Oleh: Pramasty Ayu Kusdinar
Aspek Ekonomi
Sumber daya hutan memiliki fungsi yang strategi, yang meliputi aspek ekologis, ekonomis, dan social. Dalam kontek pembangunan nasional secara makro kontribusi sector kehutanan sebenarnya sangat besar. Namun, sumbangan ini berfluktuasi sepanjang sejarah pembangunan Indonesia.
Secara ekonomi sudah sangat jelas diketahui manfaat hutan. Hasil hutan. Hasil hutan berupa kayu memiliki nilai yang sangat tinggi dan dalam sejarah pembangunan Indonesia, nilai-nilai kayu telah menjadi modal awal pembangunan ekononi nasionl. Selama periode 1989-1999, sumbangan devisa dari industry kayu Indonesia rata-rata 20% dari total devisa Negara. Namun, dalam perkembangannya, seirung dengan perubahan pengelolaan hutan, konstribusi ekonomi hutan dari prosuksi yang memiliki Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan kayu hutan alam seluas 56.070 Ha dan izi untuk izin Usaha pemanfaatan hasil hutan tamanan rakyat 18.230 Ha. Pada tahun 2011 juga ada izi pemanfaatan kayu seluas 3.557 Ha. Dari luas total IUPHHK-HA 56.070 Ha tersebut, hanya PT. Anugerah Pratama Inspirasi, dengan luas area 33.070 Ha, yang masih aktif. Sedangkan PT. Bentara Arga Timber yang menguasai area seluas 23.000 Ha mengalami kevakuman.
Dalam dua tahun terakhir produksi kayu bulat mengalami kenaikan hasil yang cukup besar jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada tahun 2012, total produksi hasi kayu bulat sebesar 10.437 m³. Jumlah ini meningkat lebih dari 2 kali lipat produksi kayu bulat pada tahun 2010 dan 4 kali lipat dari produksi pada tahun 2009. Hutan produksi tetap seluas 25.873 ha masih menyisakan 10% area hutan primer dan 40% hutan sekunder. Sedangkan hutan produksi terbatas seluas 173.280 Ha masih berbentuk tutupan hutan primer sekitar 10% dan 40% tutupan hutan sekunder. Jika hutan primer mempunyai potensi kayu berdiameter diatas 20 cm mencapai lebih dari 125m³ per Ha, dan asumsi bahwa hutan sekunder mempunyai potensi mungkin sekitar 40-50% dari potensi tegakan hutan primer, maka potensi kayu bulat dari hutan produksi masih cukup besar. Peningkatan ini akan lebih baik jika hutan produksi kayu juga bisa bertambah dengan adanya kemungkinan produksi kayu dari lahan non kehutanan seperti HGU perkebunan ataupun lahan milik masyarakat.
Rekapulasi produksi kayu per kabupaten/kota selama 5 (lima) tahun terakhir
No | Kabupaten/Kota | Produksi kayu bulan per tahun (m³) | ||||
2008 | 2009 | 2010 | 2011 | 2012 | ||
1 | Bengkulu Utara | 0 | 0 | 1.953 | 124 | 3.997 |
2 | Bengkulu Selatan | 181 | 29 | 0 | 2.922 | 4.823 |
3 | Rejang Lebong | 409 | 260 | 0 | 0 | 669 |
4 | Kota Bengkulu | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 |
5 | Mukomuko | 848 | 1.036 | 1.047 | 4.645 | 0 |
6 | Seluma | 0 | 0 | 1.436 | 0 | 0 |
7 | Kaur | 1.154 | 0 | 0 | 0 | 0 |
8 | Lebong | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 |
9 | Kepahiang | 208 | 198 | 0 | 0 | 751 |
10 | Bengkulu Tengah | 0 | 0 | 223 | 428 | 197 |
Total | 2.800 | 1.523 | 4.659 | 8.119 | 10.437 |
Sumber : Bidang Pengelolaan Dishut Provinsi Bengkulu 2013
Produksi kayu olahan Provinsi Bengkulu berbanding luas dengan produksi kayu bulat itu sendiri. Pada tahun 2012, tercatat peredahan kayu gergajian di Provinsi Bengkulu adalah sebesar 27.504 m³. Hal ini menunjukkan peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya (Gambar 2.3). padahal total kapasitas izin dan kapasitas terpasang dari 21 perusahaan pemegang izin primer hasil hutan kayu (IPHHK) dengan kapasitas di bawah 2.000 m³ pertahun adalah sebesar 20.700 m³ pertahun. Terlihat ada perbedaan yang besar antara kemampuan produksi dengan realitas produksi kayu gergajian. Sedangkan kayu olahan yang berasal dari izin usaha industri primer Hasil Hutan Kayu (IUIPHHK) dengan kapasitas produksi diatas 6.000 m³ pert tahun yang diproduksi di Provinsi Bengkulu hanyalah veneer sebanyak 8.396 m³ pada tahun 2011..
