Prof.Herawan diawal penjelasan menyebutkan bahwa salah satu tujuan dari diterbitkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) adalah untuk  meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria Nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur. Yang patut digaris bawahi dari tujuan tersebut adalah kata “terutama rakyat tani”, yang artinya secara paradigmatik sasaran dari pengaturan tindak lanjut Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 tersebut adalah untuk warga negara yang berprofesi sebagai petani. Yang artinya secara tersirat, UUPA menyadari bahwa Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki potensi besar di bidang tersebut.

Terkait dengan konflik keagrariaan yang masih marak terjadi di Indonesia, Prof. Herawan menyebutkan salah satu latar belakangnya adalah pemberian HGU yang tanpa batas. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Dewi Kartika yang menyatakan bahwa 60% konflik agraria yang terjadi di Indonesia adalah konflik antara petani dan korporasi. Secara data dapat dibuktikan bahwa pada hari ini tidak ada satupun lahan yang benar-benar dikuasi oleh negara dengan luasan ribuan hektar dan diperuntukkan untuk sebenar-benarnya kemakmuran rakyat. Pada akhirnya, hal demikian menjadikan tanah-tanah garapan rakyat diambil oleh korporasi atas nama investasi dengan izin yang diterbitkan atas nama negara.

Persoalan selanjutnya yang disampaikan oleh Prof. Herawan adalah, disparitas antara kebijakan dalam peraturan perundang-undangan dengan implementasi dari kebijakan tersebut. Prof. Herawan menyinggung, bahwa negara memang hebat dalam pembentukan norma, namun sangat lemah dalam penerapannya.

Menjawab Konflik Agraria di Malin Deman, Mukomuko 
Prof. Herawan membagikan kategori HGU terlantar menjadi 2, yaitu (1) HGU terlantar secara yuridis, yang artinya telah ditetapkan secara legal oleh otoritas yang berwenang berdasarkan ketentuan PP 11/2010; dan (2) HGU terlantar secara fisik, yang artinya secara de facto lahan HGU telah ditelantarkan oleh pemegang hak namun secara de jure masihlah terdaftar sebagai HGU di kantor pertanahan. Pada bagian HGU terlantar secara fisik inilah yang pada akhirnya memancing masyarakat untuk masuk dan menggarap lahan tersebut, baik petani yang pada awalnya menggarap lahan itu sebelum masuknya HGU ataupun petani dari luar yang melihat adanya peluang sumber penghidupan di lahan HGU yang ditelantarkan secara fisik tersebut.

Secara hukum, sangat jelas disampaikan oleh Prof. Herawan bahwa didalam HGU yang terlantar secara fisik masuknya masyarakat ke lahan tersebut adalah sebuah tindakan yang ilegal, hal ini berdasarkan pada konsepsi UUPA bahwa “tidak ada tanah yang tidak bertuan”.

Berdasar pada hal tersebut, maka proses legalisasi yang dilakukan tidaklah dapat dibenarkan secara peraturan perundang-undangan. Langkah yang dapat dilakukan kedepannya sebagai upaya penyelesaian konflik yang dihadapi adalah dengan melakukan pendekatan kepada pemerintah daerah, agar dapat mengeluarkan tanah yang di garap oleh petani tersebut dari status lahan HGU. Pendekatan hukum dalam hal ini menurut Prof. Herawan tidaklah efektif untuk dilakukan karena posisi tawar rakyat tani akan begitu lemah jika dihadapkan dengan pengadilan yang seringkali hanya menggunakan pendekatan positivistik dalam memutus suatu perkara. Selain itu, dari pihak perusahaan pasti tidak akan tinggal diam dan juga akan melakukan upaya hukum.
Pernyataan Prof. Herawan tersebut didukung oleh Dewi Kartika yang menyatakan bahwa salah satu alasan mengapa HGU terlantar sulit ditetapkan oleh Kementerian ATR/BPN adalah karena seringkali yang telah ditetapkan sebagai lahan terlantar kemudian kembali digugat oleh perusahaan ke PTUN, dalam hal ini pihak BPN seringkali kalah di PTUN, sehingga atas dasar putusan pengadilan, HGU kembali kepada perusahaan yang bersangkutan.

Menyadari hal tersebut, maka Dewi Kartika melanjutkan bahwa dalam penyelesaian konflik agraria tidaklah dapat hanya menggunakan pendekatan legalistik formal belaka, karena jika demikian maka penyelesaian hanya berpaku pada 1 lembar dokumen kepemilikan belaka dan mengenyampingkan fakta-fakta empiris yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Tantangan dan Rekomendasi Ke Depan 
Dewi Kartika menyampaikan bahwa implikasi terbitnya UU Cipta Kerja adalah melahirkan pasal-pasal yang mengatur tentang hak pengelolaan (HPL). Kemudian HPL ini disinkronkan dengan Bank Tanah yang juga merupakan produk UU Cipta Kerja. Kekhawatiran kedepannya adalah, HPL ini menjadi jenis hak baru yang begitu powerfull. Hak yang diberikan kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah ini sumbernya adalah tanah-tanah terlantar, yang kemudian di ambil alih oleh negara dan dapat saja diperuntukkan bagi kepentingan bisnis.
Rekomendasi kedepannya menurut Dewi Kartika adalah problematika agraria harus berdasar pada hal-hal yang bersifat paradigmatik, karena jika hanya menyasar pada hal-hal yang bersifat teknis belaka, maka konflik akan terus bermunculan kembali kedepannya. Kemudian, political will atau keberpihakan pemerintah haruslah jelas kepada rakyat, tidak hanya penguasa yang harus memiliki keberpihakan kepada rakyat, namun dari segi-segi lembaga lain seperti partai politik pun harus memiliki keberpihakan pada rakyat.

[1] Prof. Dr. Herawan Sauni, S.H., S.M adalah Guru Besar Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Bengkulu
[2] Dewi Kartika adalah Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
(Narasumber : Prof. Herawan Sauni[1]dan Dewi Kartika[2])

 

Kredit Foto : Meike Inda Erlina
Kredit Foto : Meike Inda Erlina