Oleh: Erwin Basrin
Paradigma Tata Kelola Hutan
Pada masa kolonialisme Belanda, penguasaan hutan masih dalam skala kecil terutama pemanfaatannya untuk Pemerintahan Kolonial yang memusatkan pada sektor usaha Perkebunan seperti Perkebunan Teh di Kabawetan Kabupaten Kepahiang dan Usaha Pertambangan di Kabupaten Lebong,  sementara untuk proteksi kawasan sebagian dijadikan sebagai Kawasan Bosch Wesen, dikenal dengan Patok BW oleh Masyarakat Adat/Lokal, dalam penentuan Patok Batas BW ini masyarakat Adat dilibatkan karena Hukum Adat ketika itu cenderung berdampingan dengan Hukum Negara seperti yang terlihat dalam UU Agraria 1870 (Agrarische Wet).[1]
Sejak Indonesia Merdeka, pada masa Orde Lama pengusahaan hutan sudah mulai dilaksanakan namun gagal, Pemerintaha Orde Lama lebih mengutamakan urusan Politik dan National Building sehingga pembangunan ekonomi terabaikan. Produk pertama tentang Kehutanan yang diterbitkan adalah Peraturan Pemerintah No 64 tahun 1957 yang mengatur penyerahan sebagian urusan Pemerintahan Pusat disektor Perikanan Laut, Kehutanan dan Perkebunan Karet Rakyat kepada Daerah-Daerah swatantra tingkat I.  Soal kehutanan diatur dalam Pasal 8 sampai Pasal 12, bidang-bidang yang diatur adalah tentang Pemangkuan dan Ekploitasi Hutan. PP ini berdasarkan semangat Desentralisasi yang sangat kuat, Pemerintahan Daerah diberi otonomi untuk melakukan kegiatan ekploitasi, penjualan dan mengedaran hasil hutan dan sumber daya lainnya yang ada diwilayahnya, kemudian ditambahkan lagi dengan Pemberlakukaan UU No 1 tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, keadaan ini berlangsung sampai dengan tahun 1959.
Pada tahun 1960 UU Pokok Agraria disyahkan,  Hukum Agraria dalam UUPA tersebut dipakai dalam arti yang luas yang meliputi bumi, air dan kekayaan yang terkandung didalamnya. Dalam UUPA tersebut tidak ada pasal-pasal khusus yang membahas tentang penguasaan kehutanan. Baru pada tahun 1967 Pemerintahan mengeluarkan UU No 5 tahun 1967 tentang Pokok Kehutanan (UUPK) yang mengatur hak penguasaan atas hutan dan hasil dari hutan, dalam rumusannya menyatakan bahwa hutan meliputi kawasan yang ditumbuhi oleh kayu, bambu dan tanaman palem diatas tanah yang cukup luas dan memiliki luas minum seperempat hektar. UU PK kemudian membuat poisisi masyarakat makin terpingirkan dalam pengelolaan sumber daya alam, UU juga ini menempatkan Negara sebagai aktor sentral pada pengelolaan Perkebunan dan Kehutanan, pada konsisi operasional dapat dilihat secara nyata dalam kerbijakan turunannya di dalam Peraturan Pemerintah No 21 tahun 1970 tentang Hak Penguasaan Hutan[2].
Di Bengkulu, konflik antara masyarakat lokal/adat yang mengklaim hak-hak atas tanah dan sumber daya hutan dengan pemerintah meningkat secara konsisten sejak kebijakan tersebut disyahkan yang memang mengeleminasi hak akses dan hak kontrol masyarakat adat atas wilayahnya.  Sampai saat ini paradigma tata kelola kawasan hutan adalah pemanfaatan secara intensif untuk mendorong pembangunan ekonomi sesuai dengan pesan UU PK No 5 tahun 1967 dan PP No 21 tahun 1970. Kawasan hutanpun dikatagorikan sebagai kawasan hutan produksi kayu dan sebagian dialihfungsikan menjadi pemanfaatan lain serta ditetapkan sebagai kawasan Konservasi (Cagar Alam, Taman Buru, Taman Nasional dan lain-lain). Pada kawasan Hutan produksi, Pemerintah mengalokasikan sejumlah konsesi yang sangat luas kepada pihak swasta sedangkan pada kawasan yang dialihfungsikan diperbolehkan untuk membuka dan membebaskan Kawasan Hutan untuk tujuan pemanfaatan lain.
