Pada hari ketiga, 40 orang perempuan dan 12 perwakilan NGOs melakukan audiensi kepada Komisi Hak Azasi Manusia (KOMNAS HAM) yang diterima oleh Komisioner Pengaduan yakni Hari Kurniawan dan Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM; Anis Hidayah. Sementara audiensi kedua dilakukan kepada KOMNAS Perempuan dan diterima oleh Andi Yetriani (Ketua Komisioner Komnas Perempuan), Dewi Kanti Setianingsih (Komisioner Pemantauan dan Gugus Kerja Perempuan dan Kebhinekaan) dan Veryanto Sitohang (Komisioner Partisipasi Masyarakat). Kepada KOMNAS HAM dan KOMNAS Perempuan.

Pada saat audiensi dengan KOMNAS HAM, peserta konferensi menyampaikan suaranya Komunitas Perempuan Adat Natumingka yang diwakilkan oleh Hotma Pangabean meminta perlindungan kepada KOMNAS HAM, “kami meminta bantuan kepada komnas HAM, karena pemerintah tidak pernah mengakui kami sebagai masyarakat adat. Tolong ringankan beban kami. Selama ini tidak ada tempat pengaduan kami. Masalah masyarakat adat di Natumingka adalah tanah adat kami di klaim oleh PT Toba Pulp Lestari (TPL). Konflik ini sudah berlangsung selama  bertahun-tahun. Kami di intimidasi oleh pihak perusahaan. Kami perempuan adat juga pernah di culik. Kami selalu takut, tidak bisa mengelola lahan pertanian dan bertani di lahan kami. Kami khawatir lahan kami dirusak oleh pihak perusahaan. Mereka selalu beradu fisik dan melakukan penanaman paksa di atas tanah adat kami.”

Dari Forum Petani Bersatu yang diwakilkan oleh Marlena menyampaikan perjuangan yang dilakukannya “Kami sudah melakukan pengaduan kepada pemerintah melalui KSP namun sampai saat ini aduan kami tidak ditanggapi. Konflik yang terjadi di wilayah adat kami diakibatkan kehadiran PT Sandabi Indah Lestari (SIL) yang menyebabkan kami miskin dan tidak memiliki hak bahkan akses ke wilayah perkebunan kami. Kami meminta aduan kami segera di proses oleh Komnas HAM, karena konflik ini terjadi sudah sangat lama.”

Kelompok Petani Bundo Kanduang, Pasaman Barat, yang diwakilkan oleh Rapini menyampaikan bahwa “Sudah belasan tahun kami memperjuangkan lahan kami, tapi sampai sekarang belum ada titik terang dari pemerintah. Kami juga telah mengirim surat kepada KSP. Sehingga kami bergabung dengan kelompok perempuan lainnya untuk berjuang bersama. Anak saya hampir di perkosa umur 4 tahun dan sampai sekarang mengalami trauma. Musholla kami di bakar oleh PMD. Saya juga pernah di tembak. Ibu saya meninggal akibat dari konflik ini. Sekarang saya meminta kepada pemerintah disini untuk tolong kami, kami sudah tidak tahan lagi sekian tahun menahan ini.”

KOMNAS HAM merespon tuntutan yang disampaikan 3 orang perempuan yang mewakili peserta konferensi. Dalam tanggapannya menyambut baik aspirasi, dan proses audiensi yang dilakukan oleh Konferensi Perempuan Berbagi, dari 7 tuntutan yang disampaikan yang secara tertulis, KOMNAS HAM menyampaikan bahwa:

