Bernstein mengawali bukunya dengan mendudukkan makna ekonomi politik agraria sebagai sebuah pendekatan untuk menganalisis relasi sosial dan dinamika produksi dan reproduksi, properti dan kekuasaan dalam struktur kelas agraria dan proses-proses perubahannya secara historis maupun kontemporer. Dalam memahami kompleksitas dinamika agraria, Bernstein menggunakan kerangka ekonomi politik Marx yang bertumpu pada corak produksi kapitalis. Perdebatan dalam penerapan konsep Marx yang abstrak mengenai kapitalisme banyak mewarnai dinamika agraria dan diferensiasi kelas yang digambarkan Bernstein dalam buku ini.
Aspek produksi dan produktivitas diklasifikasi ke dalam dua hal, yang pertama mencakup aspek teknis pertanian seperti tenaga kerja dan alat-alat pertanian yang harus di reproduksi untuk menunjang produktivitas. Dan yang kedua mencakup aspek ekonomi politik seperti hak kepemilikan lahan, kemampuan mengorganisasi diri, dan pembagian kerja. Untuk melihat relasi produksi dan reproduksi, relasi sosial, dan pembagian kerja dapat menggunakan empat pertanyaan kunci dalam ekonomi politik : 1) siapa memiliki apa ?; 2) siapa melakukan apa ?; 3) siapa mendapatkan apa ?; 4) digunakan untuk apa hasil yang mereka dapatkan ?. Empat pertanyaan kunci tersebut dapat diaplikasikan dalam ragam aktivitas ekonomi masyarakat.
Corak Produksi Kapitalis dan Diferensiasi Kelas
Septri Widiono menyampaikan bahwa kompleksitas struktur kelas telah menjadi topik yang dibahas dalam konteks Indonesia, terkhusus dalam skala perdesaan melalui berbagai pendekatan, salah satunya agraria kritis sebagai pengembangan konsepsi ekonomi politik.
Bernstein menjelaskan konsep peasent sebagai intrumen dalam melihat masyarakat pra kapitalis dan transisi menuju kapitalisme. Konsepsi makna petani Bernstein menurut Septri tidak berbeda jauh dengan konsepsi Wolf dan Shanin. Peasent dimaknai dengan orientasi produksi yang hanya memenuhi kebutuhan dasarnya (subsisten), sedangkan farmer dicirikan dengan orientasi komersil atau hasil produksi yang ditukarkan dengan uang. Namun pembedaan dua istilah tersebut dewasa ini sukar untuk dikemukakan, hal ini dikarenakan secara empirik hampir semua petani telah menukarkan produksinya dengan uang, namun disisi yang lain pola kehidupannya tidak jauh berbeda dengan peasent. Untuk mempermudah memahami makna peasent, Stepri mengutip Shanin (1990) yang menyebutkan empat segi penting dalam definisi petani : 1) keluarga petani sebagai unit organisasi sosial yang multi fungsi; 2) Lahan dan ternak sebagai sumber utama penghidupannya; 3) memiliki budaya khusus yang menjadi pandangan hidup; 4) tunduk pada golongan sosial lain yang berkuasa.
Penetrasi kapitalisme yang bersumber dari Eropa kemudian menjarah ke Asia, Afrika, dan Amerika, pada awalnya masuk melalui kolonialisme dan membentuk komodifikasi subsistensi yang kemudian merubah pola usaha tani ke budi daya pertanian (agriculture), hal ini ditandai dengan produksi komoditi yang diinginkan pasar dan pada akhirnya berdampak pada dinamika kelas dalam agraria.
Selain itu, Pramasty Ayu Kusdinar menerangkan bahwa komodifikasi subsistensi juga diawalai dengan pola pertanian monokultur (one single commodity) yang pada hari ini juga menjangkit petani skala kecil dan pada akhirnya memunculkan diferensiasi kelas. Petani hanya menanam satu komoditas di lahan produktifnya, sehingga untuk memenuhi kebutuhan dasarnya seperti pangan sangat bergantung pada pasar yang berada di luar sektor pertanian yang menjadi profesi mereka. Hal ini ikut menyebabkan angka kemiskinan di petani perdesaan begitu meningkat dan turut merubah pola subsistensi petani ke hutang, kredit, dan menjadi buruh (bearlih profesi). Petani perdesaan pada hari ini menurut Dinar banyak tereksklusi oleh pasar, modal, dan regulasi yang ada.
