Dalam isu ‘perempuan dan sumber daya alam’, ada banyak sekali artikel, penelitian dan program pemberdayaan yang  menyebutkan peran perempuan, kontribusi perempuan dan penguatan perempuan terhadap tata kelola sumber daya alam. Namun, sebetulnya semua artikel, penelitian bahkan aktivitas pemberdayaan perempuan ini, berangkat dari kesadaran yang sama; yakni keyakinan bahwa memang selama ini perempuan memiliki relasi yang sangat kuat dan sangat penting terhadap sumber daya alam, khususnya perempuan di pedesaan. Sehingga tesis awal yang selalu berupaya untuk mendorong peran, keterlibatan dan kontribusi perempuan terhadap sumber daya alam cenderung mengabaikan eksistensi dan relasi perempuan yang selama ini secara natural telah terbentuk dari kerja-kerja produksi dan reproduksi perempuan terhadap sumber daya alamnya. Selain itu, tesis-tesis tersebut kemudian juga cenderung melihat perempuan dan sumber daya alam secara distingtif; sumber daya alam dilihat sebagai sesuatu yang harus diraih. Padahal perempuan adalah agensi utama dalam pengelolaan dan pelestarian sumber daya alam. 

Masalah yang kami lihat dari isu ‘perempuan dan sumber daya alam’ bukanlah berasal dari diri perempuan (perempuan sebagai subjek), tetapi dari kebijakan/aturan, pasar, legitimasi dan pemaksaan atau yang disebut oleh Tania Li, dkk dengan Kuasa Eksklusi. 4 kuasa eksklusi ini merupakan proses-proses kunci terjadinya pergeseran-pergeseran hubungan antara perempuan dan sumber daya alam seperti klaim kawasan hutan oleh pemerintah sebagai kawasan hutan milik negara yang menyebabkan terjadinya pencegahan akses. Dan demam komoditas (boom crop’s) yang memaksa perempuan untuk memproduksi dan mereproduksi aset pasar, termasuk alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan industri.

Cerita atau aspirasi yang kami dengar dan kumpulkan dari beberapa simpul-simpul gerakan perempuan yang berakar di pedesaan menyatakan bahwa akhir dari segala bentuk penindasan dan diskriminasi terhadap perempuan hanya dapat bergantung pada kemampuan perempuan tersebut untuk bertahan. Dan kemampuan tersebut dapat berupa; siasat atau strategi livelihood, dana ketahanan rumah tangga dan kelompok, akses-akses yang minimal untuk dapat mengelola sumber daya alamnya serta strategi untuk mempertahankan lahan, baik melalui klaim adat maupun klaim politik identitas. 

Berangkat dari ragam kemampuan inilah perhelatan ingin kami selenggarakan. Bahwa saat ini, satu-satunya upaya yang dapat dilakukan oleh komunitas perempuan adalah  mempererat solidaritas antar komunitas dengan berbagi praktik baik pengelolaan sumber daya alam yang lebih berkelanjutan dan inklusif untuk keadilan perempuan. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah menyerukan agenda dan tuntutan perempuan kepada pemerintah agar menjadi syarat dalam merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan terkait perempuan dan sumber daya alam.

Berdasarkan hasil Konferensi Perempuan Berbagi yang diselenggarakan di Grand Cemara Hotel dan Galeri 6 Cemara Jakarta, Indonesia pada tanggal 28-29 Februari 2024, yang terdiri dari 40 orang perempuan perwakilan komunitas adat, komunitas lokal dan 12 NGO se-Indonesia, merumuskan agenda dan tuntutan perempuan untuk disuarakan, direkomendasikan dan ditindaklanjuti oleh Pemerintah Republik Indonesia.

Kami perempuan adat di Indonesia

Kami para ibu,

Kami perempuan petani,

Kami perempuan nelayan

Kami perempuan pekerja,

Kami perempuan pejuang keadilan,

Kami perempuan pejuang hak atas Sumber Daya Alam

Kami perempuan pejuang lingkungan hidup,

Kami yang berdiri di bawah bayang-bayang ketidakhadiran pemerintah,

Kami para pihak yang mendukung gerakan solidaritas,

Kami bersatu.

Tuntukan kami adalah, sebagai berikut : 

  1. Hentikan kriminalisasi, intimidasi dan diskriminasi bagi semua perempuan pejuang keadilan 
  2. Hentikan seluruh aktivitas Industri Ekstraktif yang merugikan perempuan, merusak ruang hidup (alam) dan menghancurkan sumber penghidupan dan kehidupan perempuan adat dan lokal
  3. Kembalikan hak perempuan adat dan lokal atas sumber daya alamnya
  4. Kembalikan akses perempuan adat dan lokal dalam mengelola Sumber Daya Alamnya
  5. Mendesak pemerintah untuk merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan terkait tata kelola sumber daya alam yang berkeadilan, berkelanjutan dan berdasarkan UU No. 7 Tahun 1984 (CEDAW) dan Konvensi 167 tentang Masyarakat Adat 
  6. Mendesak pemerintah untuk melibatkan perempuan dalam setiap proses pengambilan keputusan terkait tata kelola sumber daya alam
  7. Meminta Komnas Perempuan dan Komnas HAM untuk menjadikan tuntutan dan agenda perempuan di atas sebagai mandat kepada pemerintah