Menjelang tutup tahun 2018, Akar Foundation dan Yayasan Inkrispena Jakarta telah merampungkan riset tentang Perempuan dan Pangan di kawasan Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Rejang Lebong. Penelitian yang dilakukan dengan metode Penelitian Aksi Feminis, berorientasi pada perubahan kondisi dan posisi perempuan petani Hutan Kemasyarakatan adalah untuk membedah fenomena kelaparan tersembunyi (hidden Hunger) yang terjadi di desa-desa yang telah memiliki Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu.
“Unit analisis penelitian adalah rumah tangga petani HKM. Penelitian Aksi Feminis ini di desain untuk melahirkan rekomendasi aksi perubahan bagi perempuan petani HKM, penelitian itu sendiri hanya merupakan alat untuk mendeskripsikan kondisi sistem foodways dimana kaum perempuan itu terlibat secara intensif. Kami menemukan berbagai macam bentuk relasi yang tidak dapat lepas dari kehidupan sehari-hari antara Perempuan dengan hutan”” Dijelaskan oleh Koordinator Riset, Pramasty Ayu Kusdinar.
“Salah satu relasi yang paling penting bagi kehidupan ini adalah relasi produksi dan reproduksi. Perempuan memproduksi dan mereproduksi sumber daya alam dari hutan untuk kebutuhan dan keberlangsungan pangan manusia,” Kata Dinar kepada Akarnews.
Bila akses perempuan terhadap hutan dibatasi maka hal tersebut akan berpengaruh pada seluruh aspek kehidupan. Dia mencontohkan bahwa Rezim Orde Baru, Pemerintah banyak melahirkan regulasi yang mengeksklusi keberadaan masyarakat dengan ruang hidupnya, termasuk dengan hutan. Akibatnya, terjadi peningkatan angka kemiskinan, bertambahnya jumlah petani tunakisma serta yang paling buruk adalah terjadinya enkultrasi yang menyebabkan perubahan unsur-unsur kebudayaan yang mencerabut identitas masyarakat dari akar kebudayaannya.
Pasca runtuhnya rezim Orde Baru dan lahirnya era Reformasi, Pemerintah memberikan peluang yang cukup besar kepada masyarakat untuk mengakses kawasan hutannya yang dulu diklaim sebagai kawasan hutan negera.
Di Era kabinet kerja di bawah pimpinan Jokowi. Katanya menjelaskan, Pemerintah telah mendistribusikan 12,7 juta hektar kawasan hutan Negara kepada masyarakat untuk dapat dikelola dan dimanfaatkan dengan syarat-syarat tertentu yang tanpa merubah fungsi dari kawasan hutan itu sendiri. Program Perhutanan Sosial tersebut saat ini menjadi program andalan Pemerintah untuk mereduksi dan resolusi konflik yang terjadi antara masyarakat dan pemangku kawasan.
Menurut Dinar dari penelitian yang berfokus pada Sistem Foodways Keluarga Petani Pengelola Hutan Kemasyarakatan di Desa Air Lanang, Kecamatan Curup Selatan Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu. Menunjukan bahwa kelaparan tersembunyi yang terjadi di kalangan petani HKm tidak terbaca dalam perspektif kesehatan medis, melainkan terbaca dari perspektif produksi. Dalam perspektif produksi, perubahan sistem foodway yang sepenuhnya tergantung pada pasar terjadi sebagai akibat dari perubahan spasial dan pola tanam.
“Untuk pengadaan makanan dibutuhkan syarat utama bahwa petani harus memiliki ketersediaan alat tukar uang. Hal ini lantas memperlihatkan munculnya ancaman kerentanan terhadap penyediaan makanan yang berkorelasi dengan kelaparan tersembunyi. Jangka panjang untuk memicu munculnya diskursus untuk memperkuat pengetahuan kelompok perempuan lintas daerah dalam menghadapi fenomena ‘kelaparan tersembunyi atau hidden hunger’ khususnya pada masyarakat sekitar hutan yang telah memiliki izin-izin dalam skema Perhutanan Sosial. Hal ini dimaksudkan untuk melihat seberapa jauh izin-izin dalam skema Perhutanan Sosial ini berdampak pada peningkatan kualitas kehidupan masyarakat pedesaan khususnya kelompok perempuan.” Kata Dinar.
Hasil Riset ini akan di desiminasi pada tanggal 19-20 Desember 2018 di Hotel Sport Bengkulu bertujuan untuk melibatkan kelompok perempuan dan stakeholders lintas daerah untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan mereka dalam menghadapi fenomena ‘kelaparan’ dimasing-masing daerah.