Kontributor: Pramasti Ayu Koesdinar

Pada tanggal 16-17 Desember 2024, bertempat di Hotel Two K Azana, Kota Bengkulu, Akar Global Inisiatif kembali memfasilitasi kegi atan pelatihan dengan tema; Peningkatan Kapabilitas dan Kepemimpinan Perempuan Pedesaan. Kegiatan pelatihan ini merupakan rangkaian dari aktivitas penyusunan tools atau alat ukur Kapabilitas Personal Perempuan di Pedesaan yang di inisiasi oleh Tim Riset Akar Global Inisiatif sebagai bentuk komitmennya mendukung gerakan perempuan. Tujuan dari rangkaian aktivitas yang kami sebut dengan istilah ‘aktivasi kapabilitas’ perempuan ini adalah untuk mendorong perempuan mencapai kesejahteraan lahir batinnya atau well-being dengan bertumpu pada kemampuan atau kapabilitas personalnya.

Pelatihan ini secara khusus dilakukan untuk 5 (lima) kelompok petani perempuan dari 5 desa di Kecamatan Kabawetan Kabupaten Kepahiang. Kelima desa dan kelompok tani perempuan tersebut sebagai berikut :

  1. Kelompok Tani Perempuan Kaba Indah Lestari (KIL)> Desa Bandung Jaya
  2. Kelompok Tani Perempuan Raflesia > Desa Bandung Baru
  3. Kelompok Tani Perempuan Sekar Putri Solo > Desa Bukit Sari
  4. Kelompok Tani Perempuan Sekar Sari > Desa Mekar Sari
  5. Kelompok Tani Perempuan Wadon Tani > Desa Sumber Sari

Kelompok Tani Perempuan Kaba Indah Lestari (KIL) yang berkedudukan di desa Bandung Jaya merupakan kelompok tani perempuan yang sudah lebih dari 3 tahun Akar dampingi. Sehingga dalam konteks ini, KIL merupakan Kelompok Tani Perempuan pionir di Kecamatan Kabawetan yang kemudian mengorganisir dan mengkonsolidasikan kelompok perempuan lainnya di beberapa desa lainnya seperti desa Suka Sari, Bandung Baru, Sumber Sari, Mekar Sari, Bukit Sari dan Tegu Rejo.

Pelatihan Peningkatan Kapabilitas dan Kepemimpinan Perempuan Pedesaan ini di fasilitasi oleh Manager Program dan Strategi Akar; Pramasti Ayu Kusdinar. Secara personal, perempuan yang akrab dipanggil Dinar ini memiliki ketertarikan pada isu perempuan, sehingga sebagian besar kerja-kerja yang ia lakukan, dialokasikan untuk kerja bersama perempuan. Dan dalam persiapan pelatihan ini, ia di bantu oleh dua orang fellows Akar yakni Titiek Kartika dan Ruth Indiah Rahayu untuk memastikan secara metodologi dan metode, alur fasilitasi pelatihan membantu Akar dan peserta mencapai tujuan pelatihan itu sendiri.

Pada sesi perkenalan, fasilitator menyuguhkan 2 pertanyaan pembuka kepada peserta yakni “…hidupku sejahtera jika…” dan “..hambatanku untuk sejahtera karena..”. Sesi ini bertujuan untuk memvisualisasikan kemungkinan dimasa depan tentang kondisi sejahtera yang mereka bayangkan, sekaligus melatih kesadaran peserta akan realitas yang berpotensi menghambat cita-cita sejahtera peserta. Dari proses perkenalan ini, hampir semua peserta menuliskan cita-cita sejahtera yang bertumpu pada kapabilitas personal mereka seperti; mampu menggunakan panca indera dengan baik, hidup sehat, masih memiliki imajinasi, mampu merawat hewan, memiliki banyak teman atau organisasi, dll. Namun, salah satu peserta menyampaikan jawabannya secara langsung kepada fasilitator; bahwa “…hidup saya sejahtera jika saya mampu menahan emosi..”. Kemudian semua peserta sepakat untuk membahas poin ini karena sebagian besar peserta tidak sepakat bahwa ‘menahan emosi’ adalah bagian dari sesuatu yang disebut sebagai kesejahteraan bagi perempuan.

Dalam sesi analisis Dinar membagikan pandangan feminisme-nya kepada peserta bahwa sejak lahir perempuan selalu dilihat sebagai manusia nomor dua dalam struktur dan sistem sosial kita. Misalnya perempuan selalu diatur untuk selalu patuh, tunduk, sopan dan santun, jika duduk kaki bersila, jika makan dilarang bersuara, jika tertawa tidak boleh terlalu kuat. Peserta menambahkan; perempuan tidak boleh ikut diskusi dalam rapat-rapat adat atau rapat bersama pemerintah, perempuan selalu disuruh duduk di belakang ketika rapat, perempuan tidak boleh kelihatan dan perempuan harus menahan emosinya. Dinar mempertegas bahwa kondisi tersebut bukanlah sesuatu yang lahir bersama perempuan, melainkan proses pembentukan atau kontruksi sosial, yang dalam konsep gender, hal ini bisa di ubah.