  1. KOMNAS HAM sadar bahwa perempuan pembela HAM rentan mengalami dikriminalisasi, kurang lebih ada 19 bentuk ancaman kekerasaan yang mungkin dihadapi perempuan di akar rumput karena itu perlindungan pembela HAM Perempuan dan menjadi 1 dari 9 agenda prioritas KOMNAS HAM
  2. KOMNAS HAM, KOMNAS Perempuan dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pada November 2022 telah bersepakat untuk membuat mekanisme respon cepat bersama untuk memastikan bahwa hak-hak perempuna tidak dilanggar.
  3. Komnas HAM laporan terkait konflik sumber daya alam meningkat bahkan sampai 200 % dan sebagian besar konflik ini berkaitan dengan Proyek Strategis Nasional (PSN) lebih dari 2.000 konflik agraria yang terjadi di akar rumput melibatkan dan perempuan sebagai penerima dampak utama.
  4. KOMNAS HAM pernah buat inkuiri untuk masyarakat adat untuk mengisi kekosongan hukum bagi perlindungan masyarakat Adat dan tahun 2024 KOMNAS HAM bersepakat untuk menyusun standar, norma dan pengaturan tentang perlindungan Masyarakat Adat termasuk perempuan adat di dalamnya.
  5. KOMNAS HAM dan KOMNAS Perempuan memiliki kewenangan yang sama dalam memastikan implementasi undang-undang (UU) Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan isu perempuan serta kelompok rentan akan menjadi isu yang akan dikoordinasikan dengan Komnas Perempuan.

Pada sesi audiensi kedua dengan KOMNAS Perempuan, perwakilan peserta juga menyampaikan tuntutan yang sama dan beberapa peserta audiensi menyampaikan suaranya Setri Pasandre perwakilan Kelompok Perempuan Sipakullong, Suku Bajo, Gorontalo menyampaikan bahwa “Di desa kami masih banyak kasus pernikahan dini, kekerasan dalam rumah tangga dan masih minim sekali ruang bagi perempuan untuk terlibat di dalam pembangunan desa. Sehingga kami bermaksud hadir disini untuk berbagi kekuatan dan keberanian agar kehadiran perempuan lebih dianggap penting.”  Senada dengan Setri Pasandre Susanti, Kelompok Perempuan Petani Kaba Indah Lestari, Desa Bandung Jaya, Kepahiang, Bengkulu juga menyampaikan keluhkesahnya “kami sudah sejak tahun 1954 berkonflik dengan kehutanan, sudah banyak korban dari konflik ini. Saat ini, meskipun kami sudah mengantongi izin untuk bisa mengelola kawasan hutan tersebut, kami masih merasa takut dan terancam. Sebab izin ini tidak memulihkan hak kami. Akses yang kami dapatkan untuk bisa mengelola lahan hanya sementara, sekitar 10 tahun. Jadi kami berharap, melalui forum ini kami dapat memulihkan hak kami dan mendapatkan akses untuk mengelola kawasan hutan tersebut.”

Pramasti Ayu Kusdinar mewakili, Akar Global Inisiatif, Bengkulu menyampaikan bahwa sebagian besar peserta adalah korban konflik agraria, dan sebagian besar lain konflik terjadi di komunitas adat/lokal yang berhadapan dengan perusahaan perkebunan dan tambang dan sebagian lagi masih terancam dengan klaim-klaim negara seperti klaim negara terhadap sumber daya alam. “Ada dua konsen kami” Jelas Dinar, “1). Pengakuan hak, baik itu hak masyarakat adat maupun komunitas lokal untuk mengelola sumber daya alam. 2). Masih kurangnya akses yang lapang bagi komunitas untuk mengoptmasilisasi sumber daya alam. Tetapi ketika dihadapkan dengan hukum, hak mereka menjadi tidak efektif di mata hukum. Kami capek berjuang berpuluh-puluh tahun, berdarah-darah, bahkan ada anaknya umur 4 th yang di perkosa oleh kaki tangan perusahaan, 40 orang petani di tahan, dan anaknya terlahir dan stereotip sebagai anak maling karena haknya tidak di akui oleh negara. Karena itu kami mau mengajak teman-teman KOMNAS Perempuan untuk berjuang bersama kami, kami juga di dampingi oleh para ahli, seperti Sulistyowati Irianto, Rina Mardiana, Mia Siscawati dll yang mimiliki visi yang sama untuk menjawab pertanyaan bagaimana kami memulihkan kondisi yang sudah hancur akibat konflik.”

