“PROLOG”

Anjangsana/Kunjungan mitra yang diselenggarakan oleh yayasan pesisir lestari (YPL) merupakan salah satu bentuk kegiatan tukar pengalaman dan belajar bersama antara unsur pemerintah Desa, mitra pendamping dan masyarakat Dampingan nelayan gurita. Kegiatan ini bermaksud untuk melihat situasi dan kondisi sosial, aktivitas nelayan dan wilayah Desa atau lokasi daerah kunjungan serta kebijakan-kebijakan Desa atau komunitas yang sudah ditetapkan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara lokal, khususnya pada nelayan gurita dengan tujuan untuk melihat proses dan belajar dari pengalaman mereka sehingga nantinya beberapa hal akan di adopsi di daerah Bengkulu (Desa Merpas dan Desa Linau).

kegiatan khusus kunjungan Mitra ini dilakukan antara lembaga mitra baru yang bergabung dengan YPL ke daerah dampingan mitra lama yang sudah berhasil, dengan pelaksanaan program sudah berjalan antara 2-3 tahun.

Akar Foundation merupakan salah satu lembaga mitra YPL yang selama ini bergerak di isu lingkungan dan fokus pada pengorganisiran masyarakat yang beririsan dengan kawasan hutan, konflik dengan perusahaan dan pengembangan ekonomi kreatif masyarakat dampingan.

Hampir dua dekade Akar Foundation bergelut dengan isu advokasi kebijakan dan memastikan kedaulatan hak-hak masyarakat lokal/adat yang lokasinya di daerah pegunungan. Dengan capaian-capaian program dan konsep pendampingan yang efektif serta efisien menjadikan Lembaga Akar Foundation ikut serta berkoalisi sebagai Lembaga Mitra Yayasan Pesisir Lestari dan sangat membutuhkan pembelajaran dengan lembaga mitra lainnya pada isu kelautan dan pesisir.

Kegiatan anjangsana/kunjungan mitra di lakukan selama tiga hari, dari tanggal 26-28 maret 2021. Namun karena lokasi daerah yang akan dikunjungi memerlukan waktu dua hari perjalanan, maka total perjalanan dan kegiatan tersebut berlangsung sejak tanggal 24-30 maret 2021.

Adapun Peserta yang terlibat dalam Anjangsana Mitra dari Bengkulu sendiri terdiri dari dua orang staf lembaga Akar Foundation dan lima orang masyarakat dampingan. Mereka adalah Sekretaris Desa Merpas, nelayan jerigen, nelayan gurita biasa (nelayan perahu), enumorator dan Cingkau/suplayer (pengepul) ikan desa merpas.

Dalam Anjangsana Mitra ini, Lokasi yang di kunjungi adalah Desa Bone Baru, Desa popisi yang berada di Kecamatan Banggai Utara Kabupaten Banggai Laut. Dalam perjalanan ini, peserta kunjungan juga diberi waktu untuk mengunjungi pabrik pengolahan ikan dan lokasi pengepul gurita di ibu kota Kabupaten Banggai Laut yang jaraknya sekitar 25 menit dari Desa Bone Baru.

“ PERJALANAN”

Perjalanan pertama dimulai sejak tanggal 24 maret 2021. 7 orang peserta kunjungan menuju Lokasi di Kabupaten Banggai Laut. Beberapa peserta sudah melakukan googling untuk mengetahui secara singkat gambaran lokasi kunjungan yang letaknya di Timur Indonesia. Rasa penasaran dan semangat pun menjadi kunci dari kegiatan tersebut. Paginya, sebelum berangkat semua peserta melakukan Rapidtest antigen sebagai salah satu syarat setiap orang yang akan melakukan perjalanan ke luar daerah apalagi untuk yang melalui jalur udara.

Salah satu perempuan dalam peserta bernama Ibu Miharni, yang dalam kesehariannya berprofesi sebagai cingkau atau pengepul Ikan di Desa Merpas sempat bercerita pada saat turbulensi   di udara bahwa ini kali pertamanya menaiki pesawat untuk perjalanan jauh. Dia sempat merasa cemas akan perjalanan pertama dalam hidupnya ini di tambah lagi setelah dia ternyata masih merasa parno dengan berita mengenai kecelakaan yang merenggut banyak nyawa  tersebut. Kami pun berusaha menghilangkan rasa cemasnya tersebut agar bu Miharni dapat lebih menikmati perjalanan perdana nya kali ini.

