Latar Belakang
Resolusi konflik merupakan suatu terminologi ilmiah yang menekankan kebutuhan untuk melihat perdamaian sebagai suatu proses terbuka dan membagi proses penyelesaian konflik dalam beberapa tahap sesuai dengan dinamika siklus konflik. Penjabaran tahapan proses resolusi konflik dibuat untuk empat tujuan. Pertama, konflik tidak boleh hanya dipandang sebagai suatu fenomena politik-militer, namun harus dilihat sebagai suatu fenomena sosial. Kedua, konflik memiliki suatu siklus hidup yang tidak berjalan linear. Siklus hidup suatu konflik yang spesifik sangat tergantung dari dinamika lingkungan konflik yang spesifik pula. Ketiga, sebab-sebab suatu konflik tidak dapat direduksi kedalam suatu variabel tunggal dalam bentuk suatu proposisi kausalitas bivariat. Suatu konflik sosial harus dilihat sebagai suatu fenomena yang terjadi karena interaksi bertingkat berbagai faktor. Terakhir, resolusi konflik hanya dapat diterapkan secara optimal jika dikombinasikan dengan beragam mekanisme penyelesaian konflik lain yang relevan. Suatu mekanisme resolusi konflik hanya dapat diterapkan secara efektif jika dikaitkan dengan upaya komprehensif untuk mewujudkan perdamaian yang langgeng.
Sehingga dengan demikian resolusi konflik adalah suatu proses analisis dan penyelesaian masalah yang mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan individu dan kelompok seperti identitas dan pengakuan juga perubahan-perubahan institusi yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan. Konflik dapat dilatar belakangi oleh banyak hal, baik konflik politik, ekonomi, perdagangan, etnis, perbatasan dan sebagainya. Tentulah kedua belah pihak maupun pihak luar yang menyaksikan menginginkan konflik dapat diakhiri.
Dalam setiap konflik selalu dicari jalan penyelesaian. Konflik terkadang dapat saja diselesaikan oleh kedua belah pihak yang bertikai secara langsung. Namun tak jarang pula harus melibatkan pihak ketiga untuk menengahi dan mencari jalan keluar baik oleh Negara. Menurut Johan Galtung ada tiga tahap dalam penyelesaian konflik yaitu:
- Peacekeeping, adalah proses menghentikan atau mengurangi aksi kekerasan melalui intervensi keamanan yang menjalankan peran sebagai penjaga perdamaian yang netral
- Peacemaking, adalah proses yang tujuannya mempertemukan atau merekonsiliasi sikap politik dan strategi dari pihak yang bertikai melalui mediasi, negosiasi, arbitrasi terutama pada level elit atau pimpinan. Dikaitkan dengan kasus ini pihak-pihak yang bersengketa dipertemukan guna mendapat penyelesaian dengan cara damai. Hal ini dilakukan dengan menghadirkan pihak ketiga sebagai penengah, akan tetapi pihak ketiga tersebut tidak mempunyai hak untuk menentukan keputusan yang diambil. Pihak ketiga tersebut hanya menengahi apabila terjadi suasana yang memanas antara pihak bertikai yang sedang berunding.
- Peacebuilding, adalah proses implementasi perubahan atau rekonstruksi social, politik, dan ekonomi demi terciptanya perdamaian yang langgeng. Melalui proses peacebuilding diharapkan negative peace(atau the absence of violence) berubah menjadi positive peace dimana masyarakat merasakan adanya keadilan social, kesejahteraan ekonomi dan keterwakilan politik yang efektif.
