Kutai Blau, adalah sebuah desa terpencil di pingiran hutan yang disisinya mengalir sungai jernih dan digunakan penduduknya untuk minum, mandi, dan keperluan lainnya. Kutai Blau, yang di melayukan dengan penyebutan Kota Baru, secara adminsitratif menjadi Desa definitif hasil pemekaran dari desa induknya, Desa Embong Uram. Sadei Embong atau Kutai Embong ini berada di kaki Bukit Segurap yang terbentuk secara alami karena endapan tanah dari gerusan gunung.
Aliran sungai mengalir dari puncak perbukitan melalui sela-sela bebatuan pegunungan. Meskipun jernih, sungainya mengandung banyak penyakit. Perkampungan yang di lewati sungai ini terbentuk secara alami karena perubahan arus sungai Uram, berpenduduk kurang lebih tujuh ratusan orang. Penduduk membangun dan menepati rumah kayu yang dibuat berjejer, berjarak dan memanjang sepanjang aliran sungai yang memanjang dari Utara
ke Selatan.
Sebagai perkampungan yang teguh memegang adat dan percaya pada arwah leluhur serta percaya pada kekuatan adikodrati. Penduduk kampung sejak kecil diajarkan dan di ceritakan tentang roh, tentang sesuatu yang gaib, tentang hantu, arwah leluhur, tentang tempat yang dipercayai mempunyai tuah atau karomah. Mereka menyebutnya keramat. Boleh jadi, memperkenalkan terus menerus kepercayaan terhadap yang gaib-gaib, perlahan tetapi pasti membentuk sistem berpikir warga kampung.
Cerita-cerita gaib lahir dari perkembangan sistem berpikir orang penduduk kampung, cara berpikir dari gerak alam yang hidup disebabkan oleh adanya jiwa yang ada di belakang gejala alam. Karena memang berkaitan dengan pola hidup dan lingkungan. Dan terus menerus di hadirkan dalam sistem kejiwaan dan pengetahuan faktual penduduk kampung. Perlahan-lahan membuat kepercayaan gaib di terima sebagai bagian yang logis. Jadilah gaib yang masuk akal. Penyesuaian dilakukan dengan peleburan sifat asli yang dimiliki dengan sifat lingkungan sekitar. Serta menggabungkan informasi baru kedalam pengetahuan gaib.
Begitulah perkampungan ini. Bukan karena warga kampung tidak logis cara berpikirnya, namun lebih karena mereka tidak mempedulikan keadaan lingkungannya, sebab mereka hidup dalam sebuah pesona. Pesona ini datang dari sebuah rumah di ujung gang jalan kampung disebelah Utara. Rumah berdinding dan beratap bilah-bilah kayu berwarna hijau. Rumah ini milik Ninik Alinudin. Orang kampung menyematkan sebutan Alim Ulama sekaligus cerdik pandai. Dia hanya tinggal berdua dirumahnya yang bersahaja dan sederhana dengan istrinya.
Dia adalah seorang yang mengundurkan diri setelah sekian lama menjadi imam dari sebuah masjid desa. Umurnya sekitar tujuh pulah enam tahunan. Tidak ada yang tahu pasti umurnya. Jika ditanya berapa umurnya. Dia hanya menjawab, dia lahir ketika sungai meluap dan banjir bandang. Begitulah orang di kampung ini menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan waktu, selalu mengacu pada kejadian-kejadian penting yang pernah terjadi dan dialami oleh warga kampung.
Ninik Alinudin tidaklah tinggi pendidikannya, tetapi bisa membaca dan menulis. Dia punya kemampuan untuk mengarang cerita di luar kepala. Satu bulan bisa dua cerita yang di karangnya. Rumahnya lah yang menjadi pesona di kampung ini. Ninik Alinudin tidak memiliki harta benda. Yang dimilikinya hanya sebatang sapu lidi untuk membersihkan rumahnya.