Selain menghadapi pengalaman menarik pertama kalinya Bu Miharni, muncul lah pembahasan lain. Proses Rapid-test juga menjadi persoalan bagi peserta yang bernama Taslim Bukhari atau sering di sapa Bob. Inisiator Nelayan jerigen ini merasa keberatan dengan berbagai kebijakan perjalanan berdasarkan aturan pemerintah yang menurut Bob kadang tidak masuk akal. Ditambah lagi, hal ini tidak lah gratis. Meskipun di fasilitasi oleh YPL selaku penyelenggara, dia tetap menatap hal itu sebagai ladang bisnis dari berbagai oknum.

Setelah melewati momen pengambilan lendir yang mesti mengorek lobang hidung untuk memastikan bahwa kami aman dari infeksi Virus Corona, Pak Bob dengan cucuran air mata efek dari jamahan alat berbentuk cotton but itu keluar masuk pintu klinik dengan gerak-gerik cemas yang tak sabar menanti hasil pemeriksaan serta rasa tidak sabar untuk menghisap rokok Sampoerna dari saku kemejanya. Tak lama setelah itu, akhirnya hasil test keluar dan menandakan semua peserta dapat melanjutkan perjalanan ba’da Zuhur dengan pesawat dan awak kabin  yang suka berpantun berjalan dengan aman.

Bermalam  di Jakarta

Saat tiba di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, rombongan kami disambut hangat oleh  Bapak Erwin selaku perwakilan dari YPL. Tidak menunggu lama, seolah memahami rasa letih kami, Erwin menelpon dan meminta jemputan kepada salah satu angkutan hotel tempat kami bermalam yang letaknya di sekitaran bandara tersebut. Setelah dihotel kami di fasilitasi satu kamar perorang. Erwin juga berpesan bahwa setelah mandi kami akan di ajak untuk makan malam.

Saat menyantap makan malam, Bapak Helda salah satu peserta yang merupakan Sekretaris Desa Merpas, menghubungi kakak kandungnya yang sudah lama bekerja di Jakarta dengan maksud meminta jemputan untuk pergi jalan-jalan. Karena harus menunggu, Bob lebih memilih utuk menunggu sambil bersantai dikamar hotel yang letaknya lumayan jauh dari lobi.

Namun disinilah masalah baru dimulai. Setelah keluarga Bapak Helda datang, kami yang lupa nomor kamar Bob kesulitan menghubunginya. Apa lagi Bob pergi tanpa membawa ponsel karena dirumah hanya ada satu posel genggam dan itupun dipakai oleh istrinya. Mau tak mau, kami akhirnya mengambil keputusan untuk pergi tanpa Bob.

Sekitar jam 23.00 Wib kami kembali ketempat penginapan. Terlihat Bob sudah menanti di sofa dekat lobi dengan wajah murung karena dia menganggap kami tidak mau mengajaknya. Perdebatan berlangsung soal miskomunikasi yang tadinya sempat terjadi. Dengan kesal Bob berkata

 “Kalau disini seperti Merpas, mungkin aku sudah pergi sendirian”.

Melanjutkan perjalanan

Esoknya pukul 07.15 WIB setelah sarapan, kami menuju ruang checkin untuk persiapan keberangkatan menuju Luwuk Kabupaten Banggai pukul 08.45 WIB. Setelah melewatkan waktu selama dua jam setengah didalam pesawat, kami tiba di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar. Disini, kami Turun pesawat untuk mengambil tiket baru karena transit, kemudian melanjutkan penerbangan ke Kota Luwuk.

Sekitar pukul 14.00 WITA, kami tiba di Bandara Syukuran Hasanuddin Amir. Dari Bandara, kami harus ke pelabuhan yang jaraknya sekitar 30 menit, untuk persiapan penyeberangan. Bob yang sedikit butuh kopi memberi intruksi kepada Erwin untuk mengabulkan permintaanya. Tentu permintaan itu dipenuhi bahkan kami langsung menuju salah satu rumah makan untuk menyantap makanan khas Kota Luwuk di dekat pelabuhan.