Pada dasarnya Bernstein menerangkan corak produksi kapitalis dari empat syarat yaitu produksi komoditas yang meluas, keharusan akumulasi, tenaga kerja sebagai komoditas, dan akumulasi primitif. Petani penggarap yang tidak memiliki lahan (tunakisma) mendapatkan paksaan samar untuk menjual tenaga dalam memenuhi kebutuhan primernya, yang pada akhirnya harus duduk di kelas buruh para pemilik lahan. Septri menjelaskan bahwa produksi kapitalis memunculkan dua fenomena khususnya di skala perdesaan yaitu deagrarianisasi atau hilangnya akses petani kecil terhadap usaha tani dan depeasentisasi atau hilangnya kemampuan untuk terus menjadi petani kecil. Dunia nyata kapitalisme itu terbentang mulai dari bursa berjangka di Chicago dan markas korporasi agribisnis hingga diferensiasi kelas di zona-zona kapitalisme petani kecil yang terus berubah dan berkembang, sampai ke pertarungan para petani dan pekerja miskin.
Pembentukan Kelas Petani di Pedesaan
Kelas dibangun berdasarkan relasi-relasi sosial produksi. Jadi kelas hanya bisa diidentifikasi lewat hubungannya dengan kelas lain. Petani keluarga adalah kelas karena hubungannya dengan kapital, yakni sebagai kelas yang dieksploitasi.
Menurut Septri, pada aras kenyataan yang ada, petani perdesaan adalah kelompok yang menduduki lapisan sosial tertentu di masyarakat, yang tenaganya dieksploitasi untuk kepentingan menghasilkan surplus. Hal ini sejalan dengan pendapat Hanny Wijaya yang menyebutkan bahwa pada hari ini desa menjadi sumber dari pangan murah dan tenaga kerja murah yang dieksploitasi untuk menguntungkan kapital.
Bernstein mengemukakan tiga kelas dalam petani, yaitu petani kaya atau petani kapitalis yang mampu mengakumulasi aset produksi dan terlibat dalam reproduksi yang meluas, kemudian petani skala menengah atau petani kecil menengah yang mampu mereproduksi diri sebagai kapital dalam skala produksi yang sama dengan sebelumnya (reproduksi sederhana), namun petani skala menengah ini tidaklah dapat dikatakan independen karena kecenderungan keberipahakannya dapat kepada kapital ataupun petani kecil. Dan yang ketiga adalah petani miskin (kecil) yang berjuang mereproduksi diri sebagai kapital dan melawan himpitan reproduksi sederhana. Di luar itu ada pula kelas pekerja yang meliputi orang-orang dalam jumlah yang kian besar dan bergantung pada penjualan tenaga kerja untuk reproduksi harian mereka. Kelompok ini menurut Septri mengalami pemiskinan yang kian hebat.
Kelas-kelas yang beragam di atas dihasilkan melalui banyak proses diantaranya adalah revolusi hijau yang tidak netral secara sosial, pasar tenaga kerja perdesaan yang tidak mendapatkan ruang sehingga harus pergi ke kota, tersedianya aktivitas di luar pertanian atau livelihood diversification, dan ketidakpastian pertanian skala kecil karena faktor alam dan harga.
Pembagian Kerja, Eksploitasi, dan Subordinasi Petani Perempuan Pedesaan
Hanny Wijaya dalam membaca Henry Bernstein mengungkapkan bahwa dalam pertanyaan ekonomi politik yang kedua terkait siapa melakukan apa sangat berhubungan dengan pembagian kerja seksual, sebuah intrumen yang sangat penting untuk dilihat ketika membaca ketimpangan gender yang terjadi di petani khususnya kawasan perdesaan. Pembagian kerja produksi dan reproduksi rumah tangga dan sosial sudah sangat berimbang antara laki-laki dan perempuan, hal ini dapat dilihat dari bentuk dan alokasi kerja yang dilakukan dalam skala rumah tangga. Namun kesetaraan dalam sexual division of labour tersebut tidak sejalan dengn distribusi hasil kerja yang didapatkan oleh perempuan, misalkan dari segi pengakuan, petani selalu saja diidentikkan terhadap laki-laki meskipun secara kerjanya telah setara. Perempuan justru mengalami eksploitasi dalam hal tenaga dan subordinasi dalam pandangan masyarakat. Wacana Kelompok Wanita Tani (KWT) yang diharapkan dapat menjadi wadah bagi petani perempuan justru menjadi area domestikasi bagi perempuan, hal ini dikarenakan cakupannya hanya diperkarangan rumah dan tidak menyentuh perempuan yang melakukan kerja-kerja pertanian.