Aspek Sosial dan Ekologi
Ditinjau dari aspek nilai social, saat ini diperkirakan hampir setengah penduduk Indonesia, baik langsung maupun tidak langsung, menggantungkan hidupnya kepada hutan, baik secara langsung maupun tidak langsung tersebut dapat berupa tersedianya lapangan pekerjaan dalam industry kehutanan dan berbagai usaha lain yang berhubungan dengan hasil hutan. Nilai ini belum termasuk fungsi hutan dalam menyediakan berbagai bentuk jasa untuk kepentingan kegiatan adat, keagamaan, dan lain-lain. Banyak masyarakat adat yang ada di Indonesia yang menjadikan hutan sebagai pusat aktivitas dan kebudayaan. Disamping itu, hutan merupakan objek yang sangat bernilai bagi dunia pendidikan dan penelitian.
Secara ekologis, hutan berperan penting dalam siklus hidrologi, tata air, mencegah erosi, memelihara kesuburan tanah, unsur utama penyerapan karbon dan merupakan, cadangan utama plasma nuftah. Karena itu, secara ekologis merupakan system penyangga kehidupan yang mempengaruhi kelangsungan hidup manusia. Jika dinilai secara ekonomi, maka sumbangan jasa lingkungan hutan ini sangat besar. Pencegahan erosi dan banjir dalam wilayah aliran sungai (DAS) diperkirakan bersumbangsih sebesar 220 trililiun pertahun. Dari aspek penyimpanan karbon, nilai karbon hutan bias berharga sebesar Rp 50.000- Rp 100.000 perton pertahun. Cadangan karbon hutan primer bias mencapai 250 ton per ha dan hutan sekunder dalam mencapai 200 ton perhektar. Karena itu, peluang nilai uang dari konservasi karbon huta yang dihasilkan hutan Bengkulu, terutama dari hutan konservasi dan hutan lindung, sangatlah besar. Namun karena deforestasi dan turunya tutupan hutan yang sangat besar, nilai-nilai tersebut sangat kecil dibandingan dengan nilai seharusnya. Belum lagi layanan jasa ekosistem berupa keanekaragaman jenis tumbuhan dan hewan yang ada didalamnya. Namun, karena nilai ekonomis layanan ekologis ini bersifat abstrak, sering kali menafikan nilai yang diberikan oleh ekologis hutan. Padahal dengan semakin meningkatkan intensitas bencana yang terkait dengan kerusakan lingkungan, kerugian yang didalami oleh masyarakat semakin besar. Perencanaan yang terjadi karena alih fungsi baku mutu sumber air PDAM meningkatkan potensi kerugian yang lebih besar lagi di masa sekarang dan masa depan bagi masyarakat Bengkulu.
Karena itu, walaupun belum optimal konstribusi sector kehutanan akan terus dihadapkan untuk menunjang pembangunan daerah. Untuk menjamin keberlangsungan diharapkan untuk menunjang pembangunan daerah. Untuk menjamin keberlangsungan diharapkan untuk keberlangsungan fungsi-fungsi hutan tersebut, pembangunan kehutanan harus menjamin kelestarian hutan. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 meletakkan azas kelestarian hutan sebagai salah satu pokok dalam pembangunan kehutanan di Indonesia. Pada saat ini, terjadi pergeseran dalam paradigma pembangunan kehutanan adalah pengelolaan dalam pembangunan kehutanan Indonesia. Jika pada dasawarsa yang lewat, paradigma pembangunan kehutanan adalah pengelolaan yang berorientasi pada kayu, maka pada saat ini pembangunan kehutanan mengarah kepada forest resource management. Paradigma ini mengarahkan pembangunan kehutanan dengan memandang hutan sebagai sebuah kesatuan ekologis. Semangat ini terlihat jelas dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999.
Untuk mengakomodasikan paradigma ini, pemerintah membuat berbagai kebijakan turunan. Melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta pemanfaatan hutan kementrian kehutanan memadatkan pembentukan kesatuan pengelolaan hutan (KPH). Kesatuan pengelolaan hutan yang dimaksud merupakan sebuah unit pengelolaan sesuai dengan fungsi dan peruntukannya. Tujuan utama adalah terciptanya unit pengelolaan yang efesien dan lestari, baik secara ekologis, ekonomis maupun sosial. Rencana pembentukan KPH ini merupakan upaya penataan kembali pembangunan kehutanan di Indonesia.
