dengan fungsi Konservasi, Lindung dan Produksi, namun Kabupaten Lebong dan Rejang Lebong hanya memiliki luas hutan produksi yang sangat kecil (table 2.2). Sedangkan, Kota Bengkulu hanya memiliki hutan dengan fungsi konservasi. Kabupaten Seluma memiliki Hutan Produksi Lindung terluas yang mencapai 66.533,3 Ha. Luas kawasan hutan yang paling besar termasuk berada di wilayah administratif Kabupaten Muko Muko dengan luas wilayah mencapai 230.194,9 Ha. Muko Muko juga merupakan kabupaten yang memiliki hutan produksi tetap dan terbatas mencapai 75.253,3 Ha. Karena itu, kondisi lapangan dan tantangan pengelolaan hutan yang dihadapi oleh masing-masing kabupaten pun berbeda-beda. Konsekuensinya program-program yang disusun juga berbeda-beda.
Secara umum, dari total kawasan hutan di Provinsi Bengkulu yang tutupan masih relatif baik adalah Taman Nasional, dengan tutupan primer masih berkisar 76% dan hutan sekunder 16% dari luas yang ada. Namun, kawasan konservasi yang lain seperti Cagar Alam dan Taman Wisata Alam mengalami degradasi tutupan yang signifikan. Dari luas Cagar Alam sebesar 4.300 Ha, hanya tinggal 31% yang masih merupakan hutan. Ini pun hanya dalam bentuk hutan sekunder. Tutupan sisanya sudah berupa non hutan. Sedangkan tutupan hutan taman wisata alam yang hanya tinggal sekitar 33%. Artinya luas hutan lindung yang tutupannya bukan hutan mencapai hampir 25% dari luas hutan 250.750 Ha. Sedangkan Hutan Produksi yang berupa hutan primer dan 40% hutan sekunder. Perubahan lahan hutan menjadi tak berhutan ini sebagai menjadi area non vegetasi, semak belukar, perkebunan atau lahan pertanian lainnya. Akibat berkurangnya tutupan hutan tersebut, jumlah keanekaragaman hayati hutan diperkirakan mengalami penurunan yang signifikan. Fungsi jasa lingkungan hutan sebagai pengatur tata air, pemberi keindahan alam, penjaga kelembaban udara, pemeliharaan iklim local, habitat satwa liar, dan sumber plasma nulfah serta penyedia bahan untuk kepentingan rekreasi dan ilmiah juga mengalami degradasi. Jika dirinci untuk kabupaten/kota, kondisi tutupan kawasan hutan bervariasi untuk masing-masing kabupaten/kota yang ada di Bengkulu. Tutupan hutan yang produksi telah mengalami degradasi tutupan yang signifikan.
Untuk mengatasi kerusakan hutan dan okupasi masyarakat terhadap kawasan hutan sudah diluncurkan beberapa program. Program-program tersebut meliputi rehabilitas lahan dan hutan untuk memperbaiki kondisi lahan dan hutan yang telah terdegradasi. Dan program-program yang bersentuhan dengan masyarakat melalui program Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa. Pada tahun 2011, realisasi kegiatan reboisasi mencapai 41.300 Ha dan realisasi kegiatan penghijauan mencapai 5.955 Ha. Untuk kegiatan-kegiatan penghijauan ini terealisasi pada hutan kota sebesar 70 Ha, hutan rakyat 5.715 Ha dan hutan bakau sebesar 170 Ha (statistik kehutanan, 2012). Secara kuantitas, jumlah ini bukan jumlah yang besar. Karena itu, kegiatan rehabilitas hutan dan lahan ini harus terus dilaksanakan dengan mencakup area yang lebih luas lagi. Sampai dengan 2010, luas hutan kemasyarakatan yang telah diusahakan mencapai 2.687,5 Ha yang terdapat di Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Kepahiang.[1]
Dengan kondisi hutan yang tersisa, skema Pembangunan Ekonomi Hijau seharusnya bukan semata-mata tentang lahan hutan dan karbon, tetapi harus diarahkan sebagai suatu kesepakatan pembenahan dan pembaruan tata-kelola hutan, dengan mengutamakan pengendalian faktor-faktor penyebab deforestasi. Seperti yang dipaparkan Jackson (2005), upaya adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim melalui penataan ruang harus mengedepankan status keselamatan manusia[2].