Waktu penyebrangan pun tiba. Lebih kurang setelah dua jam berlalu, kapal pun berlabuh di pelabuhan Salakan. Salakan merupakan ibu kota kabupaten Banggai Kepulauan. Disini kami sudah ditunggu oleh seorang masyarakat dari Desa Bone Baru bernama Bapak Saleh yang merupakan pendiri yayasan Khatulistiwa Alam Lestari (KALI). Kedatangan kami kami disambut dengan ceria bersama lambaian tangan dari pinggir kapal, berimpitan dengan anak muda yang menawarkan jasa angkut barang ditambah teriakan “hulu-hulu”.

Setelah makan malam di salah satu rumah makan pelabuhan Salakan, kamipun melanjutkan perjalanan ke Desa Tobing. Desa ini adalah pelabuhan kecil tempat speedboat yang membawa angkutan sembako dan penumpang menuju berbagai Desa termasuk Desa Bone Baru. Kami Menyeberang menggunakan speedboat dengan kapasitas mesin 90 PK sangat mungkin ditempuh dalam waktu 30 menit, itupun karena malam hari pengemudi speedboat harus mengurangi kecepatan 50% dari biasanya karena jarak pandang yang gelap dan takut akan batang kayu yang hanyut.

Pukul 20.30 WITA kami tiba di belakang rumah Bapak Saleh, rumah yang berada di pinggir pantai serta bagian belakangnya berdiri tepat di atas air laut membuat kami tercengang dan menggelengkan kepala pada keindahan panorama malam dengan cahaya lampu dari Desa seberang (Desa Lobuton).

Disini, kami Disambut baik oleh keluarga Bapak Saleh dan ibu Neni (istri tercintanya). Kamipun berkenalan dengan Egi Staf Lembaga LINI dan beberapa tokoh masyarakat Desa Bone, lalu lanjut berbincang santai mengenai perjalanan dan kondisi daerah masing-masing. Bahkan, Bob yang terlihat antusias sempat berteriak sambil mengatakan

“Laut disini bak kolam renang di tempat kami, jernih dan hampir tidak ada ombaknya”

Dia berharap pagi segera tiba karena ingin menceburkan diri ke air laut yang dianggapnya kolam renang tersebut.

 “HARI KE I: DESA BONE BARU”

Hari pertama tanggal 26 maret 2021, paginya setelah sarapan kami beserta rombongan menuju ke salah satu klinik di kota Banggai Kabupaten Banggai Laut, tujuannya adalah untuk Rapidtest dan memastikan semua rombongan dari Bengkulu dan Bali tidak reaktif virus corona. Menempuh perjalanan lebih kurang 30 menit dari Desa Bone Baru ke lokasi test, tiba-tiba Bob uring-uringan dengan kalimat akan rapid test

“Bukti sehat apa lagi yang harus kami penuhi? Kalau begini terus masyarakat akan menjadi susah dan negara kita tetap menjadi negara miskin, kenapa test ini tidak Gratis?”

Lanjutnya dengan wajah lesu tanpa rokok. Setelah Rapid test selesai dan semuanya aman, kami kembali ke daerah keraton untuk bertemu Kepala Balai Karantina ikan dan pengendalian mutu.

(Peserta saat antri untuk Rapid test di kota Banggai. Sumber foto: Abdillah)
(Hasil Rapid-Test. Sumber Foto: Abdillah)

 

 

 

 

 

 

 

 

Bapak Marlan dan stafnya sudah menunggu dan menyambut kunjungan kami dengan sambutan hangat. Beliau menyampaikan bahwa kehadiran dari lembaga pendamping seperti lembaga LINI dan KALI di Kabupaten Banggai dalam mengorganisir masyarakat nelayan sangat membantu pihak pemerintah khususnya BKIPM Kabupaten Banggai. Mereka berharap dengan kunjungan mitra ini akan memberi banyak pembelajaran dan pengalaman. Mereka juga bercerita bahwa pemerintah sering bekerja sama dengan beberapa komunitas lokal terkait program ini. Kami percaya bahwa ketika program pemerintah dilaksanakan dengan baik dan melibatkan masyarakat lokal tentu tidak akan sulit dan mendapatkan manfaat.