Kondisi Kelembagaan Sektor Kehutanan Provinsi Bengkulu
Kondisi kelembagaan pengurus hutan di Provinsi Bengkulu jauh berbeda dengan kondisi pengurus hutan secara nasional. Pengurusan hutan bisa dikatakan berfluktuasi sepanjang sejarah pembangunan nasional dan daerah. Aturan perundang-undangan yang memayungi kegiatan kehutanan berubah, sehingga paradigma dan aksi pun menjadi berubah. Jika dibandingkan dengan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 merupakan ketentuan yang bersifat menyeluruh karena telah memuat ketentuan-ketentuan yang bersifat menyeluruh karena telah memuat ketentuan-ketentuan baru, yang dikenal dalam undang-undang sebelumnya. Hal-hal yang baru ini adalah (1) adanya pengawasan oleh pemerintah dan pemerintah daerah (2) penyerahan sebagian kewenangan pemerintah kepada pemerintah daerah (3) penegasan hak masyarakat hukum adat (4) peran serta masyarakat (5) terbukanya peluang untuk melakukan gugatan perwakilan (6) diaturnya mekanisme penyelesaian sengketa (7) adanya ketentuan pidana (8) diaturnya tentang ganti rugi dan sanksi administratif.
Pada level pemerintah daerah Bengkulu pengurusan hutan dilakukan oleh SKPD yang memang khusus membawahi kehutanan maupun penggabungan beberapa urusan kedaerahan. Di tingkat provinsi, pengurusan hutan berada dibawah koordinasi kehutanan Provinsi Bengkulu. Sedangkan pada level kabupaten kota, pengurus kehutanan digabungkan dengan bidang-bidang lainnya yang dianggap berkaitan, misalnya perkebunan, pertanian, energy dan sumber daya mineral atau yang lainnya.
Sejak era reformasi, pembangunan dan pengelolaan hutan menghadapi berbagai tantangan baru. Terdapat hal dilematis dalam kebijakan kehutanan. Disatu sisi, pemerintah pusat dianggap mendominasi pengambilan keputusan dalam pengelolaan hutan. Namun disisi lain, ketika kabupaten beserta masyarakat diberikan kesempatan yang lebih luas untuk mengelola hutan yang ada diwilayahnya, dibeberapa daerah terjadi ledakan pemberian izin konsesi skala kecil yang mengakibatkan meningkatkan laju kerusakan hutan. Hal ini terbukti, selama tahun 1997-2000, pada awal era otonomi daerah, angka perusakan hutan meningkat dari 1,87 juta Ha menjadi 2,83 Ha karena euphoria reformasi yang menyebabkan pembabatan hutan secara besar-besaran. Namun sejak tahun 2002 hingga 2005 angka kerusakan hutan sudah mulai tahun menjadi 1,18 juta Ha pertahun.
Kesatuan pengelolaan hutan (KPH) menurut Pasal 1 angka 1 peraturan tersebut adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi hutan pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari. Pembentukan KPH bertujuan untuk menyediakan wadah bagi terselenggarakannya kegiatan pengelolaan hutan secara efisien dan lestari. KPH sesuai dengan fungsi pokok dan peruntukannya yang dapat dikelola secara efisien dan lestari bertanggung jawab terhadap pelaksanaan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta penyelenggaraan pengelolaan hutan.
Sebagai amanat pengelolaan perangkat hukum dalam pengelolaan hutan, ditetapkanlah cadangan KPH di Provinsi Bengkulu. Berdasarkan hasil kajian dan diajukan kepada Pemerintah Pusat dicadangkan 7 unit KPH di Bengkulu. Tujuh unit KPH tersebut terdiri dari 2 Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) dan lima unit Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL). Namun perlu dicatat penamaan ini berdasarkan area hutan terluas di unit KPH tersebut. Jadi, KPHP bisa mempunyai komponen hutan lindung di dalamnya dan sebaliknya KPHL dapat terdiri dari kawasan hutan produksi. Data area hutan yang terkandung dalam 7 unit KPH tersebut dapat dilihat pada table 2.6.