Skema tersebut sesungguhnya memiliki tuntutan yang sangat tinggi dalam hal tata-kelola ekonomi dan lingkungan di Bengkulu. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya, Pembangunan Ekonomi Hijau seharusnya tidak diperlakukan sebagai suatu investasi (prakarsa baru), tetapi sebagai upaya pengendalian meluasnya dampak kerusakan (damage control) dan pemberdayaan (empowerment) struktur kebijakan dan tata-kelola wilayah yang saat ini terbukti sangat lemah, salah satunya dimulai melalui pembenahan penataan ruang. Penataan ruang yang efektif adalah upaya untuk memenuhi prasyarat kunci prakarsa-prakarsa adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim. Agenda adaptasi dan mitigasi ini hanya dapat berhasil apabila secara sistematik dilakukan rekonsiliasi tunggakan-tunggakan masalah keruangan dan pertanahan, yang selama ini terbukti ampuh menjadi faktor penguat daya rusak kegiatan-kegiatan pembangunan terhadap daya dukung lingkungan dan kelentingan sosial.
Dari perspektif masyarakat, suatu kewaspadaan dini (early precaution) terhadap dampak dan risiko berbagai bentuk prakarsa dari luar menjadi langkah mendasar. Rendahnya manfaat yang dinikmati masyarakat dari kegiatan eksploitasi kekayaan alam skala besar di Propinsi Bengkulu di satu sisi menjadi argumen yang kerap digunakan mendorong upaya pelibatan masyarakat. Namun hal tersebut harus dilatarbelakangi satu pemahaman dan kesadaran kritis tentang daya-rusak yang tidak terhindarkan berbagai bentuk eksploitasi kekayaan alam terhadap kegunaan dan manfaat jangka-panjang bagi kehidupan masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Hal ini juga berlaku bagi Pembagunan Ekonomi Hijau, sebagai sebuah skema investasi.
REKOMENDASI
Ekonomi dan lingkungan bukan dua hal yang diametrikal. Yang diperlukan untuk menjembatani keduanya adalah mencari ”the right kind of growth”, yakni selain memenuhi pertumbuhan ekonomi, juga mampu memelihara lingkungan bahkan menciptakan pertumbuhan ekonomi baru dari sumber daya alam dan lingkungan tanpa merusaknya[3]. Sehingga bisa dijelaskan bahwa ekonomi hijau sebagai kegiatan perekonomian yang mampu meningkatkan kesejahteraan dan keadilan sosial di satu sisi, tetapi di sisi lain mampu menghilangkan dampak negatif pertumbuhan ekonomi terhadap lingkungan dan kelangkaan sumber daya alam. Tujuh prinsip umum yang di susun oleh Akar Foundation untuk pembangunan ekonomi hijau yang tujuannya adalah untuk menggabungkan beberapa prinsip-prinsip yang menonjol dan berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan dan ekonomi hijau menjadi alat pembimbing yang kohesif, 7 (tujuh) berprinsip tersebut termanifes ke 21 manifestasi;
Keseimbangan dan keadilan Ekologi
- Memastikan keadilan pada Tata Kelola Ekologi melalui Sustainable Livelihood
- Pengakuan dan penghormatan atas hak–hak masyarakat adat melalui kepastian alas hak
- Praktik tata kelola Ekologi berbasis local Ecological Knowledge
Ekuitas dan Keadilan Ekonomi
- Memastikan hak ekuitas masyarakat
- Memastikan keadilan distribusi pada Tata Kelola produksi melalui sistem production sharing antara masyarakat, pemerintah dan pihak ketiga
- Penguatan daya resistensi masyarakat terhadap ekspansi ekonomi eksploitatif
Kedaulatan Pangan, air dan energi
- Praktik tata kelola pangan berlandaskan sustainable farming
