Malam besoknya Ninik Alinudin duduk dengan mata terpejam di teras depan lampu yang menyala redup tanda kehabisan minyak. “Tidakkah anda akan menceritakan sebuah kisah kepada kami?” tanya mereka. Ninik Alinudin membuka mata dan menatap mereka, lalu mengelengkan kepala dan mengempalkan tangganya. Dia memberi tanda dengan bahasa tubuhnya bahwa dia telah mengucapkan kata terakhir sebagai pendogeng. Ninik Alinudin ingin manjadi pejuang. Ingin menjadi bagian yang nantinya akan di cerikan oleh pendongeng.

Saya mendengar sayup kabar tentang Ninik Alinudin yang pendongeng jadi pejuang. Setelah lima jam perjalanan, saya sudah berdiri di depan gang sempit menuju rumah Ninik Alinudin. Tidaklah sulit untuk menemukan rumahnya, orang-orang tahu dengannya. Orang-orang di kampungnya tahu Ninik Alinudin keturunan asli dari keluarga Dalman. Salah seorang pendiri kampung yang selalu di tunggu-tunggu cerita dongengnya.

Sampai di teras rumah yang lebar. Tidak ada lagi lampu yang sering dia nyalakan. Setelah sepatu saya buka, ada aura yang sangat kuat. Serasa ada lengan semu menepuk pundak, seperti sesuatu yang mau memberi tahu jumlah orang-orang kalah semakin membengkak saja dari hari ke hari. Dan jumlah itu semakin tidak terkirahkan lagi ketika kita mengetahui bahwa orang-orang yang mengalahpun, bahwa orang-orang yang memperoleh kemenangan atas orang lainpun sesungguhnya adalah orang-orang kalah.

Saya duduk bersila di atas tikar di ruang tamu rumahnya. Ninik Alinudin keluar dari balik tirai yang menutupi pintu kamarnya. Tubuhnya kecil, tetapi lincah dengan mengunakan peci berenda berwarna kuning, baju batik dan sarung berwarna hitam. Kami duduk berhadap-hadapan. Saya jelaskan saya datang dari ibu kota Provinsi, dan beberapa kali mendengar cerita tantang Ninik Alinudin.
“Sang pendongeng yang jadi pejuang,” kata saya disambut senyum ramah dari Ninik Alinudin. Saya merasakan aura wibawa yang dipancarkan oleh wajah dan tatapannya.
“Kalau ikan gabus lapar, anaknyalah yang akan dimakan, beda gabus, beda pula ikan Mujahir. Kalau ada ancaman anaknya dimasukan ke dalam mulutnya dan setelah kondisi aman barulah anaknya dikeluarkan,” Katanya. Kali ini tidak seperti sedang mendongeng, nada suara dan pilihan kata-katanya seperti orang yang sedang membangkitkan kemarahan.

Dia menganalogikan Negara dengan ikan gabus dan ikan mujahir, untuk menjelaskan masalah yang sedang di alami oleh warga kampungnya. hak masyarakat adat. katanya “Negara seperti ikan gabus”. Lalu dia menjelaskan kondisi yang dialaminya maupun yang menimpa warga lain di kampungnya. Kondisi orang-orang kalah dan dikalahkan semakin membengkak saja dari hari ke hari
“Leluhur kami hidup disini dengan sistem adat Pegong pakei” Sambung Ninik Alinudin yang pada masa mudanya pernah menjadi juru tulis Pesirah, pimpinan Marga Suku IX.
“Kutai Blau bagian dari Dusun Embong Uram didirikan pada zaman Rajo Lilo dan menurut silsilahnya Rajo Lilo merupakan anak keturunan Ki Karang Nio keturunan dari Bikau Sepanjang Jiwo dan Ajai Begelan Mato” Ninik Alinudin mulai membuka obrolan kami setelah kami duduk di lantai yang hanya dilapisi tikar anyaman berwarna merah dan bercorak kotak-kotak di ruang tamu rumahnya.