Tabel 2.7 | Pencadangan 7 (tujuh) unit KPH di Provinsi Bengkulu beserta luas komponen hutan yang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan 91/Menhut- II/2010. | ||||
Unit KPH | Luas sesuai fungsi hutan (Ha) | Luas Total (Ha) | Jenis KPH | ||
HP | HPT | ||||
I | 11.532 | 63.621 | 75.153 | KPHP | |
II | 9.549 | 45.042 | 54.591 | KPHP | |
III | – | – | 83.427 | KPHL | |
IV | – | 15.708 | 82.232 | KPHL | |
V | 1.704 | 14.239 | 48.685 | KPHL | |
VI | 2.069 | 31.570 | 78.232 | KPHL | |
VII | – | – | 17.218 | KPHL | |
Luas yang tercantum dalam table 2.7 diatas bahwa telah dilindungi telah di hitung kembali dan disesuaikan dengan hasil revisi kawasan hutan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 643/Menhut-II/2011 dan No 78/Menhut-II/2012. Pada SK Menhut-II/2010, fungsi kawasan hanya berupa Hutan Lindung (HL), Hutan Produksi (HP) dan Hutan Produksi Terbatas (HPT). Sedangkan berdasarkan SK Menhut No 784/Menhut-II/2012, ada juga perubahan fungsi yakni menjadi Hutan Produksi Konversi (HPK), Areal Pemanfaatan Lain (APL) dan Taman Wisata Alam (TWA). Karean itu, meluas tersebut dikurangi dengan kawasan HPK dan TWA.
Untuk menjamin kelestarian hutan secara ekonomi dan ekologi di kabupaten-kabupaten di Provinsi Bengkulu, pengorganisasi pada level unit pengelolaan merupakan kebutuhan yang mendesak. Ketiadaan unit pengelolaan disinyalir sebagai salah satu penyebab kegagalan upaya mewujudkan pengelolaan hutan yang didapat menjamin kelestarian fungsi di wilayah kabupaten ini. Mandat pembentukan kesatuan pengelolaan hutan (KPH) merupakan peluang untuk kembali pengelolaan hutan pada tingkat tapak. Hali ini akan mungkin tercapai mengingat KPH meliputi kawasan hutan produksi hutan lindung maupun hutan konservasi.
Organisasi mempunyai tugas dan fungsi antara lain: a.) Menyelenggarakan pengelolaan hutan (tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hasil hutan, penggunaan kawasan hutan, rehabilitas hutan, perlindungan hutan dan konservasi sumber daya hutan), (b.) menjabarkan kebijakan kehutanan nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk diimplementasikan, (c.) melaksanakan pengelolaan hutan di wilayahnya, (d.) melaksanakan pemantauan dan penilaian pengelolaan hutan wilayahnya, dan (e.) membuka peluang investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan.
Beberapa pihak swasta lain juga terkait dengan sector kehutanan. Sector-sektor ini anatara lain meliputi pertambangan dan perkebunan. Untuk area pertambangan yang berada dikawasan hutan, maka berlaku izin pinjam pakai kawasan. Sampai saat ini, izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan non kehutanan ini hampir mencapai 2.000 ha. Sedangkan perkebunan tidak dapat dilakukan pada kawasan hutan sampai kawasan hutan diubah statusnya menjadi area penggunaan lain.
Di dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, ada penegasan hak masyarakat adat dan upaya peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan kehutanan. Sebelum era otonomi daerah, masyarakat telah memanfaatkan hasil hutan, terutama hasil hutan non kayu, seperti rotan dan damar. Sedangkan untuk masyarakat yang berada di sekitar hutan yang terbebani izin, maka perusahaan yang mengusahakan hutan wajib melaksanakan kegiatan pemberdayaan masyarakat. Namun dalam hal ini posisi masyarakat tetaplah pada posisi marjinal. Okupasi illegal oleh masyarakat terhadap hutan juga sudah terjadi dan ketika itu diselesaikan dengan pendekatan represif. Setelah era reformasi dan otonomi daerah pendekan represif ditinggalkan. Masyarakat diberi ruang untuk mengelola hutan. Untuk masyarakat yang telah telanjur mengelola hutan lindung, maka dilaksanakan kegiatan Hutan Kemasyarakatan (HKm), sedangkan untuk pengelolaan hutan produksi, lembaga yang dikelola oleh masyarakat diberikan kesempatan untuk mengelola Hutan Tamanan Rakyat (HTR). Tujuan bentuk-bentuk pengelola yang lebih partisipatif ini adalah agar pengelolaan hutan dapat lebih berkeadilan, memberdayakan masyarakat dan menyelesaikan masalah-masalah kehutanan secara lebih fundamental dan menyeluruh.