KOMNAS Perempuan yang menerima peserta Konferensi Perempuan Berbagi Andi Yetriani (Ketua Komisioner Komnas Perempuan), Dewi Kanti Setianingsih (Komisioner Pemantauan dan Gugus Kerja Perempuan dan Kebhinekaan) dan Veryanto Sitohang (Komisioner Partisipasi Masyarakat) memberi respon atas pernyataan yang disampaikan perwakilan Konferensi Perempuan Berbagi;

  1. Laporan pengaduan yang diterima KOMNAS Perempuan sejak tahun 2019 terkait konflik sumber daya alam menunjukkan bahwa perempuan menjadi korban dan penerima dampak langsung dalam setiap konflik sumber daya alam yang terjadi dan KOMNAS Perempuan telah melakukan pemantauan langsung di lapangan dan tidak semua konflik dapat di tindak lanjuti dengan mekanisme pemantauan.
  2. KOMNAS Perempuan melihat bahwa tuntutan yang disampaikan oleh Konferesi Perempuan Berbagi berada dalam platform yang sama dengan KOMNAS Perempuan karena fokus pada kekerasan terhadap perempuan yang berada dalam pusaran konflik sumber daya alam, baik  yang terjadi antara komunitas dengan perusahaan maupun dengan Proyek Strategis Nasional (PSN), konflik yang terjadi tidak hanya merugikan perempuan tetapi juga telah merusak lingkungan dan sumber daya alam dalam jangka panjang.
  3. Rancangan Undang-Undang Pengakuan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Masyarakat Adat adalah peluang untuk mendorong pengakuan dan perlindungan komunitas adat, untuk proses percepatan pengesahan UU Pengakuan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Masyarakat Adat KOMNAS Perempuan melakukan upaya hukum untuk memastikan bahwa RUU MHA segera di sahkan melalui kegiatan pendokumentasian, pengaduan bahkan strategi lobby kepada para pihak.
  4. KOMNAS Perempuan meminta komunitas perempuan untuk tidak hanya mengirimkan surat aduan yang menjelaskan sedetil mungkin kejadian yang merugikan perempuan sehingga KOMNAS Perempuan lebih kuat untuk melakukan intervensi kepada pemerintah.

 

Peserta Konferensi Perempuan Berbagi

  1. Kaba Indah Lestari (KIL) Provinsi Bengkulu,
  2. Perempuan Adat Tanah Rejang Provinsi Bengkulu,
  3. Kelompok REMIS Perempuan Nelayan Provinsi Bengkulu,
  4. Forum Petani Bersatu Provinsi Bengkulu,
  5. Serikat Petani Pejuang Bumi Sejahtera (PPPBS) Provinsi Bengkulu,
  6. Taji Talang Parit Provinsi Riau,
  7. Kelompok Perempuan Tesso Nilo Provinsi Riau,
  8. Bundo Kanduang Sumatera Barat,
  9. Komunitas Perempuan Adat Lamtoras Sihaporas Provinsi Sumatera Utara,
  10. Komunitas Perempuan Adat Dolok Parmonangan Provinsi Sumatera Utara,
  11. Komunitas Perempuan Adat Natumingka, Provinsi Sumatera Utara,
  12. Komunitas Perempuan Adat Dayak Agabag, Provinsi Kalimantan Barat,
  13. Komunitas Sipakullong Suku Bajo, Provinsi
  14. Kelompok Wanita Tani Ranolo’o Satojoto, Provinsi Nusa Tenggara Barat.
  15. Yayasan Akar Global Inisiatif,
  16. JAPESDA,
  17. Yayasan Ulayat Nagari Indonesia,
  18. Yayasan Tananua,
  19. Yayasan Planet Indonesia,
  20. Yayasan Kehutanan Masyarakat Lestari,
  21. Yayasan Kalyanamitra, 8) WALHI ED Bengkulu,
  22. Green of Borneo,
  23. ASM Law Office,
  24. Yayasan Progress
  25. Forest People Programm.

 

 

Kontak Person:

Pramasti Ayu Kusdinar (Program Manager Yayasan Akar Global Inisiatif); HP. +62 85265656572