“Dusun Embong Uram pertama kali dipimpin oleh H. Abdullah” Dusun yang dimaksud oleh Ninik Alinudin adalah Dusun modern, menurutnya H. Abdulah menjadi pimpinan Dusun ketika zaman Kolonial Belanda. Dan saat ini, jika dihitung maka Kepala Desa yang sekarang di jabat oleh Naharudin adalah pimpinan yang ke delapan. Dusun Embong Uram berasal dari kata Embong dan Uram.
“Embong artinya dikelilingi atau Genlung dalam bahasa Rejang, dan Uram itu aslinya U’em atau Curam,” Penjelesan Ninik Alinudin tidak seperti mendongeng. Saya mulai merasakan semangat yang kuat dalam setiap kata-kata yang dipiihnya.

Benar saja perkampungannya dikelilingi oleh aliran Sungai Uram atau U’em. Alirannya bening dan berarus deras mengalir tidak jauh dari kediaman Ninik Alinudin. Suara jeram arus menarung batu-batu yang mencuat angkuh memicu hatiku seakan terbuka untuk memahami sebuah makna. Makna perjalanan hidup Ninik Alinudin. Rahasia sungai adalah rahasia perjalanan hidupnya. Arus dan sungai akan tetap berada seperti dahulu, senantiasa disana, arusnya seperti merindukan sesuatu dalam perjalanannya, namun justru dalam kerinduannya itu ia menjadi selalu baru. Ninik Alinudin setia mendengar gemericik aliran sungai, aliran kedamaian ketika musim kemarau dan aliran kemarahan ketika musim penghujan.
Sebelah Utara dan Timur kampungnya menjulang pepohonan meyelangkupi bukit-bukit cadas.  Satu persatu mereka sebut hutan Reges, Tebo Pudau, Segurap dan Tebing Panjang. “Untuk sampai ke puncak gunung atau Tebo pada tempat tertentu sering dengkul kita ketemu dengan dagu, karena curamnya lereng-lereng pegunungan” Kata Ninik Alinudin.

“Di Hulu Air Palik,” dia terdiam untuk beberapa lama. Hulu Air baginya merupan lokasi yang di sakralkan dari sanalah sumber mata air mengalir. Sama di mata airnya, sama di muaranya, airnya tetap sama meski ia mengarugi air terjun, terjepit di sela-sela bukit dan pengunungan. Ia sama dalam amarahnya ketika mengamuk menjadi air bah. Sama seperti dalam keramahannya ketika bernyanyi menjadi sungai kecil.
“Di sanalah leluhur kami menghilang secara gaib”
“Demong Samin.” Suaranya gemetaran menyebut nama leluhurnya. Saya mulai merinding.
“Pahamkah kau sekarang dengan arti masa lalu dan masa depanmu. Kau tetap sama” dia membuka ceritanya dengan sebuah pertanyaan sambil mengangkat jarinya ke depan. Saya mengelus kepala bagian belakang lalu turun ke leher, merinding dan bulu roma mulai tegak mendengar intonasi yang sangat kuat yang keluar dari mulutnya.

“Tapi hendaklah kesamaamu selalu membuahkan kerinduan. Supaya hidupmu selalu baru. Kerinduan itulah yang membuatmu tak pernah muda, tak pernah tua,”

“Itulah hakekat waktu dan dalam waktu itulah hidupmu berada.” Dia mulai bijak seperti Ninik Alinudin yang pendongeng dan aku menikmati kata-katanya dan sengaja biarkan dia sendiri yang menjawab pertanyaannya.

Kata-katanya tentang waktu dan hidup mengingatkanku pada mimpi tahun lalu. Mimpi ketika aku berada di suatu tempat yang tidak mengenal kata-kata siang dan malam. Dalam mimpiku aku merasa mengengam bulan dan matahari. Gelap dan terang sekaligus. Tapi tiba-tiba mencuat sebuah cahaya, mengulung menjadi awan yang berarak gemerlap-gemerlap di iringi suara musik pada bidadari. Entah dari mana asalnya. Mimpi orang-orang kalah.
Aku ceritakan dengannya tentang mimpiku.
“Waktu yang meyediakan ruang kebahagian dan penderitaan sekaligus,” Jawabnya.
“Jangan terkejut, cahaya. Seperti dalam mimpimu itu adalah penunjuk dalam hatimu.” Di bersemangat.
“Maka jangan ikuti aku” Dia seperti meratapi hatinya yang mengalir kelemahan berupa penderitaan dan kesengsaraan.
“Ikuti hatimu.”

