Mika yang cantik. Dalam surat kali ini aku menulis jejak cerita baru,  mencari diri di sela kegelapan, diampit waktu, di tengah tumpukan gelisah yang kian bertambah di pundakku. Seperti biasa Mika, selalu kusertakan rasa cinta dalam setiap suratku untukmu. Harapku selalu anggun senyummu saat melihat petugas Pos tiba mengantar suratku tepat di rumahmu. Sepertiku yang selalu cemas bercampur rindu menunggu balasmu.

Maaf, tak ada aroma laut dalam secarik kertas surat ke 26 ku. Mungkin ketika surat ini tiba di depan hidung manismu, hanya bau tanah perkebunan yang akan tercium. Tak seperti biasa aku bercerita tentang untaian senja, kepak burung camar, atau sekedar alunan ombak pelan menenangkan kepadamu. Cerita ini kutuliskan saatku letih terkulai di antara hamparan lebat pepohonan petani. Semoga kisahku mampu sejenak menahan kedip mata indahmu.

16.08,  angka yang kulihat di jam tanganku. Hari itu tepat Tanggal 22 Oktober 2020, aku tiba dipersimpangan jalan tempat yang dituju. Dengan jemputan 2 orang warga yang baru kukenal, aku terus memacu mengikuti arah jalan yang dipandu. 15 menit berjalan, kulihat pemandu berhenti sejenak. Dengan nafas tersela, suara bernada pelan segan, salah satu pemandu berucap “kita akan memasuki jalan tanah perkebunan”. Mendengar itu, pandangku langsung tertuju pada tebing curam yang akan dilewati. Tak usah cemas Mika, sepanjang perjalanan aku telah membayangkan sulitnya medan yang akan ditempuh.

Kembali kulanjutkan perjalanan melewati tanah licin yang nampaknya baru saja diguyur hujan. Kulihat dominasi corak sawit di kiri kanan dengan sesekali pohon tua menyelangi. Senyum bibirku berucap, betapa riangnya petani memiliki kebun sendiri. Senyumku kian menjadi kala tiba di perhentian pondok petani tempatku akan bermalam. Kehangatan sambutan petani disertai suguhan kopi, dengan canda tawa bersama seolah melenyapkan letih perjalanan panjang yang telah dilalui.

Belum habis segelas kopi, celetuk seorang petani tua mengagetkanku. Dengan bibir gemetar ia berkata “Inilah lahan konflik yang 20 tahunan lebih telah kami hadapi sebagai petani”. Mendengar itu, tubuhku terasa kaku, mulutku terdiam membisu. Obrolan yang mulanya ceria berubah haru seketika. Kuberanikan mengangkat kepala yang tertunduk, sejenak kulihat wajah tua yang kukira usianya di atas 50 Tahun. Dengan segan, aku mencoba perlahan menggali cerita konflik dari petani itu.

Mika, pada awalnya lahan yang menjadi konflik merupakan wilayah adat yang menjadi sumber kehidupan bagi petani setempat. Sebelum masuknya tanaman sawit yang menjadi komiditas paling banyak di daerah itu. Tanaman padi, kopi, dan jengkol menjadi primadona di lahan yang hari ini diperebutkan.

Tahun 1995, masuklah sebuah korporasi di lahan yang mereka garap. Bermodalkan izin yang diterbitkan atas nama negara, petani setempat diusir melalui cara yang dianggap sah oleh pemerintah. Garapan lahan dengan keringat petani, secara mudahnya diabaikan dengan istilah ganti rugi. Hatiku meronta. Layakkah jerit payah dan rasa cinta petani terhadap lahan yang dikelola, hanya diukur secara materi atas nama investasi, gumamku dalam hati. Ya harus bagaimana Mika ? Petani tak berdaya, negara punya kuasa.

Larut dalam cerita, tak terasa malam perlahan menyapa. Beberapa ibu-ibu yang biasanya bekerja di perkebunan sawit perusahaan, malam itu dengan riangnya menyiapkan santapan makan malam.

Suasana makan bersama mampu sejenak menghilangkan sedih yang dirasa. Kulihat anak-anak petani masih asik berlarian tertawa, indahnya senyum tulus itu, hingga muncul takutku ketika mereka beranjak dewasa dan masih harus berhadapan dengan konflik yang ada.

Kucoba rajut kembali sobekan kecil dari cerita yang tercecer. Mika, ingatku dulu dalam salah satu suratku di Tahun 2015. Aku menceritakan semangat seorang pengajar muda di kampus yang bercerita “Bumi, air, udara, dan kekayaan yang ada di wilayah negara merupakan anugerah Tuhan untuk dimanfaatkan bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat”.

