Disusun oleh Oktari Sulastri/Staff Akar Foundation
Pengantar
Provinsi Bengkulu adalah salah satu Propinsi yang ada di Pulau Sumatera yang memiliki kekayaan alam yang berlimpah baik terbarukan maupun yang tidak terbarukan, tetapi sekaligus merupakan wilayah rawan bencana. Peraturan Daerah No 02 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Propinsi Bengkulu 2012-2032 menegaskan bahwa perencanaan tata ruang Propinsi Bengkulu berbasis mitigasi bencana. Bagi Propinsi Bengkulu khususnya ekosistem hutan memiliki peran pivotal, di satu sisi menjadi penyedia bahan-bahan yang dapat digunakan secara langsung oleh mahluk hidup, dan di sisi lain berperan penting menjamin keberlanjutan fungsi-fungsi alam, seperti tata air, penyaring udara, pengatur kestabilan iklim, serta pengikat tanah.
Propinsi Bengkulu adalah contoh gambaran lengkap satu kesatuan sistem dan fungsi hutan selama beberapa abad sebagai penyedia sumber kehidupan dan penghidupan dan pada saat yang sama memainkan peran kunci dalam menjamin kelangsungan fungsi-fungsi alam. Sekaligus memiliki jejak historik perombakan bentang alam, sosial dan politik yang sangat panjang, sejak masa pendudukan Belanda di Abad ke-18. Jejak historik tersebut ditandai pola yang konsisten: Perkebunan besar, pembalakan hutan, penambangan bahan-bahan mineral yang ditopang pembukaan jejaring sarana dan prasarana pendukung percepatan industri berbasis kekayaan alam. Jejak tersebut secara konsisten menunjukkan tingginya daya rusak, besarnya dampak yang diemban dan kecilnya manfaat yang dinikmati masyarakat.
Perubahan iklim memperburuk keadaan yang ada. Di satu sisi perubahan iklim disumbang oleh massifnya deforestasi dan degradasi hutan di Bengkulu, di sisi lain perubahan iklim menjadi potensi ancaman keberlanjutan kehidupan dan fungsi-fungsi alam wilayah tersebut. Deforestasi membuka gerbang bagi kemerosotan mutu hidup dan mutu lingkungan. Deforestasi menjadi mesin ampuh penurun daya dukung lingkungan dan kegentingan sosial. Hal ini menyebabkan pelipatgandaan daya rusak suatu bencana ekologis, baik yang murni alami maupun yang dipicu oleh akumulasi dampak kegiatan manusia dalam jangka waktu lama.
Hal tersebut menjadi argumen dasar baik oleh Akar Foundation sebagai CSO yang peduli dengan keberlanjutan lingkungan dan sumber daya alam yang ada maupun oleh pembuat kebijakan menjadikan beberapa wilayah di Bengkulu sebagai wilayah prioritas dalam mendorong pelaksanaan skema-skema hutan untuk iklim dan reposisi ruang kelola rakyat. Wilayah prioritas ini menyasar beberapa kawasan, baik kawasan konservasi, kawasan lindung, kawasan berstatus hutan produksi, serta kawasan-kawasan perkebunan yang terdegradasi (exhausted forest).
Namun penting dicatat bahwa upaya mendorong pelaksanaan skema-skema hutan untuk iklim dan reposisi ruang kelola rakyat seharusnya sudah bekerja ke arah penanganan dampak perubahan iklim (adaptasi) serta tata-kelola dan upaya pemangkasan emisi CO2 (mitigasi)[1]. Perpaduan konteks UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lingkungan Hidup, membuat pendekatan penataan ruang harus bergeser dari upaya pengaturan konvensional tata-guna lahan ke arah perwujudan pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu pelaksanaan skema-skema hutan untuk iklim dan reposisi ruang kelola rakyat seharusnya bukan semata-mata tentang lahan hutan dan karbon, tetapi harus diarahkan sebagai suatu kesepakatan pembenahan dan pembaruan tata-kelola hutan, dengan mengutamakan pengendalian faktor-faktor penyebab deforestasi. Seperti yang dipaparkan Jackson (2005), upaya adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim melalui penataan ruang harus mengedepankan status keselamatan manusia[2].
Reposisi Ruang Kelola Rakyat melalui Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Kabupaten Rejang Lebong
Kebijakan Hutan Kemasyarakatan pertama kali dikeluarkan pada tahun 1995 melalui penerbitan Kepmenhut No.622/Kpts-II/1995. Tindaklanjutnya, Dirjen Pemanfaatan Hutan, didukung oleh para LSM, universitas, dan lembaga internasional, merancang proyek-proyek uji-coba di berbagai tempat dalam pengelolaan konsesi hutan yang melibatkan masyarakat setempat. Hingga tahun 1997, bentuk pengakuan HKm masih sangat kecil. Lalu Menhut mengeluarkan Keputusan No. 677/Kpts-II/1997, mengubah Keputusan No.622/Kpts-II/1995. Regulasi ini memberi ruang pemberian hak pemanfaatan hutan bagi masyarakat yang dikenal dengan Hak Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HPHKM) yang terbatas pada pemanfaatan hutan non kayu. Dan bentuk HKm ini merupakan suatu pendekatan yang dapat meminimalisir degradasi hutan dan meningkatkan taraf ekonomi masyarakat.
