Tulisan ini adalah bentuk retrospeksi saya dari diskusi virtual Membedah Kewenangan Desa dalam Pengelolaan Perikanan yang dilaksanakan oleh Akar Foundation bersama konsorsium dan mitra Yayasan Pesisir Lestari (YPL) pada Kamis 8 Juli 2021. Saya menikmati setiap tahapannya, ada dua hal penting yang saya kira diskursusnya harus diperluas dari diskusi ini. Pertama, bagaimana menguatkan diskursus tentang pesisir dan perairan laut masuk menjadi bagian dari wilayah adat dari sebuah persekutuan Masyarakat Hukum Adat. Kedua, bagaimana melakukan lompatan kebijakan di tingkat desa sebagai wilayah otonom sekaligus memanfaatkan kebijakan di tingkat Provinsi sebagai pemangku kawasan perairan laut.

Saya akan mulai dari hal yang pertama. Pasal 18 B Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan bangsa, masyarakat dan prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalan undang-undang. Penghormatan dan pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat sebagai hak asasi manusia, selain penghormatan dan pengakuan system leluhur, kelembagaan dan hukum dan kewilayahan. Hak ulayat merupakan bagian dari kewilayahan yang dalam perspektif Masyarakat Hukum Adat disebut sebagai ruang hidup, yang tidak hanya wilayah darat atau tanah tetapi melingkup air (perairan dan laut) serta udara. Fakta nya ruang hidup yang meliputi wilayah pesisir dan ruang laut masih sangat dipengaruhi oleh kegiatan daratan, sehingga berdampak pada dikesampingkannya wilayah perairan dan laut dalam kontek pengakuan hak padahal wilayah perairan dan laut menjadi bagian penting dari hak Masyarakat Hukum Adat.

Pada waktu yang lama Negara telah melakukan hegemoni melalui jalan konfigurasi kebijakan yang didasarkan pada doktrin bahwa perairan laut sebagai milik bersama (common property), sentralistik dalam setiap proses produksi yang semakin destruktif dan anti Pluralisme hukum. Sentralisme kebijakan dan anti-Pluralisme yang diterapkan berdampak langsung pada keterbatasan akses terhadap sumberdaya laut oleh Masyarakat Hukum Adat. Keterbatasan akses ini di akibatkan oleh sifat sumberdaya laut yang open acces sehingga menciptakan ketidakpastian pemilikan sumberdaya dalam suatu wilayah sekaligus membatasi kemampuan Masyarakat Hukum Adat dalam mempengaruhi kebijakan akibat dari ketidakpastian kepemilikan sumberdaya (propert right).

Jika memakai konsepsi Masyarakat Hukum Adat, ruang hidup bagi Masyarakat Hukum Adat adalah sebagai kesatuan bentang alam atau hamparan kesatuan ekologis yang ditetapkan dan ditandai oleh batas-batas alam, seperti daerah aliran sungai, teluk, dan arus. Tanda-tanda atau batas-batas alam ini memiliki fungsi  berdasarkan kriteria karakteristik fisik, sosial, budaya, religi dan ekonomi untuk dipertahankan keberadaannya. Sebagai subjek, Masyarakat Hukum Adat dijelaskan dengan sangat rinci dalam UU No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU ini menyebutkan bahwa Masyarakat Hukum Adat merupakan kelompok Masyarakat Pesisir yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.

Berdasarkan identifikasi atas unsur-unsur hak ulayat atau wilayah, sebagai hak dari kesatuan Masyarakat Hukum Adat (rechtgemeenschap) maka hak ulayat laut (communal properly right) merupakan hak milik bagi Masyarakat Hukum Adat yang hidup dan mendiami wilayah pesisir. Hak ulayat laut ini merupakan hak yang melekat sebagai kompetensi yang khas pada Masyarakat Hukum Adat, sebagai eksklusif right yang digunakan untuk melakukan pertukaran ekonomi dan sekaligus menegaskan dan ketegasan batas jurisdiksi berdasarkan hukum adat dan properly right.

