Pagi itu, 27 Mei 2025 ruang pertemuan hotel Amaris dipenuhi tatapan antusias. Meja leter U tersusun rapi, dipenuhi petani hutan dan petani perempuan dari Kabupaten Lebong, Rejang Lebong, Kepahiang dan Mukomuko yang haus akan pemahaman baru. Di hadapan mereka, saya berdiri, bukan sebagai akademisi, melainkan seorang praktisi yang mencoba merajut teori dan realitas. Tema saya kali ini adalah teori hak menurut Ian Shapiro, sebuah konsep yang bagi sebagian orang mungkin terdengar abstrak, namun bagi saya adalah kunci untuk membongkar fondasi ketidakadilan dalam praktik hukum sehari-hari.

Saya memulai dengan sebuah pertanyaan retoris: “Apa itu hak? Apakah ia sesuatu yang inheren, ataukah konstruksi yang bisa diperdebatkan?” Hening sejenak, lalu saya tersenyum. “Dalam pelatihan hukum kritis ini, kita tidak akan berhenti pada definisi baku. Kita akan membongkar, menguji, dan bahkan meragukan.”

Saya memproyeksikan sebuah kutipan sederhana di layar: “Rights are not simply given; they are fought for and negotiated in specific contexts.” Itulah esensi pemikiran Shapiro. Saya menjelaskan, berbeda dengan pandangan hak yang absolut atau universal, Shapiro melihat hak sebagai hasil dari pertarungan politik dan sosial. Hak bukan sekadar daftar yang dijatuhkan dari langit, melainkan sebuah klaim yang diperjuangkan, dikonstruksi, dan terus-menerus dinegosiasikan dalam arena kekuasaan.

Untuk membuat konsep ini lebih nyata, saya mengajak peserta merenungkan kasus-kasus konflik agraria yang baru saja kita bahas. “Bayangkan masyarakat adat yang kehilangan tanahnya. Mereka punya ‘hak’ atas tanah adat secara historis, secara budaya. Tapi mengapa hak itu seringkali kalah di hadapan izin tambang atau perkebunan besar?”

Hak masyarakat hukum adat atas tanah ini, saya jelaskan, bukan sekadar urusan legalistik semata, melainkan fondasi eksistensi mereka. Tanah adalah bagian tak terpisahkan dari identitas, spiritualitas, mata pencarian, dan sistem sosial-budaya mereka. Shapiro mendorong kita untuk melihat bagaimana hak yang fundamental ini, yang secara konstitusional diakui, seringkali berhadapan dengan kekuatan ekonomi dan politik yang lebih besar, mengubah klaim hak menjadi sebuah medan perang di mana narasi hukum formal (seringkali demi investasi atau pembangunan) mendominasi dan mengabaikan narasi hak adat yang lebih otentik dan historis.

Saya menekankan bahwa Shapiro mengajarkan kita untuk melihat hak sebagai instrumen, bukan hanya tujuan. Hak adalah alat yang digunakan oleh berbagai actor negara, korporasi, komunitas, individu untuk memajukan kepentingan mereka. Dan di sinilah titik kritisnya: siapa yang memiliki kekuatan untuk mendefinisikan, menegakkan, atau bahkan meniadakan suatu hak?

“Ketika Ian Shapiro berbicara tentang ‘kontes politik’ hak,” saya melanjutkan, “ia mengajak kita untuk melihat melampaui teks undang-undang. Kita harus menganalisis proses di mana hak itu diakui atau ditolak. Siapa saja yang terlibat? Kepentingan apa yang bermain? Kekuatan apa yang dominan?”

Saya memberikan contoh konkret. Bagaimana hak atas lingkungan yang bersih, yang seharusnya menjadi hak asasi manusia, seringkali tergerus oleh izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang ‘diatur’? Bagaimana hak atas pekerjaan yang layak, dalam praktiknya, bisa direduksi menjadi upah minimum yang tak manusiawi? Semua ini adalah arena pertarungan di mana hak-hak dipertanyakan dan dibentuk.

Diskusi kemudian memanas. Seorang peserta dari Kabupaten Lebong mengangkat tangan. “Jadi, menurut Shapiro, hak itu tidak punya substansi intrinsik? Kalau begitu, apa gunanya kita memperjuangkan hak-hak dasar?”

Pertanyaan yang bagus. Saya menjelaskan bahwa Shapiro tidak menafikan pentingnya hak-hak fundamental. Justru sebaliknya, ia ingin kita memahami bahwa hak-hak tersebut tidak akan terwujud hanya dengan mendeklarasikannya. Mereka harus diperjuangkan secara gigih, didukung oleh mobilisasi sosial, dan ditegakkan melalui institusi yang akuntabel.

“Intinya,” saya menyimpulkan, “Shapiro memaksa kita untuk menjadi pragmatis. Hak bukan tentang apa yang idealnya harus ada, melainkan tentang apa yang bisa dicapai dan dipertahankan dalam lanskap kekuasaan yang ada. Tugas kita kemudian adalah memahami dinamika ini, mencari celah, dan memperkuat posisi mereka yang terpinggirkan agar klaim hak-hak mereka dapat diakui dan ditegakkan.”

Pelatihan berlanjut dengan sesi kelompok dan studi kasus, di mana peserta mencoba menerapkan lensa Shapiro pada persoalan hukum yang mereka hadapi. Saya melihat percikan di mata mereka, pemahaman yang lebih dalam, keberanian untuk mempertanyakan, dan strategi baru untuk perjuangan keadilan.

Meninggalkan aula sore itu, saya merasa puas. Bukan hanya karena telah menyampaikan materi, tetapi karena telah menanamkan benih pemikiran kritis. Teori Ian Shapiro, yang saya bawakan, bukan hanya sekadar gagasan filosofis, melainkan sebuah peta jalan bagi para pejuang keadilan untuk menavigasi kompleksitas pertarungan hak di dunia nyata. Dan dalam pelatihan hukum kritis ini, saya menyaksikan para pejuang itu semakin mengasah senjata intelektual mereka.