Akarnews. Kamis, 5 Desember 2024. Bertempat di Ruang Internasional Fakultas Hukum, Universitas Bengkulu. Akar Global Inisiatif bersama Program Studi Kenotariatan Program Magister, Fakultas Hukum, Universitas Bengkulu mengadakan Seminar Nasional Politik Hukum Agraria dengan tema “Hak Menguasai Negara dalam Konfigurasi Politik Hukum Agraria di Indonesia” yang dihadiri 125 orang peserta perwakilan dari civitas akademika Universitas Bengkulu, Praktisi Hukum, Pemerintah Daerah Bengkulu, Aparat Penegak Hukum, Lembaga Swadaya Masyarakat, Kepala Desa, OKP, BMA Kota Bengkulu dan BMA Provinsi Bengkulu.
Seminar Nasional yang dibuka oleh Dekan Fakultas Hukum DR. M. Yamani Komar, S.H., M.Hum merupakan lanjutan kerjasama Akar Global Inisiatif dengan Fakultas Hukum Universitas Bengkulu bertujuan untuk mengarusutamakan resolusi-resolusi konflik agraria di Indonesia dalam kerangka hukum negara dan agenda menuju konferensi ‘Dekonstruksi ulang Makna Perjuangan Masyarakat Hukum Adat’ yang akan dilaksanakan pada Bulan Januari 2025.
Seminar yang dimoderatori oleh Pramasty Ayu Kusdinar dari Akar Global Inisiatif ini dimulai dengan penyampaian materi mengenai “Rekonstruksi Politik Hukum Agraria Indonesia” oleh Dr. Syaiful Bahari, S.H.,M.H. dari Pusat Kajian Hukum Agraria dan Sumber Daya Alam Jakarta. Dalam presentasinya, Dr. Syaiful menyampaikan bahwa HMN dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 memiliki pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada kepemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut oleh UUD 1945, namun pemaknaan Hak Menguasai Negara (HMN) dalam sejarah Politik Hukum Agraria di Indonesia yang selalu mengalami perubahan dari rezim-rezim yang berkuasa.
“Dan setiap rezim memiliki tafsirannya sendiri mengenai HMN, kemudian memberikan corak yang berbeda dalam mengkonfigurasikannya dalam kebijakan politik hukum agraria di Indonesia”. Jelasnya.
Prof. Dr. Afrizal, M.A. Guru Besar Sosiologi Agraria FISIP Universitas Andalas dalam materi “Kehampaan Hak Atas Tanah (Konflik Hak Masyarakat Atas Tanah Versus Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit)” menyampaikan bahwa sebagaimana yang ditulis dalam bukunya “Kehampaan Hak; Masyarakat vs Perusahaan Sawit di Indonesia;” Dampak dari konflik agraria cenderung menyebabkan berbagai persoalan livelihood dan relasi sosial masyarakat terdampak, seperti perubahan relasi agraria dan pola produksi masyarakat.
Materi “Quo Vadis Politik Hukum Agraria di Indonesia (Dominasi Hak Menguasai Negara Versus Pengakuan Hak Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Terhadap Tanah Ulayat)” disampaikan Prof. Dr. Kurnia Warman, S.H.,M.Hum, Guru Besar Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Andalas. Dalam pemaparannya dia menyebutkan bahwa UUPA 1960 adalah payung hukum dan menjadi sumber lahirnya peraturan perundang-undangan lainnya yang berhubungan dengan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, atau disebut juga agraria. Pemaknaan sebagai peraturan dasar agraria dimaksudkan untuk melakukan perombakan dan pembaruan hukum agraria nasional sebagai pengganti dari hukum agraria kolonial Belanda.
Dengan demikian, asas dan norma dari hukum agraria Indonesia yang baru merujuk pada UUPA 1960, karena UUPA 1960 merupakan pijakan dari cita-cita hukum dasar Negara Republik Indonesia yaitu UUD 1945. Benang merah antara UUPA 1960 dengan dasar falsafah negara dapat dilihat di paragraf Keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu pembentukan negara Indonesia ditujukan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Keterkaitan UUPA 1960 dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 disebutkan juga di Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Dalam bagian “berpendapat”, yang merupakan dasar pemikiran dibentuknya UUPA 1960 dijelaskan bahwa, hukum agraria nasional merupakan pelaksanaan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.” Jelas Prof Kurnia Warman.
Dia menjelaskan bahwa Politik Hukum Agraria Indonesia merupakan kebijakan dan strategi Indonesia sebagai negara hukum dalam mengatur, mengurus, mengelola, memanfaatkan, serta mengawasi sumber daya agraria, meliputi bumi, air, dan kekayaan alam, untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Landasan politik hukum agraria Indonesia yaitu landasan filosofis (Pancasila), landasan konstitusional (UUD 1945), dan landasan operasional (UUPA dan UU sektoral).