“Kebijaksanaan tersembunyi di dalam hatimu, sama seperti malam yang bersayap terang. Seperti kehidupan bersayapkan kematian.” Suatu kali dia hilang harapan. Dan duduk dengan mata terpejam di teras depan lampu yang menyala redup tanda kehabisan minyakketika itulah dia memberi tanda dengan bahasa tubuhnya bahwa dia telah mengucapkan kata terakhir sebagai pendogeng
“Kini buatlah hatimu menjadi keindahan,” Katanya menghibur.
“Karena keindahan itulah milik rahasiamu. Keindahan itu tak dapat kau pelajari lebih daripada kebenaran”
“Keindahan yang bagaimana?” Tanya saya.
“Keindahan itu adalah keseimbangan, keseimbangan antara kebahagian dan penderitaan, antara kegembiraan dan kedukaan. Antara harapan dan kenyataan,” kata-kata ini biasa dia sampaikan kepada penduduk yang berkerumunan di teras rumahnya. Mereka mengutip kata-kata bijaknya yang di jadikan coretan di dinding dan menghidupkannya dalam kedudukan yang tinggi dalam hidup mereka
“Dan justru dalam keseimbangan itulah kebahagian dan penderitaan lenyap, harapan dan kenyataan menghilang.”  Kata-katanya membujuk.
“Keindahan yang dibalut dengan cinta.” Jawab saya pura-pura mengerti.
“Seperti air sungai yang bisa hilang kesegarannya bila tiba di muara, tetapi cinta mereka hidup dari pagi sampai malam”
“Lihat dan dengarlah!” Kata saya mulai mengikuti alur berpikirnya.
“Maski telah berganti, tidak ada lagi Mesin kincir untuk menumbuk padi, tak ada lagi para gadis dan ibu-ibu mencuci beras dalam baki. Tetapi keindahan sungai ini sangup membuat dunia kembali kepada masa mudanya yang tak bercela.”
“Iya.”
“Karena cinta menuntun arusnya melewati jalan sempit, cinta juga menjerumuskan mereka ke dalam juruang-jurang dalam, tetapi cinta juga mengangkat mereka ke puncak gunung. Dan cinta juga menyeret mereka masuk ke dalam pondok yang hampir rubuh jika dilihat dari luar,”
“Begitulah,”
“Dalam cinta kebahagian dan penderitaan itu bersatu, lebur menjadi kehidupan,” Kata Ninik Alinudin.
Kami sama terdiam. Perbincangan pada perjumpaan pertama ini membuat saya mulai tahu. Ninik Alinudin percaya leluhurlah yang memberikan anugerah sekaligus mengabilnya kembali. Ninik Alinudin hanyalah perantara. Dia berbicara apabila leluhur mempunyai sesuatu yang harus di ceritakan. Dia membisu jika tidak ada yang perlu dikatakan. Akan tetapi apalah artinya sekuntum melati jika telah kehilangan keharumannya? Buat apa sebuah lampu jika minyaknya telah habis?
“Inilah kata-kata terakhirku dan inilah kisah terbesarku.?” Katanya seperti kehilangan harapan. Istrinya keluar dari pintu dari dapur. Wajah teduh yang menyimpan kedamaian terpancar dari garis-garis wajah yang keriput dan rambut yang beruban tertutup selendang.
Aroma kopi dan goreng ubi dari tampan alumanium bercorak garis-garis putih dan hijau yang mulai berkarat. Suara riak sungai dan hembusan angin dari bukit-bukit cadas, wajah bijak Ninik Alunudin dan garis-garis wajah ibu istrinya memicu ingatan masa lalu saya sebagai orang kampung.
Saya seperti memasuki realitas sejarah. Realitas yang berubah. Konsepsi kita terhadap sejarah haruslah bermula dan berdasar pada realita yang utuh. Seperti setiap makluk hidup adalah dirinya sendiri namun juga sesuatu yang lain dari dirinya. Seperti gerak alam yang hidup karena adanya jiwa yang ada di belakang gejala alam. Memahami sejarah kita tidak boleh memisahkan objek dan subjek, mengisolasi gerak dalam diam, memutuskan rangkaian sebab dan akibat, sejauh mana kita melihat realitas, sejauh itu pula konsepsi kita terbangun, ini substansi dari cerita singkat saya dengan Ninik Alunudin.

Gerimis mulai turun, gemuruh sungai dari dekat rumahnya menambah gemuruh di dalam dada.

Sumber Foto: Antara News