Di BKIPM sendiri ada tiga tugas pokok yang selalu dijalankan Bapak Marlan, yaitu :

  1. Bekerja dibawah kebijakan sesuai dengan aturan yang berlaku
  2. Melakukan Pemberdayaan terhadap masyarakat nelayan
  3. Harmonisasi dengan pemerintah daerah dan pusat
(Foto bersama kepala BKIPM kota Banggai. Sumber foto: Abdillah)

 

 

 

 

 

 

 

 

Dari tiga program tersebut, Bapak Marlan sering kali terlibat dalam kegiatan sosialisasi bersama lembaga pendamping Kecamatan Banggai Utara seperti LINI dan KALI. Sebagai pemerintah yang bertugas untuk menentukan layak atau tidaknya suatu komoditi untuk bisa di pasarkan ke luar daerah, tentu Bapak Marlan akan memberikan pemahaman kepada semua pihak untuk tetap bekerja dengan transparan, tertib dan bijaksanana dengan tidak merugikan masyarakat nelayan dan suplayer ikan. Setelah berdiskusi, kami di beri kesempatan untuk mengunjungi salah satu dari 11 pabrik pengolahan ikan dan suplayer Gurita. Disana kami di temukan langsung oleh Bapak Rudi sebagai pemilik Pabrik, lagi-lagi beliau mempersilakan kami untuk melihat langsung aktivitas di dalam pabrik dengan di dampingi salah satu karyawan pabrik. Bahkan untuk memastikan setiap orang yang masuk dalam pabrik tetap steril, kami juga difasilitasi atribut karyawan sesuai dengan SOP pabrik.

 

 

 

 

 

 

(Foto aktivitas karyawan di pabrik pengolahan ikan  kota Banggai. Sumber foto: Abdillah)

Kemudian bapak Marlan mengajak kami ke tempat supplier Gurita yang jaraknya tidak jauh dari pabrik, disana kami bertemu dan melihat langsung proses pemilahan gurita sesuai kriteria (Ukuran berdasarkan berat) untuk dikemas dan dikirim ke Kota Luwuk.

 

 

 

 

 

(Foto bersama pengepul dan gurita di lokasi supplier kota Banggai. Sumber foto: Abdillah)

 

Setelah selesai dari kunjungan ke pabrik pengolahan ikan peserta kembali ke kediaman Bapak Saleh di Desa Bone Baru, melanjutkan makan siang di lokasi pertemuan dengan pemerintah Desa Bone Baru untuk persiapan diskusi sembari melihat tempat budidaya ikan endemik Banggai, ikan tersebut dinamai “Cardinal Fish”. Cardinal fish merupakan spesies laut jenis ikan hias yang hanya hidup dan berkembang di Banggai Laut, kalaupun terdapat di daerah lain seperti Luwuk dan sekitarnya sudah dipastikan bahwa ikan tersebut di suplai dari Banggai Laut.

Pukul 14.30 WITA, peserta kunjungan bertemu dan berdiskusi dengan pemerintah Desa Bone Baru terkait pengalaman pemerintah Desa dalam ikut serta mendorong perturan kepala desa bersama (PERKADES BERSAMA) tentang rencana pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Kecamatan Banggai Utara, dalam pertemuan yang di fasilitasi oleh Bapak Erwin perwakilan dari YPL dimulai dengan perkenalan dan dilanjutkan dengan tanya jawab.

Dijelaskan oleh Bapak Burhan selaku kepala Desa Bone Baru, bahwa Desa Bone Baru tidak memiliki nelayan. Namun wilayah laut Desa Bone Baru dijadikan sebagai lokasi penutupan sementara.

Hal tersebut bukan tidak mungkin, dilanjutkan kepala desa dua periode ini bahwa manfaat lain yang didapat dan dirasakan dari proses penutupan sementara tersebut, selain untuk memastikan spesies gurita akan tumbuh dan berkembang dengan pesat, juga memastikan habitat gurita (terumbu karang) Desa Bone Baru akan terjaga dan tetap lestari, apalagi beberapa puluh tahun silam sering dilakukan pengeboman dalam yang mengakibatkan hancurnya terumbu karang Desa Bone Baru. Selain itu saat pembukaan lokasi penutupan ini seluruh masyarakat diperbolehkan untuk menangkap/memancing gurita tidak harus berprofesi sebagai nelayan.

Tidak ada perbedaan yang terlalu mendasar dari pengalaman pemerintah Desa Bone Baru ini dibandingkan dengan daerah lain, hanya dengan melakukan sosialisasi bersama pendamping tentang pentingnya menjaga ekologi laut dan menangkap spesies ikan dengan alat yang ramah lingkungan kamudian merawat kepercayaan antara satu dengan yang lainnya.