Akhir Kaum Tani dan Agrarian Movement
Diskursus akhir kaum tani menurut Septri dijawab oleh Bernstein dengan fakta bahwa pertanian kapitalis mengalami hambatan-hambatan yang menyebabkan perkembangan kapitalisme pertanian tidak merata di berbagai belahan dunia. Hambatan tersebut bersumber dari hal yang bersifat teknis dan aspek-aspek sosial. Namun Septri menyoroti bahwa dampak dari besarnya gelombang kapitalisme yang telah memasuki perdesaan turut menjadikan inkorporasi pertanian keluarga (pertanian populis) pada hari ini untuk juga melakukan atau menghasilkan eksploitasi, terkhusus eksploitasi antar petani itu sendiri.
Pertambahan populasi dunia yang semakin pesat menjadikan kebutuhan akan peningkatan produktivitas pertanian adalah sebuah keharusan. Sehingga patut dipertanyakan bahwa apakah gerakan agraria yang memiliki corak pertanian skala kecil pada saat ini dapat memenuhi kebutuhan pangan dunia dan pertanyaan tersebut melahirkan pertanyaan pesimis selanjutnya, yaitu apakah yang ditanam oleh petani skala kecil pada saat ini adalah tanaman pangan.
Menjawab hal tersebut, Hanny Wijaya memaparkan bahwa pertanian skala kecil pada dasarnya lebih efisien dan produktif karena dapat menanam beragam tanaman pangan dan petani dapat memberikan kerja terbaiknya, dengan catatan akses pengetahuan dan pemanfaatan teknologi sebagai alat produksi tetaplah dioptimalkan. Sehingga menurutnya tidak harus pertanian skala besar yang memenuhi kebutuhan pangan dunia, karena jika pertanian tanpa petani diagendakan akan ada resiko-resiko yang berbenturan dengan kepekaan sosial dan moralitas.
Secara historis, perlawanan kaum tani telah lama dijalankan dalam menyikapi gelombang kapitalisme. Pemberontkan petani tersebut untuk memperjuangkan berbagai problematika yang dimunculkan oleh corak kapitalis seperti persoalan tanah, sewa, utang, tanam paksa, kerja paksa dan kontrol tenaga kerja. Hal ini ditandai dengan cita land reform yang secara konsepsinya masih diperdebatkan, namun telah menjadi agenda modernisasi di sektor pertanian.
Secara empiris, Dinar mengkritik agenda reforma agraria versi negara yang menurutnya hanya concern pada target kuantitatif dan tidak menyentuh area kualitatif seperti teknologi dan akses pasar. Haruslah disadari bahwa aspek kepemilikan belaka tidak akan pernah menjamin kedaulatan bagi petani. Hanny Wijaya juga menambahkan terkait reforma agraria negara pada hari ini, menurutnya negara masih terjebak pada persoalan struktur agraria dan tidak menyentuh pada aspek relasi agraria. Selain itu, penggerak isu agraria tidak boleh hanya berkutat pada perdebatan teoritis cara pandang belaka dan sudah saatnya membicarakan relasi agraria yang semakin timpang. Septri dalam melihat gerakan agraria menyatakan bahwa tantangan kedepannya adalah bagaimana pengorganisasian sosial harus adaptif terhadap perkembangan teknologi dan kecerdasan buatan yang telah diaplikasikan dalam sektor pertanian. Di luar itu, agrarian movement dan apakah kedepannya perjuangan kelas dapat dilakukan sangat bergantung pada aspek-aspek sosial yang ada di dalam petani itu sendiri.
(Narasumber : Septri Widiono, Hanny Wijaya, dan Pramasty Ayu Kusdinar)