Gambaran Umum Kondisi Konflik Kehutanan dan Perkebunan di Bengkulu
Provinsi Bengkulu mempunyai luas daratan sebesar 2.007.223.9 Ha. Dari daratan ini, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 784/Menhut-II/2012. Keputusan ini adalah keputusan merevisi luas beberapa kawasan hutan seperti yang terdapat dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan perkebunan No. 420/Kpts-II/1999, tentang kawasan hutan di Provinsi Bengkulu. Hutan yang ada di Provinsi Bengkulu adalah hutan lindung, hutan produksi dan konservasi. Perincian luas untuk rincian kawasan hutan per kabupaten/kota dapat dilihat pada Tabel berikut;
Tabel | Sebaran luas kawasan hutan di Provinsi Bengkulu seluas 924.631 Ha berdasarkan Berdasarkan SK Menhut No. 784/Menhut-II/2012. | ||
No | Fungsi Hutan | Luas (Ha) | |
1 | Kawasan Suaka Alam/Kawasan Pelestarian Alam | 462.965 | |
1.1 | Cagar Alam | 4.300 | |
1.2 | Taman Nasional | 412.325 | |
1.3 | Taman Wisata Alam | 27.630 | |
1.4 | Taman Hutan Raya | 1.748 | |
1.5 | Taman Buru | 16.962 | |
2 | Hutan Lindung | 250.750 | |
3 | Hutan Produksi | 210.916 | |
3.1 | Hutan Produksi Terbatas | 173.280 | |
3.2 | Hutas Produksi Tetap | 25.873 | |
3.3 | Hutan Produksi Konversi | 11.763 | |
T O T A L | 924.613 | ||
Dari data luas kawasan hutan Provinsi Bengkulu ini dapat dilihat bahwa kawasan hutan di Provinsi Bengkulu sebagian besar merupakan kawasan konservasi, yang berupa kawasan suaka dan pelestarian alam serta hutan lindung. Kondisi ini tentu memiliki tantangan sendiri dan memerlukan penanganan pengelolaan yang spesifik yang berbeda dengan pengelolaan kawasan yang didominasi hutan produksi. Dominannya keberadaan hutan konservasi dan lindung ini seringkali memang dianggap sebagai beban daripada peluang untuk berinovasi. Namun, di tengah semakin menguatnya isu perubahan iklim, program-program yang bersifat melestarikan hutan dan peningkatan tutupan hutan dapat menjadi unggulan.
Dari 10 daerah administrasi tingkat dua di Provinsi Bengkulu, sebaran kawasan hutan dengan masing-masing fungsi, baik konservasi, lindung, maupun produksi tidaklah merata. Kecuali Kabupaten Kepahiang dan Kota Bengkulu, semua daerah tingkat dua memiliki hutan dengan fungsi Konservasi, Lindung dan Produksi, namun Kabupaten Lebong dan Rejang Lebong hanya memiliki luas hutan produksi yang sangat kecil. Sedangkan, Kota Bengkulu hanya memiliki hutan dengan fungsi konservasi. Kabupaten Seluma memiliki Hutan Produksi Lindung terluas yang mencapai 66.533,3 Ha. Luas kawasan hutan yang paling besar termasuk berada di wilayah adminsitratif Kabupaten Mukomuko dengan luas wilayah mencapai 230.194,9 Ha. Mukomuko juga merupakan kabupaten yang memiliki hutan produksi tetap dan terbatas mecapai 75.253,3 Ha. Karena itu, kondisi lapangan dan tantangan pengelolaan hutan yang dihadapi oleh masing-masing kabupaten pun berbeda-beda. Konsekuensinya program-program yang disusun juga berbeda-beda.
