“Dikarenakan penegak hukum bertindak sebagai corong UU, maka mereka tidak peduli bila masyarakat kalah, atau terusir dari lahan atau negeri sendiri.”
— M. Yamani
Melanjutkan serial diskusi Pluralisme Hukum, SPHR-B bersama Rumah Akar Literasi Yayasan Akar menggelar diskusi dengan tema “Sentralisme Hukum dan Pengingkaran Hak-hak Masyarakat Lokal atas Kekayaan Alam: Telaah Tata Laksana (Struktur)” pada Senin (24/2/2014). Diskusi dilakukan dengan mengundang Ketua Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Bengkulu M. Yamani, SH, M.Hum sebagai narasumbernya. Berikut petikan-petikan materi diskusi.
Sebagai pengantar, Yamani membedah dua mazhab hukum. Yakni, mazhab sejarah dan positivisme. Mazhab sejarah adalah mazhab hukum yang berpendapat bahwa hukum tidak perlu dibuat, melainkan tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Mazhab ini juga menolak adanya lembaga formal seperti DPR, DPRD atau BPD yang berfungsi sebagai pembuat hukum.
Sebagai contoh, Yamani menyebutkan aturan yang pernah berlaku di Marga Sambat, Kabupaten Kaur, terkait tata cara memperoleh kayu untuk keperluan sebagai bahan bakar. Aturan tata cara memperoleh kayu tersebut tidak berbentuk tulisan, melainkan disepakati secara bersama. Bahwa kayu yang diambil haruslah kayu yang sudah mati atau tidak produktif lagi. “Aturan tata cara memperoleh kayu tersebut tidak tertulis. Kendati demikian, diakui dan dilaksanakan oleh warga masyarakat Marga Sambat,” ujar Yamani.
Sedangkan mazhab positivisme, lanjut Yamani, adalah mazhab yang berpendapat bahwa hukum dibuat oleh pemerintah atau penguasa negara. Dengan demikian, harus ada lembaga yang memiliki otoritas untuk membuat dan melaksanakan hukum. Dikarenakan hukum yang dianggap sah adalah hukum yang dibuat (ditulis), maka pelaksanaan mazhab ini mengabaikan hukum-hukum tidak tertulis.
Sehingga, pelaksanaannya sering melukai perasaan keadilan bagi masyarakat. Misalnya terkait penguasaan kekayaan alam, akibat ketiadaan bukti-bukti secara tertulis, masyarakat adat selalu berada di posisi yang kalah. “Walau belum tentu berkepastian hukum atau terjamin akurasi dan keabsahannya, tapi bila ada sertifikat atau izin, maka akan dinomorsatukan oleh penegak hukum,” kata Yamani.
Mazhab positivisme inilah yang diterapkan di Indonesia. Sehingga, produk hukum yang berlaku adalah hukum yang diberi nama atau label. Seperti peraturan pemerintah, peraturan daerah, undang-undang dan lainnya. Penerapan positivisme hukum ini juga menjadikan sistem hukum yang diterapkan bersifat sentralisme (terpusat). Sehingga, hukum yang dibuat oleh negara dianggap sebagai satu-satunya hukum yang sah.
“Sistem hukum bersifat sentralisme ini bertolakbelakang dengan pluralisme hukum. Menurut paham pluralisme, hukum yang berlaku pada masyarakat tidaklah bersumber pada suatu sistem hukum tunggal, tetapi bersumber dari tiap aktivitas pengaturan diri sendiri di berbagai wilayah sosial,” ujar Yamani.
Namun, lanjut Yamani, penerapan sentralisme hukum di Indonesia memiliki pembenaran tersendiri terhadap pluralisme hukum. Bahwa sentralisme hukum yang diterapkan berakar pada pluralisme hukum. Dinyatakan bahwa Pancasila sebagai sumber hukum negara dibuat dari hasil mengekstrasi nilai-nilai hukum yang dimiliki masyarakat adat di penjuru nusantara. “Dan memang, secara filsafat, abtraksi nilai-nilai hukum adat tersebut dapat dibuktikan,”
Terlalu Kuat Mendukung Modal
Dalam sejarah hukum modern, kata Yamani, awalnya pemerintah berperan sebagai penjaga malam. Tugas pemerintah hanya sekadar menjaga keamanan. Mengenai kompetisi ekonomi, negara tidak campur tangan. Lalu, muncul paham negara kesejahteraan atau welfare state. Dalam konsep ini, negara menjadi subjek yang menguasai sumber daya alam. Menguasai, bukan berarti memiliki. Melainkan mengatur dan mendistribusikannya secara adil. Di Indonesia, penerapan negara kesejahteraan dilakukan bersamaan dengan penerapan positivisme dan sentralisme hukum. “UU No 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, contohnya. Semangat di dalamnya adalah semangat hukum lokal,” ujar Yamani.
Menurut Yamani, sistem hukum yang menganut positivisme bisa tetap baik bila didukung oleh aparatur yang baik. Bukan UU atau aturan yang menjadi penentu, tetapi juga cara pandang dan perilaku aparaturnya. Di Indonesia, cara pandang dan perilaku aparatur yang buruk telah menjadi masalah yang cukup serius.