Dia menghabiskan separuh hidupnya di rumah ini. Dia jarang berkunjung ke warga kampung, kecuali jika ada hal-hal yang sangat penting yang terjadi. Sebab warga kampunglah yang selalu mengunjunginya. Hampir sepanjang hari orang-orang menemani Ninik Alinudin yang selalu duduk bersila di teras rumahnya. Jika dia berkenan, Ninik Alinudin akan menghibur orang itu dengan cerita anekdot dan kisah pengalaman hidupnya. Jika tidak, dia akan berkata dengan orang-orang dengan pandangan masam,
“Kamu kira aku ini apa? Jangan salahkan aku jika siang ini aku tidak punya cerita buatmu. Tanpa bermeditasi bagaimana mungkin arwah leluhur akan memberiku cerita? Kamu kira ceritaku itu melayang begitu saja di udara?”
Penduduk kampung sebagian besar adalah penganut Islam yang taat, sebagian mencampurkan ajaran Islam dengan adat istiadat. Tetapi, setiap Jum’at penduduk kampung bersembahyang menuju masjid desa yang dulunya Ninik Alinudin menjadi Imamnya. Pada malam hari jika dia ingin menceritakan sebuah dongeng, dia akan menyalakan lampu kecil dan menaruhnya di atas meja di teras rumahnya. Penduduk kampung yang pulang dari kebun dan sawah menjelang senja hari akan segera bergegas menunju rumah Ninik Alinudin di ujung gang.
Dia selalu membuka ceritanya dengan sebuah pertanyaan sambil mengangkat jarinya ke depan. Lalu, Dia bertanya “Seribu tahun lampau, sebuah batu terlempar ke arah ini, kamu pikir ada apa di sana? Dulu, kampung ini berdiri setelah Sungai menyapu bersih penduduknya, kemudian orang-orang membangun kembali perkampungan ini.” Setelah pembukaan cerita, dia akan terus bercerita sampai empat jam tanpa berhenti.
Dia bercerita tentang istana para leluhur, tentang musik, tentang perang, tentang menteri-menteri, tentang dayang-dayang. Dia menggambarkan dengan rinci setiap ceritanya, kisah ceritanya seperti sebuah epic. Ceritanya selalu saja sama dengan alur yang dikarang sesukanya. Ketika rembulan telah berlindung di balik pepohonan di hutan. Ninik Alinudin berkata “Kini kawan-kawan, arwah leluhur berkata bahwa kisah hari ini cukup sampai disini?” Dia lalu bangkit pergi, membaringkan diri dan jatuh tertidur sebelum gumaman kerumunan para pendengar berhenti.
Cahaya di sele-sela pepohonan akan terlihat lagi dua atau tiga hari kemudian. Raja-raja dan para pahlawan, hantu, peri dan arwah jelmaan leluhur dan dewa berwujud manusia, orang-orang suci dan para pembunuh bermunculan di dalam dunia mereka di bawah naungan pepohonan. Suara Ninik Alinudin bergema dalam sebuah ritme, sinar rembulan yang temaram melengkapai suasana bernuasa magis. Para penduduk tertawa dan menangis bersama Ninik Alinudin, mereka memuja para pahlawan dan mengutuk para penjahat. Berseru ketika para jagoan menang dalam pertarungan dan memanjatkan syukur pada arwah leluhur untuk akhir yang bahagia. Ninik Alinudin sebuah keajaiban, mengutip kata-kata bijaknya di jadikan coretan di dinding rumah-rumah dan menghidupkannya dalam kedudukan yang tinggi dalam hidup mereka.
Dan hal ini berlangsung bertahun-tahun. Pada suatu ketika, Ninik Alinudin kembali menyalakan lampu di teras rumahnya. Para pendengar berdatangan. Ninik Alinudian mengambil tempat dan mulai bercerita.
“Ketika Raja yang suka tersenyum….” dia berhenti bercerita. Diulanginya membuat permulaan yang baru.
“Ada seorang raja…,” katanya, mengulang, lalu kata-katanya melayang dalam sebuah gumaman.
“Apa yang terjadi padaku?” dia bertanya dengan sedih.
“Arwah leluhur mengapa aku jadi terbata-bata begini? Aku baru saja menyusunnya, aku tidak mengerti apa yang telah terjadi.” Dia membisu dan begitu tampak menyedihkan hingga para pendengar berkata, “Istirahatlah. Mungkin anda letih.”
“Diam!” katanya.
“Aku letih? Tunggu sebentar, aku akan segera bercerita.” Dia lalu diam. Wajah-wajah penuh harap menatap padanya.