“Arah kebijakan politik hukum agraria Indonesia terus berkembang sesuai dengan perkembangan peradaban manusia, misalnya terkait sustainable development, digitalisasi pelayanan, dan lainnya. Tantangan politik hukum agraria dewasa ini yaitu ego sektoral pengurus sumber daya agraria (pusat/daerah), disharmonisasi peraturan perundang-undangan (UU sektoral dan UUPA), konflik agraria (antar masyarakat, antar pemerintah, masyarakat vs pemerintah vs korporasi, melibatkan aparat),”
“Prinsip pengakuan Masyarakat Hukum Adat dan Hak Ulayat dalam UUPA 1960, walaupun berlaku prinsip kenasionalan dan hak menguasai negara, namun negara mengakui dan menghormati keberadaan Masyarakat Hukum Adat dan Hak ulayat Masyarakat Hukum Adat.” Lanjutnya. Pasal 5 UUPA 1960 menentukan, bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan yang tercantum dalam UUPA dan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
“Pasal 3 UUPA 1960 telah menegaskannya juga, bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”
Prof. Dr. Herawan Sauni, S.H.,M.S. Guru Besar Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Bengkulu melanjutkan presentasinya tentang “Pemetaan Jenis Konflik Agraria di Provinsi Bengkulu”
Menyampaikan bahwa konsep hak menguasai negara sudah ada sejak era kolonial Belanda, meskipun falsafah dan spirit-nya berbeda dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Konsep hak menguasai negara di masa kolonial Belanda dikenal dengan asas Domein, dan diformulasikan ke dalam perundang-undangan pertanahan di tahun 1870, disebut dengan Domein Verklaring yang diartikan sebagai hak milik mutlak negara (Pemerintahan kolonial Hindia Belanda).
“Artinya, negara memiliki kewenangan untuk memberikan atau mengalokasikan tanah-tanah kepada subyek hukum yang diakui negara.” Jelas Guru Besar Agraria ini.
Perombakan atas warisan hukum agraria kolonial secara menyeluruh memerlukan waktu yang lama, sementara itu banyak persoalan pertanahan yang dihadapi pemerintah dan harus diselesaikan sampai terbentuknya hukum agraria nasional yang baru.
“Sebagai upaya kesungguhan pemerintah dalam memutus rantai asas domein verklañng, maka dilakukan dengan cara menghapus tanah-tanah partikelir pada tahun 1945, menghapus status desa perdikan pada tahun 1946 dan menghapus hak-hak konversi pada tahun 1948.”
Lahirnya UUPA 1960 mempertegas kembali tentang relasi negara dengan rakyat dalam konteks penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria. Dasar filosofi UUPA 1960 adalah meletakkan konsep hak menguasai negara dalam rangka mencapai tujuan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terumuskan dalam Pancasila dan UUD 1945. Namun demikian, lebih dari lima dekade sejak diterbitkannya UUPA 1960, ketimpangan penguasaan agraria dan sumber daya alam masih terjadi. Akibat ketimpangan tersebut, konflik agraria selalu menjadi isu dominan, baik di tingkat lokal, juga nasional. Konsorsium Pembaruan Agraria(KPA), mencatat sejak 2020 -2023 terdapat 660 konflik agraria, yang pada tahun 2023 terdapat 241 letusan konflik yang merampas seluas 638.188 hektar tanah pertanian, wilayah adat, wilayah tangkap, dan pemukiman.
“Berangkat dari persoalan konflik agraria, negara sesungguhnya memiliki peran penting dalam mengurangi ketimpangan agraria dan menciptakan keadilan sosial. Dalam mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan umum, negara oleh konstitusi diberikan “Hak Menguasai” untuk mengatur alokasi dan peruntukan tanah dan sumber daya alam dalam rangka kepentingan perekonomian nasional,”
Ketentuan tersebut tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yaitu “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Konsep pemberian hak penguasaan kepada negara ini selanjutnya dikenal dengan Hak Menguasai Negara. Dalam perspektif legal yuridis, hak menguasai negara menjadi sumber utama norma pembentukan UUPA 1960 dan peraturan perundang-undangan lainnya di sektor pertanahan dan sumber daya alam, seperti di sektor perkebunan, kehutanan dan pertambangan. Pemaknaan hak menguasai negara menurut Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 adalah negara selaku organisasi kekuasaan tertinggi memiliki kewenangan bertindak dalam kedudukannya sebagai penerima mandat rakyat Indonesia untuk mengatur pengalokasian dan pemanfaatan bumi, air dan kekayaan alam,
“Rakyat yang terdampak konflik agraria pada akhirnya merasakan kehampaan hak status hukum yang disematkan oleh negara serta hak-haknya atas tanah seperti yang disampaikan oleh Prof. Dr. Afrizal tadi,”
. Hubungan yang kolutif antara pelaku usaha, politisi dan birokrat menjadikan ketentuan hukum hampir tak berarti untuk melindungi hak-hak rakyat dalam akses pengelolaan terhadap sumber-sumber agraria. Konflik antara masyarakat pedesaan di Indonesia dan perusahaan kelapa sawit disebabkan oleh kehampaan hak de facto atas tanah. Kehampaan hak de facto atas tanah-tanah disebabkan oleh implementasi yang UU yang buruk, tidak FPIC oleh perusahaan kelapa sawit dan juga mekanisme penyelesaian konflik agraria tidak efektif karena oligarki yang begitu kuat. Tambah Prof Herawan.