Menjawab hal yang kedua, maka keberadaan kelembagaan hak ulayat laut perlu diakui dalam kerangka pengelolaan sumberdaya pesisir, perairan dan laut yang berbasis Masyarakat Hukum Adat. Penataan wilayah dan ketegasan batas jurisdiksi hak ulayat laut adalah hal penting untuk diakui dalam usaha menghindari konflik kepentingan antar berbagai aktivitas pembangunan dan kawasan konservasi laut. Legalitas atau dasar hukum yang melandasi diakui dan berlakunya hak ulayat laut dalam beberapa kasus dapat berupa aturan tertulis. Sementara pada kasus-kasus yang lain menunjukkan bahwa pelaksanaan hak ulayat laut merupakan praktik yang extra-legal karena didasarkan atas kebiasaan merupakan keniscayaan yang harus diakui dan dihormati oleh Negara sebagaimana dalam Pasal 18 B Undang-Undang Dasar 1945.

Upaya untuk mengembalikan kedudukan Masyarakat Hukum Adat sebagai badan hukum publik yang menjadi bagian dari Pemerintahan muncul kembali dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. UU ini tidak mempersyaratkan kriteria Masyarakat Hukum Adat secara kumulatif untuk menjadi desa adat. Artinya, UU Desa hanya mewajibkan kriteria wilayah (teritorial) sebagai kriteria wajib dan berbeda dengan kriteria Masyarakat Hukum Adat yang diatur dalam UU Kehutanan, UU Perkebunan, serta UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan rumusan kriteria yang bersifat kumulatif. Yang, pengakuannya diakui melalui Kebijakan Daerah sebagai bentuk pendelegasian kewenangan pengaturan yang didasar pada keragaman kondisi Masyarakat Hukum Adat pada masing-masing daerah.

Ruang lingkup pengakuan melalui pendelegasian kewenangan pengaturan oleh Pemerintahan Daerah mencakup keberadaan dan hak Masyarakat Hukum Adat, wilayah adat, kelembagaan adat, pelaksanaan hukum adat, dan pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat. Intinya pengakuan ini mengatur tentang bagaimana negara memperlakukan kesatuan Masyarakat Hukum Adat, memastikan kemudahan akses untuk memperoleh pengakuan hukum terhadap keberadaan dan hak-hak tradisionalnya, dan hak ulayat laut termasuk didalamnya.

Pengakuan terhadap hak ulayat laut melalui desentralisasi dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan merupakan wujud demokratisasi dari suatu konsep yang luas untuk strategi pembangunan dan pengelolaan. Desentralisasi memerlukan suatu penekanan pada nilai-nilai dan norma yang melandasi prinsip negara kepulauan serta memerlukan suatu mekanisme tersendiri yang dapat meminimalisir munculnya berbagai konflik. Mekanismenya terletak pada pendelegasian kekuasaan dari pemerintah tingkat atas kepada pemerintah tingkat di bawahnya dalam kerangka bagaimana desentralisasi tersebut bisa diterapkan.

Pemerintahan Daerah dalam kontek desentralisasi menyatakan bahwa urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah terbagi menjadi kewenangan Daerah yang terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan. Salah satu urusan Pemerintahan Pilihan tersebut meliputi kelautan dan perikanan. Kewenangan pengelolaan laut Provinsi yang semula 4-12 mil kini menjadi 0-12 mil, pengelolaan perairan yang dilakukan sebelumnya oleh Pemerintah Kabupaten/Kota diambil alih oleh Pemerintah Provinsi, salah satunya kewenangan zonasi laut yang dahulu 4-12 mil, kini menjadi 0-12 mil. Sebelumnya zonasi laut 0-4 mil menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota, kebijakan ini secara otomatis menghapus kewenangan kabupaten/kota.

Menjawab dua pertanyaan di atas. Pilihannya adalah bagaimana mengakui sekaligus mengatur pengelolaan dengan membagi wilayah pesisir ke dalam zona-zona pengelolaan dengan kewenangan masing-masing, baik di tingkat Pemerintahan Provinsi yang mempunyai wilayah pesisir, perairan dan laut dapat menguasai (untuk tujuan mengelola). Pemerintahan Kabupaten dalam kontek pengakuan terhadap Masyarakat Hukum Adat maupun Pemerintahan Desa yang mempunyai wilayah pesisir untuk merumuskan rencana strategis, rencana zonasi, rencana aksi dan rencana pengelolaan wilayah pesisir. Pengakuan ini akan memberikan ruang hidup bagi pelaksanaan hak ulayat laut dalam rangka penguatan hak-hak masyarakat adat guna menunjang pembangunan daerah sekaligus pemberian hak eksklusif kepada “desa pantai” yang menurut hukum adatnya menguasai wilayah sekaligus memiliki kemandirian yang selama ini berlangsung berdasarkan hak ulayat laut yang merupakan hak asasinya.