Kemudian pada sesi kedua, yakni sesi membaca realitas kehidupan perempuan, Dinar menyampaikan bahwa terdapat kekuatan besar di luar tubuh perempuan yakni industri, pasar, rezim dan hukum serta lingkungan sosial telah mengambil alih kemampuan perempuan khususnya dalam aspek pertanian. Untuk melanjutkan kehidupan dan menghadapi krisis, perempuan tidak lagi menggantungkan diri pada kemampuan produksinya, melainkan reproduksi. Kebanyakan perempuan petani saat ini hidup dan bergantung pada kerja dan ruang reproduksi seperti kredit, hutang dan upah.

Hasil eksplorasi yang dilakukan oleh Dinar dalam sesi kedua pelatihan tersebut menunjukan bahwa sumber nafkah utama perempuan petani saat ini adalah upah. Yakni menjadi buruh tani di lahan miliki tetangga, dan bahkan bekerja menjadi ART di desa. Dan dari sini juga tampak bahwa sebetulnya kemampuan bertani perempuan masih kuat dan melekat, namun mereka telah kehilangan sumber penghidupannya; tanah. Perampasan tanah mereka oleh negara maupun industri akhirnya memaksa perempuan untuk harus bisa melakukan apa saja demi bertahan hidup; dengan mengoptimalkan kemampuan “reproduksi sosial” perempuan.

Yang menarik ketika peserta di tanya “apa yang dibutuhkan perempuan agar anggota keluarganya tidak mati atau dapat bertahan hidup ?”, sebagian besar peserta menyatakan bahwa mereka tidak bisa hidup tanpa 1) sumber mata air, 2) hutan, 3) pohon, 4) padi, 5) ekosistem atau bentang alam yang sehat. Sementara peserta lain, yang bekerja sebagai buruh tani, mensyaratkan uang sebagai kebutuhan utama untuk melakukan kerja-kerja pertanian. Tanpa uang, mereka tidak bisa merawat lahan kebun mereka. Tidak bisa membeli bibit, pupuk dan biaya-biaya perawatan lainnya dan akhirnya tidak bisa melanjutkan hidup.

Selain itu, yang menarik dari proses pelatihan ini adalah ketika Dinar mengeksplorasi tentang dampak sterotype atau pelabelan terhadap perempuan, kepemimpinan dan teknologi. Pada sesi ini, Dinar mengajak peserta untuk menonton sebuah film animasi pendek yang berjudul The Impossible Dream. Tujuannya untuk mendorong kesadaran perempuan akan masalah gender yang mereka hadapi sehari-hari. Setelah menonton film animasi tersebut, salah satu peserta memberikan respon, “ini simpel mba Dinar, film ini menunjukan bahwa tokoh laki-laki dalam film tersebut tidak gender. Semua peserta ikut teriak setuju dan tepuk tangan.

Kemudian, pada sesi selanjutnya Dinar meminta 2 orang relawan peserta untuk membantu ia mencatat syarat menjadi pemimpin dan tugas seorang pemimpin dalam perspektif perempuan. Berikut hasil identifikasi yang dilakukan oleh peserta pelatihan :

Syarat yang harus dimiliki seorang pemimpinTugas seorang pemimpin
Mau dan MampuMembagi tugas kepada anggota
Bertanggung jawabMengambil keputusan berdasarkan musyawarah
Bekerja KerasMengawasi
CerdasMembimbing
BeraniMemberi semangat
TegasMengatur
Mendapatkan Dukungan AnggotaMenyalurkan informasi
Aksi NyataMemahami kondisi anggota
JujurMencari peluang kerjasama
Adil

Dan di sesi terakhir, Dinar mengajak peserta untuk membentuk 2 kelompok diskusi dan meminta peserta mensimulasikan pembangunan sebuah ‘desa perempuan’. Pada sesi ini, Dinar bermaksud menguji analisis peserta terhadap kebutuhan dan kepentingan perempuan dalam pembangunan desa. Hasilnya menunjukan ke khas-an kebutuhan dan kepentingan perempuan dalam pembangunan desa, yakni dengan beberapa di antaranya adalah membangun ruang olah raga dan olah karsa khusus perempuan, ruangan pendidikan khusus perempuan dan pembangunan infrastruktur lainnya yang menunjang pertanian perempuan. Kelompok diskusi yang lain juga menyebutkan syarat dari sebuah ‘desa perempuan’ adalah minimal 50% penyelenggara desa adalah perempuan dan harus ada unit pelayanan perempuan untuk menanggulangi masalah-masalah pelecehan dan kekerasan seksual terhadap perempuan.

Yang terakhir Dinar memberikan ceramah reflektif tentang relasi sosio agraria masyarakat saat ini yang telah di mediasi oleh teknologi. Pada prinsipnya, teknologi diciptakan untuk mempermudah kerja-kerja manusia. Tetapi teknologi juga bukan sesuatu yang selalu tentang mekanisasi. Teknologi juga termasuk pengetahuan dan pengalaman perempuan misalnya untuk merawat tanah dan lahan pertaniannya. Namun, pengetahuan dan pengalaman perempuan makin hari makin terpinggirkan, karena semua kerja-kerja perempuan dalam sektor pertanian diganti dengan teknologi pertanian dan peredaran uang. “Dan berdasarkan refleksi kami di Akar, dalam kondisi seperti ini yang diperlukan adalah aksi-aksi kolektif atau yang kami sebut dengan konsep The Commoning Care. Yakni upaya keperawatan bersama untuk merawat, mengembangkan dan melestarikan pengetahuan serta pengalaman perempuan.