Pada tahun 2001, dikeluarkanlah Keputusan Menteri Kehutanan No. 31/Kpts-II/2001, yang memberikan keleluasaan lebih besar kepada masyarakat sebagai  pelaku utama dalam pengelolaan hutan. Kebijakan ini kemudian disempurnakan lebih lanjut melalui Peraturan Menteri Kehutanan No. P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan dan kemudian diikuti  dengan perubahan-perubahannya (Permenhut No.P.18/Menhut-II/2009, Permenhut No. P.13/Menhut-II/2010, hingga Permenhut No.P52/Menhut-II/2011). Dalam peraturan tersebut, pemerintah menjelaskan  petunjuk teknis berkaitan dengan prosedur untuk memperoleh hak-hak kelola HKm, termasuk rincian proses perijinan dan pemberian ijin usaha pemanfaatan pengelolaan hutan kemasyarakatan (IUPHKm).
Pengembangan hutan kemasyarakatan (HKm) di Kabupaten Rejang Lebong diawali melalui pilot project hutan kemasyarakatan tahun 1999 yang berlokasi di kawasan hutan lindung Bukit Daun (register 5) seluas 2.000 hektar. Sebagai tindak lanjut dari Peraturan Menteri Kehutanan  P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan, seluruh eks pilot project HKm di Provinsi Bengkulu dievaluasi oleh Departemen Kehutanan. Hasil dari proses fasilitasi program HKm tahun 1999 sampai 2009 tersebut, terdapat 52 kelompok tani hutan kemasyarakatan yang terhimpun 1.279 jumlah anggota kelompok tani dengan luas lahan 1.762.8 Ha. Kelompok tani HKm ini tersebar di tujuh Desa disepanjang daerah aliran Sungai Musi atau di kawasan Hutan Lindung Bukit Daun Register 5. Jumlah tersebut sebagian besar masuk dalam cakupan administrasi pemerintahan Kabupaten Kepahiang 6 Desa dan 1 di Kabupaten Rejang Lebong yaitu Desa Air Lanang.[3]
Berangkat dari Pembelajaran dari pilot project ini, pada tahun 2010 Akar Foundation melakukan pendampingan dan fasilitasi di 6 (enam) desa yang ada di Kabupaten Rejang Lebong, desa-desa tersebut antara lain; Desa Air Lanang, Desa Tebat Pulau, Desa Tanjung Dalam, Desa Tebat Tenong Dalam, Desa Baru Manis dan Desa Air Pikat. Dari proses pendampingan dan fasilitasi tersebut terbentuk 30 kelompok tani Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan 6 Gabungan Kelompok Tani Hutan Kemasyarakatan (HKm). Pengajuan permohonan perizinan ini dilakukan bersama masyarakat. Setelah proses verifikasi oleh Kementerian Kehutanan pada tahun 2013 Menteri Kehutanan Republik Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan penunjukan Peta Areal Kerja untuk 5 (lima) Desa; Desa Air Lanang, Desa Tanjung Dalam, Desa Tebat Pulau, Desa Tebat Tenong Dalam dan Desa Baru Manis.[4]
Izin Peta Areal Kerja (PAK) untuk pengelolaan hutan melalui Skema Hutan Kemasyarakatan (HKm) melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.545/Menhut-II/2013 pada lahan seluas Lahan + 1.165 Ha tertanggal 30 juli 2013 yang diberikan kepada Gapoktan Tumbuh Lestari, Gapoktan Tri Setia, dan Gapoktan Rukun Makmur yang terdapat di Desa Air Lanang Desa Tebat Pulau dan Desa Baru Manis dan Nomor: SK.19/Menhut-II/2014 pada lahan seluas Lahan + 310 Ha tertangal 9 januari 2014 untuk Gapoktan Maju Jaya dan Gapoktan Enggas Lestari terdapat Desa Tanjung Dalam dan Desa Tebat Tenong.
Atas dasar Surat Keputusan penunjukan Peta Areal Kerja ini pada tanggal 13 Mei 2015 Bupati Kabupaten Rejang Lebong memberikan Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) melalui Keputusan Bupati RL, No: 180.186.III Tahun 2015 tentang pemberian Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) kepada Gabungan Kelompok Tani dalam Kabupaten Rejang Lebong di 5 Desa (Air Lanang, Tebat Pulau, Tebat Tenong Dalam, Baru Manis dan Tanjung Dalam). Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan sumber daya hutan pada kawasan hutan lindung Register 5.