Pada tahun 1999, Pemeritahan mengeluarkan UU No  41 tahun 1999 tentang Kehutanan, UU ini menyebutkan bahwa Kawasan Hutan didefinisakan sebagai ‘suatu kawasan tertentu yang diperuntukan/diatur oleh Pemerintah untuk dipertahankan sebagai hutan dan tentu saja melarang melakukan aktivitas pertambangan, perambahan, pengelolaan dan penebangan dikawasan lindung dan konservasi. Kebijakan ini menyebabkan tumpang tindih hak kelola (bundle of rights) atas hutan dengan pertambangan, perkebunan dan sebagian besar dengan wilayah pemukiman dan wilayah kelola masyarakat. Beberapa Desa Adminsitratif dan lahan kelola masyarakat adat di Kabupaten Lebong tumpang tindih dengan kawasan Cagar Alam, Hutan Lindung dan Taman Nasional Kerinci Sebelat. Di Kabupaten Kaur konflik masyarakat adat Semende Dusun Lama Banding Agung dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan masih berlangsung sampai saat ini, demikian juga dengan beberapa desa lainnya yang berada di Bengkulu lainnya.[3]
Dilema Masyarakat Adat dan Tenurial
Secara sosiologis weberian, seperti yang yang dijelaskan oleh Abdullah Siddik bahwa masyarakat adat Rejang di Kabupaten Rejang Lebong dan Lebong, dimana study ini dilakukan adalah kesatuan kekeluargaan yang timbul dari sistem Unilateral, dengan garis keturunan yang patrilinial dan dengan sistem perkawinan yang eksogami. Sistem kekeluargaan ini kemudian mempengaruhi sistem sosial kemasyarakatan dan yang akhirnya mempengaruhi bentuk kesatuan kekuasaan dalam masyarakat dalam bentuk struktur Kutai, yaitu dusun yang berdiri sendiri atau otonom.[4]
Sekarang mari kita hubungkan antara hak masyarakat adat dengan Tenurial, Hak masyarakat yang terkait dengan hutan dan sumber daya alam, serta agraria berada di dalam lingkaran besar satu konsep tenure. Pembahasan tenure ini dikaitkan dengan kata hak, menjadi hak tenurial. Hak tenurial menjadi perbincangan yang populer ketika hak tersebut dihubungkan dengan masalah-masalah hak tenurial masyarakat adat atas sumber-sumber agraria dan sumber daya alam. Tanah dan sumber daya alam dalam konsep tenure masyarakat Rejang hanya memperhatikan kepentingan bersama (cummunal land), sehingga terjadi ikatan yang sangat kuat yang tidak hanya untuk pemenuhan fungsi ekonomi tapi juga merupakan sumber identitas, kebanggaan, pertahanan dan juga kepercayaan (magic religion cosmis) secara falsapah disebutkan taneak tanai dan imbo piadan, tanah dan hutan yang terpelihara dan terjaga.
Hak bersama ini kemudian bermasalah ketika berhadapan dengan klaim tenurial atas objek yang sama yang dibuat oleh negara dengan legitimasi hukum positif yang berlaku. Jika kita lihat atas perkembangan yang terjadi, klaim legitimasi hukum positif yang cenderung liberal mendominasi klaim komunal (cummunal land) atas tenure ini berawal ketika cara berpikir yang berbeda pada objek yang sama (bundle of perception), dan kemudian berkontribsi pada tumpang tindih kebijakan (bundle of disposition) yang akhirnya bermasalah pada penumpukan hak pada objek yang sama (bundleof rights).  Pendominasian oleh sistem otoritas rasional legal dengan sistem otoritas tradisional ini merupakan masalah besar bagi masyarakat komunal atau masyarakat adat ketimbang masyarakat lainnya dan kondisi ini secara berlahan tetapi masif menyebabkan masyarakat adat mulai tereleminasi dan tersingkir dari hak penguasaan atas tanah dan sumber daya alam sebagai sumber hidup, identitas dan kepercayaannya(magic religion cosmis).