Dengan luas wilayah yang tersedia tersebut di luar kawasan hutan terdapat komoditi tanaman perkebunan yang dikelola oleh Perkebunan Nusantara, Perkebunan yang di kelola swasta dan perkebunan milik masyarakat. Komoditi yang dihasilkan adalah Sawit, karet, kopi. Dari data yang dikeluarkan oleg Dinas Perkebunan Propinsi Bengkulu (Bengkulu Dalam Angka 2014, terdapat 7 kabupaten yang memiliki Luasan Areal dan Produksi Perkebunan Besar Swasta; rinciannya adalah;
No | Kabupaten | Komoditi | Luas (Ha) |
1 | Bengkulu Utara | Kelapa Sawit/Palm Oil | 20.878 |
Karet/Rubber | 4.477 | ||
2 | Seluma | Kelapa Sawit/Palm Oil | 24.376 |
3 | Bengkulu Tengah | Kelapa Sawit/Palm Oil | 12.397 |
4 | Mukomuko | Kelapa Sawit/Palm Oil | 40.431 |
Karet/Rubber | 2.049 | ||
5 | Rejang Lebong | Teh | 409 |
6 | Lebong | Kopi Arabika | 514 |
7 | Kepahiang | Teh | 814 |
Total | 90.859 |
Sedangakan perkebunan besar milik Negara terdapat di 2 Kabupaten, yaitu;
No | Kabupaten | Komoditi | Luas (Ha) |
1 | Seluma | Kelapa Sawit/Palm Oil | 4.667 |
Karet/Rubber | 4.295 | ||
2 | Bengkulu Utara | Karet/Rubber | 3.240 |
Total | 11.212 |
Dengan jumlah penduduk pada tahun 2013 berjumlah 1.814.357 jiwa yang setiap tahunnya meningkat 1,27 % dan sebagai besarnya masih menompang hidupnya pada lahan-lahan pertanian dan perkebunan. Kondisi inilah yang memicu konflik pada kawasan Kehutanan dan Perkebunan. Dari Riset yang dilaksanakan Akar Foundation pada tahun 2010-12 untuk melihat Dominasi Penguasan Tanah pada Kawasan Hutan dan Kontribusi Perkebunan terhadap Kesejahteraan Masyarakat didapati kesimpuan bahwa akar dari persoalan konflik ini dapat dipadatkan dalam kalimat “tidak adanya kepastian penguasaan (tenurial security) tanah-tanah/SDA/ wilayah kelola masyarakat”. Tumpang tindih klaim atas kawasan terjadi di antaranya akibat legislasi dan kebijakan yang tidak terformulasi jelas, pemberian izin yang tidak terkoordinasi tidak adanya pelayanan Pemerintah/Pemda atas pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal pengguna kawasan hutan lainnya. Ini memicu kemunculan konflik-konflik tenurial di kawasan hutan.
Konflik yang sebagian bermuasal dari kebijakan kehutanan kolonial, dan sebagian lain muncul dan bereskalasi di masa kini. Hal ini berakibat pada pengurangan dan penutupan akses terhadap tanah, wilayah, dan SDA yang diperebutkan muncul dan meluas sebagai penghilangan hak ekonomi, sosial, budaya, dan hak sipil dan politik masyarakat, yang secara langsung berupa hilangnya wilayah hidup, mata pencaharian, harta benda hingga jatuhnya korban jiwa. Menyempitnya ruang hidup (Renaksi Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan) 2 rakyat, yang diiringi menurunnya kemandirian masyarakat di dan sekitar hutan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada gilirannya, mereka terlepas dari alat-alat produksinya berupa tanah dan sumber daya alam lainnya dan akhirnya hanya mampu berpangku pada tenaganya sendiri, masuk dalam pasar buruh murah dan proses kemiskinans truktural.
Akibat utama dari blunder kebijakan di atas adalah, kerusakan lingkungan seketika dan bersifat akumulatif seperti terjadinya banjir dan longsor. Rentan terhadap kebakaran hutan, dan untuk jangka waktu panjang merusak fungsi hutan sebagai lumbung makanan, obat-obatan dan penyerap karbon (carbon-sink) yang diyakini sebagai salah satu penyebab terganggunya iklim di dunia. Rusaknya tatanan sosial masyarakat yang hidupnya bergantung pada pengelolaan hutan. Ketika secara paksa dan mendadak mereka harus kehilangan akses terhadap sumber daya hutan, maka mereka dimiskinkan secara paksa. Keahlian yang mereka punyai dalam meramu dan mengelola sektor kehutanan menjadi tidak terpakai. Akibatnya mereka kehilangan mata pencahariannya dan kehilangan kemampuan untuk mengurus keluarganya. Secara kumulatif, kejadian di atas akan berpengaruh pada kualitas sumber daya manusia di suatu wilayah dan menghasilkan generasi yang bingung dan tidak mampu beradaptasi dengan suasana baru.
Terjadi pula pelanggaran hak asasi manusia dalam pengelolaan sumber daya alam. Sumber daya alam adalah milik publik, yang seharusnya dikelola untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Ketika koncoisme dalam pengelolaan SDA terjadi, maka terjadi pula pengingkaran atas barang publik tersebut. Lebih jauh, setiap “penyelesaian” sengketa sumber daya alam selalu dibarengi intimidasi dan kekerasan oleh negara. Usaha menyelesaikan sengketa secara damai dan tanpa kekerasan belum pernah direspon dengan baik oleh pihak negara.