Mika, begitu kecewa rasaku mengingat ucapan itu. Yang mana layak disebut rakyat ? Mereka yang bertahan akan subsistensi? Atau, segelintir pemilik modal yang mengejar akumulasi materi?

Mika, renungkan sejenak tanyaku itu..
Mereka yang bekerja atas nama negara, dengan dalih untuk pembangunan bangsa, selalu berpihak pada kepentingan kapital. Pada akhirnya, yang miskin dan tak berkuasa selalu dijadikan korban atas serakahnya para penguasa.

Mika, negara terlalu angkuh dalam bicara. Investasi dengan gagahnya secara sepihak diklaim sebagai cara untuk mengangkat kesejahteraan rakyat. Sekali lagi Mika, rakyat yang mana ?

Investasi dibuka seluas-luasnya. Izin dipermudah. Tak peduli akan dampak kerusakan lingkungan. Tak peduli akan keberlangsungan kehidupan satwa yang juga ciptaanNya. Dan tak peduli, berapa banyak perut rakyat yang menjerit karena tak mampu memenuhi kebutuhan hariannya.

Pertanyakan! Apa bedanya negara dengan mereka yang hanya menjadikan rakyat sebagai pekerja, yang kemudian disamakan dengan komoditas hanya untuk meningkatkan kekayaan individual.

Mika. Bagiku, narasi negara yang membuka lapangan pekerjaan di atas investasi dengan mengorbankan rakyat, tak ubahnya seperti paksaan samar bagi tunakisma “Kau jual tenaga atau kau mati kelaparan”.

Ironi di sebuah negeri agraris yang bertransformasi menuju negara industri. Negeri yang katanya lumbung bagi petani. Negara yang katanya tanah surga. Negara yang memiliki hamparan subur, namun dipergunakan untuk mempersubur kekayaan pemilik modal.

Tak hanya sebatas itu Mika. Seusai makan malam, para petani kembali melanjutkan ceritanya. Mereka yang memilih bertahan di atas lahan, kerapkali dihadapkan dengan kriminalisasi. Hukum negara yang seharusnya menjadi alat untuk menjamin rasa aman bagi setiap warganya, justru dijadikan senjata untuk memberangus mereka yang enggan berkompromi untuk mempertahankan haknya.

Tuduhan pengroyokan, mencuri, hingga buron kasus pembunahan pernah disematkan kepada mereka. Dingin dan sempitnya jeruji penjara pernah dialami, ujar seorang pemuda yang sebaya denganku.

Mendegar itu, ingatku akan satu prinsip hukum yang begitu universal dan tekstual “Equality before the law”. Doktrin dalam penerapan hukum modern itu digunakan untuk mencegah terjadinya diskriminasi bagi subjek yang diatur di dalamnya.

Namun Mika, norma yang juga dibakukan dalam hukum tertinggi republik ini, nampaknya masih terlalu jauh untuk berlaku bagi petani perdesaan.

Dari petani aku mendengar. Aparatur hukum yang diharapkan dapat memberikan perlakuan yang sama, tanpa memandang apapun dalam menegakkan hukum negara. Seringkali menjadi tameng bagi korporasi dalam melawan para petani.

Berat rasanya Mika, jika perlakuan seperti itu pada akhirnya hanya disebut “Oknum”. Bukankah hal seperti ini terpola dengan sistematis ? Coba saja, lihat dan perbandingkan gejala yang bermunculan dalam pembungkaman pada setiap gerakan perlawanan yang ada. Di setiap daareh, pola yang dipergunakan begitu sama. Mereka yang membangkang, enggan berkompromi akan penindasan, pada akhirnya akan diperhadapkan dengan intetpretasi sepihak delik hukum negara.

Mika, apa yang harus kulakukan ?
Di akhir suratku, aku mengutip penggalan doa Reinhold Niebuhr, semoga dapat menambah lapisan harmoni, tersusun membentuk melodi pengantar renung tidurmu. Harapku akan selalau bahagia dirimu, ketika bisa melihat suatu penindasan sebagai bagian dari gelisahmu..

“Bapa, beri aku kebesaran jiwa untuk dapat menerima hal-hal yang tak dapat kuubah, keberanian untuk dapat mengubah hal-hal yang dapat kuubah, dan kearifan untuk membedakan keduanya”.

Cinta untukmu. Malin Deman, 22 Oktober 2020.
Tulisan ini telah terbit di https://nestapasenja.wordpress.com/2020/11/28/cinta-untukmu/ dengan Judul “Cinta Untukmu”