“Negara kita ini, dikenal sebagai negara terbanyak di dunia dalam memproduk hukum, tapi terjelek dalam menegakan hukum. Padahal Indonesia adalah negara hukum. Kondisi ini sempat dikritik Profesor Yusril Ihza Mahendra dengan usulan agar hakim dan jaksa diimpor saja. Dia sudah tidak percaya lagi dengan hakim dan jaksa produksi lokal,” kata Yamani.
Perilaku buruk aparatur hukum tersebut, terwujud dari ketidakkonsitenan menjaga komitmen negara bahwa tugas negara adalah mendistribusikan sumber-sumber ekonomi secara adil. Buruknya pelaku aparatur hukum tersebut, lanjut Yamani, tidak lain akibat terlampau kuatnya keberpihakan kepada pemodal. Di Bengkulu, keberpihakan aparatur kepada pemodal tersebut mulai terjadi pada 1978. “Saat itu, Pejabat Agraria Bagindo Syarifudin menyatakan bahwa tidak ada tanah adat di Bengkulu. Pernyataan itu disampaikannya agar pemodal bersedia masuk ke Bengkulu,” imbuh Yamani.
Kalaupun ada lahan adat, tapi masyarakat tidak dapat memberikan bukti secara tertulis. Sehingga, lahan kepimilikan lahan tersebut. Dan lahan tersebut ditetapkan sebagai lahan milik negara. “Sama dengan cara Belanda, domain verklaring. Pribumi yang mengaku memiliki lahan, harus menunjukkan bukti. Kalau tidak ada buktinya, maka lahan tersebut adalah lahan milik negara, land domain. Cara Belanda inilah yang ditiru Rezim Orde Baru,” ujar Yamani.
Sengaja Dikerdilkan
Disamping itu, sambung Yamani, aparatur hukum juga sengaja mengerdilkan hak-hak masyarakat. Contohnya, UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Walau diatur tentang pengakuan hak-hak masyarakat, tapi harus ditetapkan dengan Perda. Padahal, sebagaimana diketahui, proses pembuatan Perda sangatlah sulit. Contoh lainnya, tambah Yamani, keengganan untuk menegakkan UU Pokok Agraria.
Dalam UU No 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria diakui dua macam hak milik. Yakni, hak milik yang sesuai hukum nasional (sertifikat) dan hak milik adat. “Awalnya, bank menerima tanah adat (sebagai agunan dengan bekal SKT). Tapi UU Perbankan yang baru melarang menerima SKT. Jadi sengaja dikerdilkan. Disamping itu, sejak UU No 5 Tahun 1960 diberlakukan, sampai hari ini pemerintah enggan membuat peraturan pemerintah yang mengatur soal pengakuan hak milik adat, sebagai turunan dari UU tersebut,” terang Yamani.
Sebenarnya, sambung Yamani, sistem hukum di Indonesia bersifat dualisme. Di satu sisi mengakui hukum pribumi atau pluralisme hukum, namun disisi lain secara perlahan-lahan malah mengikis hukum pribumi. Pengikisan itu dilakukan secara halud dengan berlindung pada kalimat “bijak” bahwa materi-materi hukum pribumi menjadi materi-materi hukum positif yang dibuat.
“Namun, saya nilai, lahirnya UU tentang Desa telah membuka peluang hak-hak adat dengan adanya pengaturan mengenai desa adat. Tapi pengakuan tersebut, bersyarat. Harus bisa membuktikan bahwa masyarakat adat tersebut memiliki lahan, hukum adat dan pelaksana hukum adat. Oleh karena itu, upaya advokasi sangat dibutuhkan agar masyarakat adat bisa memanfaatkan peluang tersebut, salah satunya dengan membentuk desa adat,” imbuh Yamani.
Corong Aturan
Yamani juga mengatakan, pengabaian hak-hak masyarakat adat juga dipicu cara pandang penegak hukum bahwa mereka adalah corong atau juru bicara aturan. Sehingga, penegak hukum melihat hukum itu hanya berupa UU, PP, Perda dan lainnya, tidak melihatnya dari sisi untuk memberikan rasa keadilan. Padahal, keadilan merupakan tujuan paling hakiki dari hukum. “Dikarenakan penegak hukum bertindak sebagai corong UU, maka mereka tidak peduli bila masyarakat kalah, atau terusir dari lahan milik masyarakat sendiri,” ujar Yamani.
Dikarenakan hakim membuat putusan dengan mendasarkannya pada bukti tertulis, lanjut Yamani, maka banyak praktisi hukum menolak membela perkara yang merugikan masyarakat terkait lahan. Walau masyarakat mengatakan bahwa lahan telah dimiliki sejak zaman nenek moyang mereka , tapi mereka tidak bisa menunjukkan bukti secara tertulis. Sehingga, mereka akan berada di posisi kalah.
“Oleh karena itu, pengakuan legalitas terkait hak masyarakat lokal sangat diperlukan, dan harus diperjuangkan. Perjuangannya bisa dengan mengusulkan pembuatan Perda atau Perdes yang melindungi hak-hak masyarakat. Selagi pengakuan legalitas atas hak-hak masyarakat tersebut tidak ada, maka masyarakat akan selalu dikalahkan atau berada di posisi yang kalah,” kata Yamani. (**)
*Tulisan ini dibuat untuk membantu Sekolah Pendamping Hukum Rakyat – Bengkulu dan Rumah Literasi Yayasan Akar dalam upaya mendokumentasikan kegiatan.