Persoalan ini dapat dilihat dari system perkebunan yang masih diliputi oleh dualisme ekonomi, yaitu antara perkebunan besar yang menggunakan modal dan teknologi secara intensif dan menggunakan lahan secara ekstensif serta manajemen eksploitatif terhadap SDA dan SDM, dan perkebunan rakyat yang susbsisten dan tradisional serta luas lahan terbatas, kedua sistem ini menguasai bagian tertentu dari masyarakat dan keduanya hidup berdampingan, perbedaan keduanya tidak jarang menimbulkan konflik ekonomi yang berkembang menjadi konflik social akibat dari managemen eksploitasi ini.
Urgensi Resolusi Konflik melalui Proses Peacemaking dan Peacebuilding
Peacemaking, adalah proses yang tujuannya mempertemukan atau merekonsiliasi sikap politik dan stategi dari pihak yang bertikai melalui mediasi, negosiasi, arbitrasi terutama pada level elit. Sedangkan Peacebuilding, adalah proses implementasi perubahan atau rekonstruksi social, politik, dan ekonomi demi terciptanya perdamaian yang langgeng, dan dalam parekteknya diharapkan negative peace (atau the absence of violence) berubah menjadi positive peace dimana masyarakat merasakan adanya keadilan social, kesejahteraan ekonomi dan keterwakilan politik yang efektif.
Usaha-usaha penyelesaian konflik melalui proses Peacemaking dan Peacebuilding ini haruslah terlegitimasi secara tegas dalam Kebijakan Daerah, sehingga usaha untuk mereduksi gangguan dan konflik pada sektor Kehutanan dan Perkebunan di Bengkulu baik yang bersifat horisontal maupun vertikal yang terkait dengan politik ekonomi, hukum, pertahanan dan keamanan yang diperlukan penanganan secara terpadu memiliki kekuatan hukum sekaligus kekuatan politik yang kuat. Proses ini tentu saja harus mengaju pada kebijakan Negara yang berhubungan dengan konflik yang dimaksud, antar lain;
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2013);
- Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419);
- Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886);
- Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);
- Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4411);
- Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah;
- Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
- Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara republik indonesia tahun 2014 nomor 7, tambahan lembaran negara republik indonesia nomor 5495);
- Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Menteri Kehutanan Republik Indoensia, Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia, dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 79 tahun 2014, Nomor PB.3/Menhut-11/2014, Nomor 17/PRT/N/2014, Nomor 8/SKB/X/2014 tentang Tata Cara Penguasaan Tanah Yang Berada Dalam Kawasan Hutan.
Karena Penanganan Konflik adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana dalam situasi dan peristiwa baik sebelum, pada saat, maupun sesudah terjadi Konflik yang mencakup pencegahan konflik, penghentian konflik, dan pemulihan pasca konflik. Dengan demikian ruang lingkup Penanganan Konflik setidaknya meliputi:
- Pencegahan Konflik
- Penanganan Konflik
- Mediasi
- Pemulihan Pasca Konflik
- Sistem Informasi Penanganan konflik dan
- Pembinaan dan Pengawasan konflik.
Dan usaha pencegahan konflik dilakukan untuk:
- memelihara kondisi damai dalam masyarakat di sekitar Perkebunan
- mengembangkan sistem penyelesaian perselisihan secara damai
- melakukan sosialisasi merata ke masyarakat
- meredam potensi konflik antara masyarakat, pelaku usaha bidang lain dan pelaku usaha perkebunan; dan e. membangun sistem peringatan dini.
Urgensi penyelesain terhadap konflik yang terjadi ini haruslah segera dilaksanakan dan Negara tentu harus hadir dalam memfasilitasi dan mereduksi konflik kehutanan dan perkebunan yang ada di Propinsi Bengkulu.
Tim Penyusun:
- Erwin Basrin
- Dedek Hendry
- Pramasty Ayu Kusdinar