Pulau Enggano, yang terletak di Samudera Hindia dan termasuk dalam wilayah Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu, memiliki luas sekitar 400 km². Pulau ini dikenal memiliki ekosistem hutan tropis yang masih relatif alami serta tingkat endemisitas hayati yang tinggi, menjadikannya salah satu kawasan penting bagi konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia.
Berbagai flora dan fauna endemik hidup di Pulau Enggano, khususnya burung-burung khas yang tidak ditemukan di tempat lain, antara lain:
- Tiong Enggano (Gracula religiosa enganensis) – burung jalak/tiung dengan suara kicauan khas.
- Anis Enggano (Zoothera leucolaema) – burung anis endemik yang hanya hidup di Enggano.
- Celepuk Enggano (Otus enganensis) – jenis burung hantu kecil khas pulau ini.
- Kacamata Enggano (Zosterops salvadorii) – burung kacamata berukuran kecil dengan lingkar mata putih yang menonjol.
Selain burung, Pulau Enggano juga menjadi habitat bagi berbagai jenis mamalia kecil, reptil, dan tumbuhan tropis yang memperkaya biodiversitas pulau. Keunikan dan kekayaan hayati Pulau Enggano kini menghadapi berbagai ancaman. Tekanan ekologis datang dari deforestasi skala kecil untuk perkebunan masyarakat, perburuan satwa liar, alih fungsi lahan, kepentingan pembangunan, hingga keterbatasan sistem pengawasan hutan.
Monitoring kawasan hutan dan satwa perlu dilakukan secara berkala. Upaya ini penting untuk mengetahui kondisi terkini, mengidentifikasi potensi ancaman, serta merumuskan langkah strategis guna mendukung keberlanjutan ekosistem Pulau Enggano. Melalui pengelolaan yang tepat, pulau ini dapat terus menjadi rumah bagi kekayaan biodiversitas yang tak ternilai bagi Indonesia dan dunia. Monitoring kawasan hutan di Pulau Enggano dilakukan dengan pendekatan terpadu yang memadukan teknologi, survei lapangan, dan partisipasi aktif masyarakat. Pendekatan ini memungkinkan data yang diperoleh lebih akurat sekaligus memperkuat rasa kepemilikan masyarakat terhadap kelestarian ekosistem pulau.
Tahap pertama dilakukan ground check atau survei lapangan, yaitu validasi hasil citra satelit dengan jalur pengamatan langsung di lapangan. Proses ini didukung oleh aplikasi Quantum GIS Field (QField) untuk memasukkan temuan secara real-time sehingga memudahkan analisis dan penyimpanan data. Selanjutnya, dilakukan biodiversity monitoring yang berfokus pada satwa serta tumbuhan pakan satwa. Metode yang digunakan antara lain transek jalur (line transect method), yaitu berjalan mengikuti jalur yang telah ditentukan untuk mencatat keberadaan satwa dan tumbuhan. Untuk burung, digunakan metode point count atau titik hitung pada lokasi tetap dengan radius pengamatan tertentu. Sementara itu, pengamatan tumbuhan pakan satwa dilakukan dengan mencatat jenis, jumlah, serta usia pohon yang ditemukan di sepanjang jalur.
Aspek penting lain dari monitoring adalah partisipasi masyarakat (community-based monitoring). Warga lokal dilibatkan langsung sebagai bagian dari tim pemantau, khususnya dalam pencatatan data temuan di lapangan. Dengan keterlibatan ini, masyarakat tidak hanya menjadi pengamat, tetapi juga penjaga pertama kelestarian hutan dan satwa di lingkungannya. Selain survei lapangan, digunakan pula teknologi penginderaan jauh (remote sensing) dan analisis GIS (Geographic Information System). Melalui citra satelit, misalnya Google Earth, dapat diketahui kondisi tutupan hutan, perubahan penggunaan lahan, hingga tingkat fragmentasi kawasan. Analisis GIS kemudian membantu memetakan batas hutan dan area rawan perubahan.
Monitoring dilakukan secara berkala, misalnya setiap bulan, agar kondisi hutan dan satwa di Pulau Enggano dapat dipantau secara konsisten. Dengan cara ini, informasi yang diperoleh dapat menjadi dasar pengambilan keputusan strategis dalam menjaga keberlanjutan ekosistem pulau yang unik dan kaya biodiversitas ini.
Berdasarkan hasil monitoring yang dilakukan pada kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan Hutan Lindung (HL) di Pulau Enggano, dengan cakupan area ±125 hektare yang tersebar pada enam grid pengamatan, tim monitoring menemukan bahwa tumbuhan pakan satwa mendominasi ekosistem hutan di kawasan tersebut.
Analisis awal menunjukkan adanya dominasi beberapa jenis tumbuhan yang menjadi sumber pakan utama bagi satwa endemik dan satwa liar lainnya, khususnya herbivora, mamalia kecil, burung, serta serangga. Dominasi tumbuhan pakan satwa ini merupakan indikator penting dari keberlanjutan ekosistem yang sehat, karena ketersediaan makanan menjadi faktor kunci dalam menjaga kelestarian satwa dan keanekaragaman hayati. Distribusi pakan yang cukup merata di seluruh kawasan hutan pada lokasi monitoring juga memperlihatkan bahwa habitat tersebut masih mendukung keberlangsungan hidup berbagai jenis satwa.
Namun demikian, keberadaan tumbuhan pakan satwa sangat rentan terhadap perubahan lingkungan. Aktivitas manusia, seperti perambahan hutan, pembukaan lahan untuk pertanian, serta praktik illegal logging, berpotensi menurunkan jumlah maupun keragaman tumbuhan pakan. Jika dibiarkan, kondisi ini dapat mengancam kelangsungan hidup satwa yang bergantung sepenuhnya pada ketersediaan pakan alami. Karena itu, penting dilakukan pemantauan berkala untuk menjaga keseimbangan ekosistem serta mengidentifikasi potensi ancaman sejak dini. Di samping itu, upaya perlindungan kawasan dan peningkatan edukasi masyarakat lokal harus terus diperkuat agar keberlanjutan ekosistem hutan Pulau Enggano tetap terjaga bagi generasi mendatang