Hak asasi manusia merupakan hak yang dimiliki oleh setiap orang, yang tidak diberikan oleh Negara melainkan melekat sebagai bentuk penghormatan atas human dignity (martabat) seorang manusia. Negaralah yang memiliki kewajiban untuk memenuhi, serta menghormati hak setiap orang tanpa memandang RAS, suku, agama, serta latar belakang.
Hak atas tanah merupakan salah satu hak yang melekat dalam ruang lingkup hak ekonomi, social, budaya dimana dalam hal ini Negara harus bersifat positif yang artinya Negara harus aktif bergerak memenuhi hak tersebut sebagai upaya terdistribusinya hak tersebut kepada masyarakat.
Tanah dengan manusia juga memiliki relasi yang sangat penting di dalam suatu komponen masyarakat, dimana tanah bukan hanya memiliki fungsi ekonomi, namun undang-undang pokok agrarian (UU No 5 tahun 1960) menjelaskan bahwa terdapat relasi sosial, budaya, kepercayaan. Maka hubungan antara tanah dengan manusia dan masyarakat tidak dapat dipisahkan dengan alasan apapun, apalagi akumulasi kapital.
Tulisan ini bertujuan untuk melihat bagaimana masyarakat seringkali mendapatkan bentuk-bentuk perampasan tanah sebagai ruang hidup di beberapa wilayah dalam Provinsi Bengkulu, Penulisan ini diambil dari 3 kabupaten yakni Mukomuko, Kepahiang, dan Lebong. Tulisan ini juga hanya analitis yang diambil dari proses observasi sehingga hasilnya merupakan bentuk hipotesa awal.
Dimulai dari kabupaten mukomuko, kecamatan Malin Deman, dimana kabupaten ini merupakan lautan perkebunan sawit, terlihat dari kadar cuaca yang sangat terik karena keringnya tanah akibat dari proses penyerapan air oleh ratusan hektar pohon sawit. Permasalahan yang muncul di daerah ini adalah konflik klaim hak oleh pihak perusahaan sawit yang berstatus HGU, dengan masyarakat yang sedang memperjuangkan ruang hidup mereka yakni hak atas tanah sebagai lahan perkebunan masyarakat.
Dalam konflik ini bentuk konflik perampasan hak atas tanah dilakukan oleh pihak perusahaan, dimana dengan relasi kuasa yang timpang, perusahaan mengambil alih lahan masyarakat tanpa berbagai bentuk keterlibatan partisipasi masyarakat dalam berbagai aktivitasnya, masyarakat harus rela bahwa lahan yang telah lama mereka garap harus beralih fungsi menjadi lahan HGU perusahaan perkebunan sawit.
Kemudian bentuk perampasan hak atas tanah lainnya seperti yang terjadi di kabupaten Lebong. Disana terjadi perampasan ruang hidup yang juga dilakukan oleh pihak perusahaan namun dengan jenis perusahaan yang berbeda yakni perusahaan panas bumi, dimana berangkat dari inisiatif pemerintah dalam menggalakkan energi alternatif sebagai energi terbarukan yakni panas bumi, yang kemudian dimasukkan kedalam proyek strategis nasional (PSN).
Namun konsep energi terbarukan belum bisa menjawab berbagai persoalan ditingkat masyarakat, dikarenakan dampak buruk yang terjadi ketika proses pengeboran yang dilakukan guna mendapatkan panas bumi, menjadikan struktur tanah yang rusak, hingga mengakibatkan perubahan struktur tanah dan tidak jarang berakibat longsor pada daerah-daerah yang rentan, kemudian juga air yang digunakan dalam proses pengeboran sangat memungkinkan menjadikan berkurangnya debit air yang sangat signifikan dan tentu itu sangat berdampak bagi petani-petani yang kawasannya berdekatan dengan perusahaan.
Hadirnya perusahaan menimbulkan berbagai macam dampak akibat yang dirasakan oleh masyarakat sekitar seperti banyaknya petani yang kehilangan lahan akibat dari longsor, dan rusaknya komoditi akibat dari proses pengeboran serta mengeringnya daerah-daerah pertanian.
Kemudian yang terjadi di Kabupaten Kepahyang dimana konflik yang terjadi akan hak atas tanah yang harus berhadapan dengan pemerintah yakni Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Secara tiba-tiba, setelah sekian puluh tahun melakukan aktivitas pertanian, kawasan lahan pertanuan masyarakat sekitar itu ditetapkan menjadi Taman Wisata Alam (TWA) oleh BKSDA. Sehingga mengakibatkan masyarakat bertani di daerah tersebut akhirnya harus meninggalkan tempat tersebut walaupun pada akhirnya masyarakat dapat masuk kembali ke dalam lahan mereka untuk melakukan pertanian dengan kerjasama bersama BKSDA.
Dari kejeadian dibeberapa daerah tersebut, point penting yang dapat dianalisa adalah bagaimana terjadi bentuk perampasan hak atas tanah bagi masyarakat,dan berujung pada akumulasi capital. Konflik tersebut juga ditanggapi beragam oleh masyarakat. Mulai dari lahirnya kelompok-kelompok yang memperjuangkan hak tersebut, muncul juga oknum-oknum yang menggunakan momentum tersebut untuk kepentingan pribadi, hingga masyarakat yang akhirnya ikut merendahkan kelompok-kelompok yang memilih untuk bertahan dan memperjuangkan haknya.
Meski demikian, tidak menutup kemungkinan terdapat cara pandang pesimis yang lahir ditengah masyarakat, karena terlalu banyak kelompok yang hadir dan mencoba menyelesaikan permasalahan namun tidak tuntas serta tidak menyelesaikan permasalahan secara substansial, sehingga mengakibatkan adanya masyarakat yang merasa bahwa diri mereka diperalat atas suatu proyek-proyek tertentu.
Jika ditelisik menggunakan kacamata hukum, maka dapat dilihat bahwa hukum belum mampu memberikan perlindungan bagi masyarakat secara menyeluruh, karena secara nilai yang diterjemahkan melalui cita-cita bangsa belum mampu dirasakan oleh petani yang harus berhadapan dengan perusahaan, keadilan sosial masih menjadi nilai yang terpajang pada etalase Negara, hanya diperdebatkan pada ruang-ruang yang notabennya akademis, namun tidak dapat dirasakan oleh buruh yang kehilangan pekerjaan dan ruang hidupnya.
Hukum seharusnya mampu menjadi jawaban atas permasalahan di masyarakat. Hukum yang harusnya untuk masyarakat, bukan masyarakat untuk hukum. Paradigma ini menurut hemat penulis menjadi paradigma yang harusnya dimiliki oleh pemerintah serta berbagai institusi yang menggodok produk-produk hukum, karena hukum tidak lahir dalam ruang yang hampa, namun pasti lahir dalam pergesekan politik, maka penting untuk melibatkan partisipasi masyarakat dalam melahirkan produk hukum tersebut.