Resolusi jalan tengah yang cenderung kekanan
Reformasi dimana didalamnya terdapat desentralisasi bidah kehutanan tentu saja ada peluang didalam tantangan yang disediakannya, termasuk dalam memastikan ruang dan hak kelola masyarakat adat, tantangan yang harus dihadapi adalah menemukan suatu kerangka tata kelola yang dapat menyeimbangkan beragam kepentingan yang berkaitan dengan hutan, baik itu kepentingan lokal, nasional maupun global. Setiap orang pasti setuju bahwa komunitas lokal harus diberi kesempatan untuk pemenuhan solusi yang mencerminkan kebutuhan dan situasi mereka sendiri; tetapi apa yang menjadi perhatian regional, nasional dan global juga harus diagendakan
Secara otoritas legal pengakuan terhadap hak kelola hutan bagi masyarakat adat diakui dalam beberapa kebijakan yang sesungguhnya bisa disebut dengan kebijakan bersyarat, di Pasal 67 Ayat (1) Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan Penjelasan juga memberi kedudukan terhadap hutan dan masyarakat hukum adat. Namun, ketentuan ini menyatakan masyarakat hukum adat diakui keberadaannya jika masyarakat hukum adat itu pada realitasnya memenuhi unsur-unsur bahwa kesatuan masyarakat tersebut harus berbentuk paguyuban (rechts gem eenschap), adanya kelembagaan dan struktur penguasa adat, wilayah, Pranata, ketergantungan akan Hutan, ada pesan desentralisasi di Pasal 67 Ayat (2) UU No.41 Tahun 1999 menegaskan lagi bahwa pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah.[5]
Secara operasional ada banyak ‘ruang hantaran’ yang kemudian bisa dimanfaatkan oleh masyarakat adat untuk mendekati pengkuan hak atas hutan, Permenhut Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan, yang tujuannya adalah pemanfaatan hutan negara yang ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat. Melalui pemberdayaan Masyarakat setempat untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat setempat untuk mendapatkan manfaat sumberdaya hutan secara optimal dan adil melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.[6]
Begitu juga dengan Permenhut No 49 /Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa, kebijakan ini dalam rangka pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan serta mewujudkan pengelolaan hutan yang adil dan lestari, dan pesan pentinya adalah bahwa hutan negara dapat dikelola untuk kesejahteraan desa. Sementara itu di dalam Permenhut P.30/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) diterjemahkan sebagai hak untuk “melakukan usaha pemanfaatan penyerapan dan/atau penyimpanan karbon pada hutan produksi dan hutan lindung”. Isi dari hak atas karbon tersebut (sub rights) diatur dalam Pasal 3, di antaranya adalah hak untuk melakukan penanaman dan pemeliharaan sampai daur tanaman pada seluruh areal, bagian hutan, atau blok hutan pada izin usaha pemanfaatan kawasan hutan, atau izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan dan hutan desa; peningkatan produktivitas melalui peningkatan tiap tegakan dengan penerapan teknik silvikultur. Pihak-pihak yang dapat diberikan hak sesuai dengan Permenhut No. 36 antara lain pemegang, izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan, dan pengelola hutan desa.
Berangkat dari ‘ruang hantaran’ dalam mendekatkan hak masyarakat adat (cummunal land) terhadap otoritas legal dalam tata kelola kehutanan. Pertanyaan kritisnya adalah adakah jalan keluar yang rasional dan beretika di dalam mengatasi kegagalan pembangunan tata kelola kehutanan dalam benturan biporal dimana disatu sisi sistem otoritas rasional legal disisi lain sistem otoritas tradisional.? Jika kita pakai Model Anthony Gidden ‘The Third Way’ pada dasarnya adalah merujuk pada kerangka pemikiran dan pembuatan kebijakan yang mencoba mengadaptasikan demokrasi sosial dalam sebuah dunia telah berubah, dan bukan juga sekedar “jalan tengah” yang coba mengakomodir otoritas rasional legal dengan otoritas tradisional (Communal Rights dan VS Private Right) dalam tata kelola hutan namun merupakan tawaran model pembangunan kehutanan yang tersendiri yang menyeleksi aspek-aspek yang tepat baik dari konsep “kiri” (Communal Rights dan Intervensi Negara) maupun dari konsep “kanan” (Private Right dan Pasar Bebas). Di dalam hal ini pihak manapun dapat membuat pilihan sendiri diantara pilihan-pilihan positif yang ada. Intinya resolusi tersebut haruslah mempertahankan inti keperdulian pada keadilan sosial dan tidak dapat ditafsirkan sebagai sekedar pilihan antara ‘kiri dan kanan’, namun merupakan jalan keluar untuk menemukan alternatif di dalam menghadapi dilema dan berlahan mereduksi konflik yang ada.

 


[1] Laporan Program Fasilitasi Rebut Ruang Kelola Rakyat Melalui Koridor Kebijakan yang Berlaku Akar-Shamdhana, 2011
[2] PP No 21 tahun 1970 tentang Hak Penguasaan Hutan
[3] Laporan Program ‘Rapid Land Tenure Assesment Dominasi Atas Tanah di Komunitas Adat Jurukalang, Akar-Siemenpuu Foundation 2010
[4] Prof Dr. Haji Abdulah Siddik dalam Hukum Adat Rejang
[5] UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
[6] Permenhut N0 37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan