Resensator: Erwin Basrin

Max Havelaar karya Multatuli (nama pena Eduard Douwes Dekker) adalah novel legendaris yang mengungkap realitas pahit kolonialisme Belanda di Hindia-Belanda abad ke-19. Diterbitkan pertama kali tahun 1859, novel ini secara gamblang menyoroti eksploitasi tanah dan rakyat di Jawa melalui sistem tanam paksa (cultuurstelsel) yang diberlakukan pemerintah kolonial. Dengan gaya naratif yang tajam dan satiris, Max Havelaar menghadirkan kritik sosial mendalam terhadap kesewenang-wenangan kolonial. Novel ini kerap dibandingkan dengan Uncle Tom’s Cabin di Amerika karena dampak moral dan politiknya yang besar dalam membuka mata pembacanya terhadap penindasan.

Max Havelaar

Resensi ini akan membahas bagaimana Max Havelaar menyuarakan kritik terhadap kolonialisme Belanda dan eksploitasi agraria di Jawa, serta mengapa pesan historis dan literer novel ini tetap relevan untuk memahami warisan kolonial dalam sistem agraria Indonesia modern. Dengan gaya populer dan reflektif, saya akan mengajak kita untuk melihat bagaimana penderitaan petani di tanah jajahan yang digambarkan Multatuli masih bergaung dalam konflik agraria kontemporer – dari perebutan tanah adat, perampasan lahan atas nama investasi, hingga lemahnya perlindungan bagi petani dan masyarakat adat saat ini.

Multatuli menulis Max Havelaar berdasarkan pengalamannya sendiri sebagai pejabat kolonial di Lebak, Banten, yang muak melihat penindasan rakyat oleh aparat kolonial dan penguasa lokal. Novel ini berfokus pada tokoh Max Havelaar, Asisten Residen idealis yang berusaha membongkar praktik tanam paksa dan korupsi di wilayah kekuasaannya. Melalui kisah Havelaar, Multatuli mengkritik keras kebijakan cultuurstelsel yang memaksa petani pribumi menanam komoditas ekspor (kopi, gula, nila, dsb.) di tanah mereka dan menyerahkannya dengan harga murah kepada pemerintah kolonial. Akibat sistem ini, petani kehilangan kendali atas tanahnya sendiri, dibebani pajak berat, dan dilarang meninggalkan desanya. Tanah Jawa diubah menjadi “pabrik pemeras pertanian” yang hasilnya diperas untuk kekayaan pemerintah kolonial dan kroni feodal lokal, sementara rakyat jelata menderita kelaparan.

Multatuli menggambarkan dampak kemanusiaan dari eksploitasi ini dengan sangat menyentuh. Fragmen Saijah dan Adinda dalam novel merupakan contoh paling terkenal. Kisah tragis ini menceritakan sepasang kekasih muda di Lebak yang hidupnya hancur oleh penindasan kolonial. Kerbau milik ayah Saijah, satu-satunya harta dan alat produksinya berulang kali dirampas oleh pejabat setempat. Karena kehilangan kerbau, keluarga Saijah tak bisa menggarap sawah dan tak mampu membayar pajak tanah. Ayah Saijah lalu melarikan diri dari desanya, namun justru ditangkap, dicambuk, dipenjara hingga meninggal dunia. Saijah dan Adinda akhirnya ikut terseret gelombang penderitaan. Rencana masa depan mereka berdua hancur ketika Adinda terpaksa mengungsi akibat kekacauan, dan Saijah yang patah hati bergabung dalam pemberontakan petani melawan kolonial yang berujung pada kematian tragis keduanya oleh peluru dan bayonet Belanda. Melalui kisah ini, Max Havelaar menunjukkan penindasan agraria bukan sekadar angka statistik, melainkan derita nyata manusia. Hilangnya tanah atau alat produksi bagi petani berarti terenggutnya sumber penghidupan, bahkan nyawa.

Tak hanya penderitaan fisik, novel ini juga mengecam kebijakan dan moralitas penjajah. Tokoh-tokoh pejabat Belanda digambarkan abai dan munafik. Mereka menutup mata terhadap korupsi dan pemerasan yang dilakukan bupati lokal asalkan setoran komoditas terpenuhi. Ada pula karakter Batavus Droogstoppel, seorang pedagang kopi di Belanda, yang mewakili wajah rakus kaum kapitalis kolonial yang hanya peduli keuntungan dan tak peduli dari mana kopi itu berasal atau bagaimana menderitanya petani yang menanamnya. Sindiran tajam Multatuli memperlihatkan ironi bahwa di atas penderitaan pribumi, pejabat dan pedagang Belanda hidup makmur. Bahkan, Multatuli menuliskan dengan getir bahwa akibat kelaparan yang ditimbulkan tanam paksa, “ibu-ibu menawarkan anak-anak mereka untuk mendapatkan makanan… Ibu-ibu memakan anak-anak mereka” sebuah gambaran ekstrem yang menegaskan betapa biadabnya eksploitasi kolonial di Jawa.

Secara historis, Max Havelaar memiliki peran penting dalam mengubah pandangan dunia tentang kolonialisme Belanda. Novel ini membuka mata publik Belanda terhadap penderitaan rakyat jajahan yang sebelumnya ditutupi kesuksesan finansial tanam paksa. Dampaknya “mengguncang” Eropa. Max Havelaar menjadi semacam pamflet moral yang memicu perdebatan politik di Belanda. Buku ini memberikan amunisi kepada kaum liberal Belanda yang menentang cultuurstelsel, sehingga pemerintah kolonial dipaksa mengakhiri sistem tanam paksa dan melakukan reformasi. Hasilnya, pada tahun 1870 tanam paksa resmi dihentikan dan lahirlah Agrarische Wet 1870 (Undang-Undang Agraria 1870) yang membuka era ekonomi baru.

Ironisnya, seperti dicatat sejarah, UU Agraria 1870 tersebut justru memberi jalan pada kapitalisme perkebunan swasta. Perusahaan-perusahaan Eropa diizinkan menyewa lahan hingga 75 tahun untuk menanam komoditas seperti kopi, karet, tebu, teh, tembakau, bahkan kelapa sawit. eksploitasi bergeser dari tanam paksa yang dijalankan pemerintah kolonial ke sistem perkebunan swasta besar. Di Sumatra Timur misalnya, muncul perkebunan tembakau dan karet raksasa yang memperkerjakan buruh kontrak (kuli kontrak) dalam kondisi tidak kalah buruk dari era sebelumnya.

Max Havelaar tetaplah tonggak penting karena menggugah kesadaran etis kolonial. Tekanan opini yang dipicu novel ini turut mendorong lahirnya Kebijakan Etis (Etische Politiek) pada awal abad ke-20. Kebijakan ini dikampanyekan sebagai “hutang budi” Belanda kepada pribumi, dengan program seperti perbaikan irigasi, transmigrasi, dan pendidikan bagi rakyat Indonesia. Meskipun Kebijakan Etis ini terbatas dan lebih banyak dinikmati kalangan priyayi, ia membuka peluang lahirnya kaum terpelajar Indonesia. Tokoh sejarah Agus Salim, misalnya, adalah generasi awal pribumi yang berkesempatan mengenyam pendidikan Barat. Ia diketahui membaca Max Havelaar saat sekolah dan terinspirasi oleh kritik di dalamnya. Kelak, kaum terdidik inilah yang memimpin gerakan nasionalis dan memperjuangkan kemerdekaan.

Pramoedya Ananta Toer bahkan menyebut Max Havelaar sebagai “buku yang membunuh kolonialisme” karena pengaruh berantainya dalam proses dekolonisasi Indonesia dan dunia. Pernyataan ini memang mengundang debat, tetapi tak terbantahkan bahwa secara literer Max Havelaar adalah karya yang revolusioner. Ia mengawinkan sastra dan politik, menghadirkan kritik anti-kolonial pertama dalam khazanah literatur Belanda, dan menjadi inspirasi bagi karya-karya perlawanan sesudahnya.

Dari sisi sastra, novel ini unik dengan struktur bertingkat. Narasi dibingkai oleh tokoh fiksi (Droogstoppel dan Stern) yang kemudian menyampaikan cerita Havelaar dan fragmen Saijah-Adinda. Pendekatan multi-suara ini memperkuat satir sosialnya. Gaya bahasa Multatuli juga lugas, penuh ironi dan sarkasme langsung yang menyentak nurani pembaca. Pilihan nama pena “Multatuli” berarti “Aku telah banyak menderita”, melambangkan empatinya terhadap derita rakyat. Semua unsur ini membuat Max Havelaar bukan sekadar dokumen kolonial, tapi juga karya sastra bernilai artistik tinggi yang melampaui zamannya.

Meskipun kolonialisme resmi berakhir tahun 1945, warisan kebijakan agraria kolonial masih terasa panjang di Indonesia. Penataan struktur agraria kita banyak berangkat dari sistem hukum dan pola kepemilikan tanah warisan Belanda. Pemerintah kolonial pada 1870, misalnya, mengklaim tanah-tanah yang tidak ada bukti kepemilikan sebagai domain negara (domein verklaring), seraya mengizinkan investor asing menguasai lahan luas melalui konsesi. Praktik ini menancapkan tradisi konsesi perkebunan besar yang terus berlangsung bahkan setelah merdeka. Baru pada 1960 Indonesia mencoba mendobrak warisan itu dengan lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA 1960). UUPA secara tegas mengakhiri dualisme hukum agraria kolonial dan bertujuan mendepak sisa-sisa kolonialisme serta feodalisme dari struktur pertanahan. Semangat yang terkandung dalam UUPA diantaranya menghapus prinsip domein verklaring (tanah adat/tanah rakyat yang belum bersertifikat tidak lagi otomatis dianggap milik negara), mencegah monopoli tanah oleh segelintir elit, mendahulukan kepentingan petani penggarap, dan mengatur agar sumber agraria dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Implementasi cita-cita agraria pasca-merdeka itu jauh dari harapan. Pada masa Orde Baru (rezim 1967-1998), politik ekonomi yang ditempuh justru menghidupkan kembali watak kolonial dalam agraria. Pemerintahan Orde Baru membuka lebar investasi skala besar, membagikan konsesi lahan luas kepada perusahaan swasta maupun BUMN layaknya tuan tanah baru, seraya mengesampingkan reforma agraria sejati. Tanah-tanah adat dan lahan petani kecil kembali rentan dirampas atas nama pembangunan. Konsentrasi pemilikan lahan pun kembali timpang seperti di era kolonial. Hingga sekarang, ketimpangan itu masih nyata: sekitar 1% elit menguasai 68% aset tanah di Indonesia. Puluhan juta hektar lahan berupa perkebunan sawit, konsesi tambang, dan HPH (hak pengusahaan hutan) ada di tangan segelintir konglomerat. Sementara itu, puluhan juta petani hanya menggarap tanah sempit atau bahkan tidak bertanah sama sekali sehingga disebut petani gurem. Struktur agraria yang pincang ini jelas merupakan lanjutan sejarah panjang penguasaan lahan oleh kekuatan dominan (dulu kolonial dan kaum feodal, kini korporasi besar dan oligarki lokal). Dengan demikian, warisan penjajahan masih menghantui soal tanah: ketidakadilan agraria terus berlanjut.

Realitas ketimpangan dan ekspansi modal atas lahan pasca-kolonial melahirkan beragam konflik agraria di Indonesia modern mirip dengan cerminan ulang kisah Max Havelaar. Mirip dengan masa tanam paksa di mana petani dipaksa menyerahkan tanah dan hasil buminya, kini banyak komunitas lokal menghadapi perampasan lahan atas nama investasi atau proyek pembangunan. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan ribuan konflik agraria terjadi dalam dua dekade terakhir. 4.000 lebih kasus konflik struktural tercatat tahun 2004-2021, melibatkan area lebih dari 11 juta hektar dan berdampak pada sekitar 2,4 juta jiwa. Sektor perkebunan (terutama kelapa sawit) konsisten menjadi penyumbang konflik terbesar, disusul sektor infrastruktur, pertambangan, kehutanan, dan properti. Polanya berulang, masyarakat adat atau petani lokal berhadapan dengan perusahaan besar (atau proyek pemerintah) yang mengklaim lahan mereka.

Tragisnya, konflik-konflik agraria ini kerap disertai tindak kekerasan dan kriminalisasi terhadap warga. Situasi yang mengingatkan pada adegan di Max Havelaar ketika petani tak berdaya di bawah aparat kolonial. Kini aparat keamanan negara kadang tampil layaknya antek pemodal dalam konflik lahan. Contoh nyata terjadi pada November 2016, di Desa Sukamulya, Majalengka (Jawa Barat): ratusan petani dipukul mundur oleh 1.200 personel gabungan polisi, TNI, dan Satpol PP demi pembangunan Bandara Kertajati. Desa itu bersikeras mempertahankan lahan pertanian mereka, satu-satunya desa yang menolak relokasi sementara 10 desa lain sudah tergusur demi proyek bandara. Aparat menggunakan kekerasan, melukai belasan warga dan menangkap beberapa orang. Hanya sehari berselang, ribuan aparat juga dikerahkan di Desa Mekar Jaya, Langkat (Sumatra Utara) untuk menggusur lahan pertanian rakyat. Rumah-rumah diratakan dengan alat berat dan petani yang mencoba bertahan ditangkap. Di Bengkulu, 40 orang petani yang tergabung dalam Perkumpulan Petani Pejuang Bum Sejahtera (PPPBS) di Kecamatan Malin Deman Kabupaten Mukomuko di tahan di Polres Mukomuko selama 12 hari karena dianggap melakukan tindakan kriminal di atas lahan HGU Perusahaan sawit. Tiga peristiwa tersebut oleh aktivis disamakan dengan fragmen Saijah-Adinda yang berulang Kembali. Atas nama “pembangunan”, rakyat kecil kembali jadi korban, kehilangan tanah sumber hidupnya dan dipaksa minggir secara brutal.

Di berbagai daerah lain, masyarakat adat berjuang mempertahankan tanah ulayat mereka dari incaran konsesi tambang atau perkebunan. Sering kali mereka berhadapan dengan kriminalisasi – beberapa tokoh adat dan petani dipenjara karena dituduh merambah hutan atau menduduki lahan, padahal itu tanah warisan leluhur mereka. Perlindungan hukum bagi hak-hak masyarakat adat dan petani masih lemah. Implementasi putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengakuan hutan adat, misalnya, berjalan lambat. Sementara itu, pendekatan pemerintah dalam menyelesaikan konflik agraria lebih sering represif ketimbang dialogis. Sedikitnya 2.964 petani, masyarakat adat, dan aktivis lingkungan pernah menjadi korban kekerasan atau kriminalisasi akibat konflik agraria sepanjang 17 tahun terakhir. Angka ini menunjukkan betapa nyawa dan keselamatan rakyat dipertaruhkan dalam perebutan tanah. Seakan sejarah berulang, penindasan agraria masa kolonial terpantul dalam cermin Indonesia merdeka: dulu rakyat ditindas penjajah asing, kini tak jarang mereka ditindas oleh bangsanya sendiri demi kepentingan segelintir elite.

Membaca Max Havelaar hari ini bukan sekadar menyelami kisah klasik sejarah, tetapi juga berkaca pada persoalan agraria aktual. Novel ini mengingatkan bahwa tanah bagi rakyat jelata adalah soal hidup dan mati. Seperti yang diuraikan Multatuli dan terbukti dalam kasus-kasus modern, “merampas tanah petani adalah juga merampas kehidupannya”. Penderitaan Saijah dan Adinda 150 tahun lalu hendaknya menjadi pelajaran agar negara tidak mengulangi kezaliman yang sama. Bangsa Indonesia mestinya paham pahitnya dijajah dan ditindas, sehingga semestinya tidak mengizinkan praktik penindasan baru terhadap rakyat sendiri. Kenyataannya, apabila konflik agraria dan ketimpangan penguasaan lahan terus dibiarkan, kita seolah belum benar-benar lepas dari bayang-bayang kolonialisme di tanah air.

Sebagai karya literer, Max Havelaar tetap relevan dan mudah dipahami pembaca masa kini karena pesannya bersifat universal. Keadilan sosial dan kemanusiaan. Dengan gaya tutur yang hidup, kritis namun juga emosional, novel ini mengajak kita merenung tentang moralitas kekuasaan atas tanah. Ia mengajarkan bahwa pembangunan ekonomi yang mengabaikan nurani dan keadilan hanya akan melanggengkan siklus penindasan. Max Havelaar menutup narasinya dengan seruan langsung Multatuli kepada Raja Belanda, menuntut pertanggungjawaban atas darah dan air mata rakyat Jawa yang tertumpah. Seruan itu masih menggema hingga sekarang dalam tuntutan reforma agraria dan pembelaan hak petani.

Akhirnya, Max Havelaar bukan hanya novel kolonial lampau, tetapi cermin bagi Indonesia modern. Dalam nuansa historis-literer yang menggugah, kita diajak memahami bahwa warisan kolonial dalam sistem agraria perlu ditransformasi dengan keberpihakan pada keadilan rakyat. Kisah Havelaar dan Saijah-Adinda menyalakan empati dan kesadaran, bahwa perjuangan melawan penindasan agraria belum usai. Selama masih ada “Saijah-Saijah” baru yang terancam kehilangan tanahnya demi keuntungan “tuan tanah besar”, semangat Max Havelaar akan tetap relevan. Novel ini mengingatkan kita untuk terus menjaga amanat kemerdekaan “mewujudkan pengelolaan agraria yang adil dan berperikemanusiaan,” agar tak ada lagi anak bangsa yang menderita di tanahnya sendiri.

 

Sumber Referensi:

  • Multatuli. Max Havelaar, atau Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda. Terbit tahun 2014 oleh Penerbit Qanita.
  • Pramoedya Ananta Toer, “Best Story; The Book That Killed Colonialism,” The New York Times Magazine, 18 April 1999 (terjemahan Indonesia di C2O Library).
  • Saut Situmorang, “Max Havelaar: The Book That Killed Colonialism?” (Boemipoetra, 2021).
  • Walhi, Pernyataan Sikap Hari Tani Nasional 2022: “Tegakkan Konstitusionalisme Agraria… Hentikan Perampasan Tanah…”.
  • KPA, Laporan Akhir Tahun 2022: Data konflik agraria dan ketimpangan penguasaan lahan di Indonesia.
  • Buruan.co, “Mengapa Kisah Saijah-Adinda Harus (Selalu) Terulang?” (2016).
  • https://c2o-library.net/2017/02/max-havelaar-buku-yang-membunuh-kolonialisme/
  • https://www.buruan.co/mengapa-kisah-saijah-adinda-harus-selalu-terulang/