“Jangan memandangku!” ledaknya. Seseorang memberinya secawan kopi dan sebungkus rokok. Para pendengar menunggu dengan sabar. Ini adalah sebuah hal baru. Beberapa orang menyatakan simpati. Yang lainnya mulai mengobrol dengan yang lainnya. Mereka yang ada di ujung kerumunan diam-diam pergi. Makin mendekat tengah malam, Ninik Alinudin duduk tertunduk, pikirannya di penuhi pikiran yang berkecamuk. Untuk pertama kalinya dia menyadari dirinya telah menua dan mulai merasa pikun. Dia melihat kedepan semua orang telah pergi kecuali kawannya, Kamedan, si tukang batu. “Kamedan kenapa kamu tidak pergi?”
“Mereka tidak ingin membuatmu letih, jadi mereka pulang.” Kata Kamedan meminta maaf atas yang lainnya dengan nada menghibur.
Dia kembali menyalakan lampu lagi keeseokan harinya. Kerumunan kembali berkumpul. Ninik Alinudin telah bermeditasi seharian meminta arwah leluhur tidak mengecewakannya. Dia mulai bercerita dan mendongeng. Ternyata dia mampu bercerita selama satu jam tanpa berhenti. Dia merasa amat senang, sehingga dia menyelingi ceritanya dengan kalimat. “Oh, kawan, arwah leluhur selalu berbaik hati pada kita. Aku tadinya begitu tahu…” lalu dia melanjutkan ceritanya. Beberapa menit kemudian dia merasa kehabisan cerita. Dia berjuang keras.
“Dan kemudian… kemudian…. apa yang terjadi?” dia berguman. Dia berhenti hampir setengah jam. Para pendengarpun bangkit tanpa suara dan pulang ke rumah masing-masing.
Dua hari kemudian dia menyalakan lampu, melanjutkan ceritanya dan lagi-lagi hanya bertahan beberapa menit. Para pendengar bubar. Banyak orang-orang mulai tidak peduli lagi dengan lampu yang menyala diteras rumah Ninik Alinudin. Ninik Alinudin sadar bahwa tak ada gunanya dia berjuang. Dia mengakhiri ceritanya sebelum benar-benar selesai. Dia tahu apa yang terjadi. Dirinya terlalu dihantui perasaan takut gagal. Aku akan lebih bahagia jika mati beberapa tahun silam, batinnya. Leluhur, mengapa kalian biarkan aku menjadi tolol begini? Dia mengurung diri, mengurangi makan dan menghabiskan nyaris sepanjang harinya dengan duduk mematung bermeditasi.
Ketika rembulan kembali mengintip dari celah pepohonan, Ninik Alinudin menyalakan lampu. Para penduduk melihatnya ketika mereka pulang menjelang senja hari, namun hanya segelintir yang datang pada malam harinya.
“Mana yang lain?” Tanya Ninik Alinudin.
“Mari kita tunggu” dia menunggu. Rembulan telah muncul. Segelintir hadirin menunggu dengan sabar. Lalu Ninik Alinudin berkata. “Aku tidak akan bercerita, tidak juga besok kalau seluruh penduduk desa tidak datang kemari. Aku bersungguh-sungguh ini kisah yang dasyat, semua orang harus mendengarkannya.”
Keesok harinya dia keliling desa berteriak meminta orang-orang berkumpul. Malam hari penduduk kembali berkumpul, duduk, diam dan hening. Ninik Alinudin memulai ceritanya, “Adalah Leluhur yang memberikan anugerah, dan dialah yang mengabilnya kembali. Ninik Alinudin hanyalah perantara. Dia berbicara apabila leluhur mempunyai sesuatu yang harus di ceritakan. Dia membisu jika tidak ada yang perlu dikatakan. Akan tetapi apalah artinya sekuntum melati jika telah kehilangan keharumannya? Buat apa sebuah lampu jika minyaknya telah habis? Inilah kata-kata terakhirku di dunia ini, dan inilah kisah terbesarku?” Dia bangkit dan masuk kedalam rumahnya. Para pendengar tidak sepenuhnya mengerti apa yang dimaksud. Sebagian dari mereka tetap duduk di sana hingga lelah.
Bersambung..