Di dalam Keputusan Bupati RL, No: 180.186.III tahun 2015 salah satu yang dimandatkan kepada penggarap Hutan Kemasyarakatan (HKm) adalah penyusunan Rencana Umum dan Rencana Operasional secara periodik atau berjangka sehingga dalam pengelolaan Hutan Kemasyarakatan nantinya bisa memenuhi  azas Hutan Kemasyarakatan diantaranya manfaat dan lestari secara ekologi, ekonomi, sosial dan budaya.
Workshop Penyusunan Rencana Kerja dan Rencana Operasional
Pada tanggal 24-25 Juni 2013 5 (lima) Gapoktan, yaitu Gapoktan Tumbuh Lestari, Gapoktan Tri Setia, dan Gapoktan Rukun Makmur yang terdapat di Desa Air Lanang Desa Tebat Pulau dan Desa Baru Manis dan Gapoktan Maju Jaya dan Gapoktan Enggas Lestari terdapat Desa Tanjung Dalam dan Desa Tebat Tenong, melakukan konsolidasi dan melakukan penyusunan Rencana Kerja dan Rencana Operasional untuk masing-masing Gapoktan untuk periode tertentu.
Pada workshop ini ada empat faktor kunci yang menjadi bahan utama dalam penyusunan rencana, baik rencana umum maupun rencana operasional, yaitu status kawasan, kondisi hutan, kearifan tata kelola hutan dan isue yang berkembang. Dalam penyusunan Rencana Umum patokan utamanya adalah bio fisik, identifikasi kondisi sosial ekonomi, potensi areal kerja dan kelembagaan. Sementara Rencana Operasional mengacu pada pengembangan usaha non timber forest product (NTFP), usaha jasa lingkungan, tanaman bawah tegakan, rencana perlindungan hutan, rencana pengembangan kelompok dan perencanaan lainnya.[5]
Rekomendasi tindak lanjut
Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) seperti yang terdapat di dalam Keputusan Bupati RL, No: 180.186.III tahun 2015 diberikan kepada 5 Gapoktan yaitu Gapoktan Tumbuh Lestari, Gapoktan Tri Setia, dan Gapoktan Rukun Makmur yang terdapat di Desa Air Lanang Desa Tebat Pulau dan Desa Baru Manis dan Gapoktan Maju Jaya dan Gapoktan Enggas Lestari terdapat Desa Tanjung Dalam dan Desa Tebat Tenong yang diberikan dalam jangka waktu 35 tahun dan dapat diperpanjang sesuai dengan evaluasi yang dilaksanakan setiap 2 (dua) tahun. Untuk sampai pada keberlanjutan ekologi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat maka rekomendasi dari Workshop Penyusunan Rencana Umum dan Rencana Operasional ini adalah:

  1. Terdapat hak dan kewajiban yang mengikat Gapoktan dalam Keputusan Bupati RL, No: 180.186.III tahun 2015. Hak tersebut meliputi; Memanfaatkan kawasan, Memanfaatkan jasa lingkungan, Memanfaatkan hasil hutan bukan kayu dan Mendapatkan fasilitasi. Sementara kewajiban Gapoktan tersebut; Melakukan penataan batas areal kerja kelompok, Penyusunan Rencana Kerja, Melakukan pemeliharaan dan perlindungan hutan, Membayar Provisi sumber daya hutan, Melaksanakan penata usahaan hasil hutan dan Menyampaikan laporan kepada Bupati.
  2. Sebagai Pemangku kawasan; Negara, dalam hal ini Pemerintahan Pusat maupun Pemerintahan Daerah melalui Instansi Teknis harus memastikan dukungan terhadap program-program baik yang disusun oleh Gapoktan maupun Program yang disusun oleh Pemerintah termasuk kepastian dan sumber anggaran.
  3. Akses modal adalah kendala terbesar untuk memastikan peningkatan kesejahteraan masyarakat, sehingga kemudahan akses modal oleh petani penggarap haruslah dibuka ruang seluas-luasnya, baik oleh Perbankan maupun institusi resmi dan institusi swasta melalui Coorporate Social Responsibility (CSR).
  4. Masing-masing pihak yang terlibat dalam proses fasilitasi pembangunan Hutan Kemasyarakatan (HKm) baik Pemerintah, Universitas, Swasta maupun Civil Society Organization (CSO) atau Organisasi Masyarakat Sipil harus memastikan akuntabilitas atau pertanggungjawaban dalam proses fasilitasi yang dilaksanakan.

[1]  Ruth Jackson (2006). The Role of Spatial Planning in Combating Climate Change. A paper for the Planning Research Network.
[2]Ibid.
[3] Di olah dari data Akar Foundation, https://akar.or.id/adat/perkembangan-program-hutan-kemasyarakatan-hkm-di-bengkulu
[4] Proseding Report Reposisi Ruang Kelola Melalui Kebijakan Berlaku, Akar Foundation 2011
[5] Presentasi Rahmat Hidayat Wahid: Perencanaan Strategi untuk Penyusunan Rencana Umum dan Rencana Operasional yang disampaikan pada Workshop Penyusunan Rencana Umum dan Rencana Operasional, Hotel Bukit Kaba, Curup Rejang Lebong 24 Juni 2015