- Masyarakat memiliki Hak akses terhadap pangan, energi dan air melalui konsolidasi, dukungan publik dan kebijakan yang berpihak
- Regulasi perlindungan produk pangan lokal
Percepatan Pencapaian Keberlanjutan ekonomi sosial budaya, dan Lingkungan serta mitigasi bencana ekologi
- Menjadikan Kearifan Budaya sebagai Basis Percepatan Pembangunan Ekonomi Hijau untuk mereduksi kerawanan sosial
- Terpenuhinya hak–hak dasar masyarakat
- Mitigasi bencana ekologi sebagai titik tekan utama untuk mengurangi risiko
Ratifikasi Kerjasama Internasional dalam pemerataan distribusi kesejahteraan
- Implementasi kesepakatan–kesepakatan internasional dalam pembangunan ekonomi hijau
- Konsistensi pemerintah daerah dalam melaksanakan hasil ratifikasi internasional
Pelestarian kekayaan alam, kepastian keseimbangan dan keselamatan antar generasi
- Paradigma pemanfaatan kekayaan alam yang berlandaskan pada azas Eko-Efisiensi dan Asas Perlindungan Optimal Keanekaragaman Hayati
- Sistem pengelolaan kekayaan alam yang berdasarkan pada local ecological knowledge
- Kesadaran kolektif akan Ecological Intelligence
Kesetaraan Gender
- Penegasan eksistensi hak perempuan dalam perubahan iklim
- Posisi strategis perempuan dalam perubahan iklim dan tata kelola ekologi
- Revitalisasi Kultur peran perempuan dalam pengelolaan kekayaan alam
- Pengarusutaman Gender Equality dalam menghadapi isue perubahan iklim
- KESIMPULAN
Penyebab asimetris paradigma dalam pembangunan bermula pada kompleksitas konsep desentralisasi antara perspektif desentralisasi politik (political decentralisation perspecitve) dan perspektif desentralisasi administrasi (administrative decentralisation perspecitve). Perbedaan mendasar dua perspekstif ini terletak pada rumusan definisi dan tujuan desentralisasi. Perspektif desentralisasi politik mendefinisikan desentralisasi sebagai devolusi kekuasaan (devolution of power) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sementara perspektif desentralisasi administrasi lebih menekankan definisi desentralisasi sebagai delegasi wewenang administratif (administrative authority) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
Bagi Pemerintahan Daerah, tujuan pertama desentralisasi adalah untuk mewujudkan political equality sehingga pelaksanaan desentralisasi tersebut diharapkan akan lebih membuka kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik pembangunan di tingkat lokal. Dan local accountability yang diharapkan dapat tercipta peningkatan kemampuan Pemerintah Daerah dalam memperhatikan hak-hak rakyatnya, yang meliputi hak untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan di daerah, serta hak untuk mengontrol pelaksanaan Pemerintahan Daerah. Dan terakhir, adalah local responsiveness. Asumsi dasarnya adalah Pemerintah Daerah dianggap lebih mengetahui berbagai masalah yang dihadapi rakyatnya, pelaksanaan desentralisasi akan menjadi jalan terbaik untuk mengatasi masalah dan sekaligus meningkatkan akselerasi pembangunan sosial dan ekonomi di daerah.
Dari workshop Catatan dan Poin-Poin Penting Workshop. Universitas Bengkulu, 21 September 2015, didapat tiga isue sebagai pijakan awal bagi inisiatif Pembangunan Ekonomi Hijau di Bengkulu.
Isue Sosial Movement
Isue Kebijakan
Isue Ekologi
[1] Dokumen Activity Report Akar-RMI-ProRep, 2015
[2] Ibid.
[3] Akhmad Fauzi, Ekonomi Hijau untuk Bumi, Artikel pada Surat Kabar Harian KOMPAS, Jakarta, 7 Juli 2012