Usulan pembentukan PERKADES BERSAMA awalnya hanya untuk Desa Bone Baru dan desa Popisi, hal tersebut dikarenakan proses pendampingan yang dilakukan Lembaga / yayasan LINI sejak tahun 2010 dalam kegiatan riset dan pengembangan BCF (Banggai cardinal fish) hanya dua desa, sepanjang proses pendampingan, bapak Saleh dan ibu Neni awalnya menjadi staf lapangan yayasan LINI dan akhirnya membentuk lembaga lokal bernama KALI yang didampingi yayasan KALI. Setelah bermitra dengan YPL di tahun 2016-2017 dengan salah satu programnya yakni pengelolaan wilayah laut berbasis masyarakat atau Community Based Marine Management (CBMM) yayasan LINI bersama KALI intens mendorong Regulasi di tingkat desa sebagai alternatif dan persiapan untuk mengantisipasi gesekan kebijakan yang ditetapkan pemerintah berupa Rencana Pengelolaan Zonasi (RPZ) yang merupakan turunan dari RZWP3K. Setelah melakukan analisa ulang, dengan membuat berbagai pertemuan yang melibatkan semua pihak termasuk DKP kabupaten Banggai Laut, berdiskusi panjang lalu camat Banggai Utara meminta semua unsur seperti pendamping yayasan LINI, yayasan KALI, perwakilan masyarakat Nelayan, dan seluruh kepala Desa lainnya yang masuk dalam Kecamatan Banggai Utara  untuk memasukkan semua Desa yang berada di Kecamatan Banggai Utara sehingga 6 desa yakni Desa Kendek, Desa Lokotoy, Desa Popisi, Desa Paisumosoni, Desa Tolisetubono dan Desa Bone baru sepakat untuk mendorong PERKADES BERSAMA tersebut.

Sebelum ditetapkan, pihak kecamatan, seluruh kepala Desa di Kecamatan Banggai Utara bersama pendamping (LINI & KALI) melakukan konsultasi ke bagian Pemerintah Daerah Kabupaten Banggai Laut terkait usulan dan draf Perkades bersama yang bertemu langsung dengan BIRO Hukum Kabupaten Banggai hingga terbentuklah PERKADES BERSAMA tentang Rencana pengelolaan sumber daya pesisir dan laut Kecamatan Banggai Utara.

 

 

 

 

 

(Foto prosesi diskusi dengan pemerintah desa Bone Baru. Sumber foto: Abdillah)

Pertemuan ini menjadi pengetahuan baru bagi seluruh peserta khususnya sekretaris Desa Merpas yang merupakan perwakilan dari pemerintah Desa, menurutnya setelah kunjungan mitra ini, perlu melakukan kordinasi dan komunikasi kepada kepala Desa dan camat Nasal Kabupaten Kaur Provinsi Bengkulu terkait kemajuan Kecamatan Banggai Utara dalam mendorong regulasi terkait pengelolaan pesisir dan laut. Berbeda dengan bapak Bob, rasa kecewanya kentara terlihat karena mendengar bahwa Desa Bone Baru tidak memiliki nelayan, padahal jauh-jauh hari sebelum berangkat beliau sudah menyiapkan bahan untuk bertukar informasi kepada sesama nelayan ditambah dengan kondisi laut yang sangat jauh berbeda.

 

“HARI KE II: DESA POPISI”

Tanggal 27 maret 2021 adalah hari kedua aktivitas kegiatan anjangsana mitra. Setelah sarapan pagi kami beserta rombongan beranjak menuju Desa Popisi. Selesai meneduhkan barang di rumah bapak Herdi yang merupakan pengepul ikan Desa Popisi, kami menuju Balai Desa untuk Sharing pengalaman seperti halnya di Desa Bone Baru. Namun bedanya pertemuan di Balai Desa Popisi dihadiri langsung oleh Camat Banggai Utara, Pemerintah Desa Popisi dan perwakilan nelayan Desa Popisi. Sama dengan kegiatan sebelumnya pertemuan diawali dengan perkenalan oleh seluruh peserta. Hanya saja di fasilitasi oleh Sdr. Egi yang merupakan perwakilan dari yayasan LINI.

Dalam kegiatan ini kepala Desa Popisi menyampaikan sejarah singkat terbentuknya peraturan Kepala Desa bersama yang hampir sama dengan penjelasan kepala Desa Bone Baru. Bedanya adalah bahwa Desa Popisi memiliki nelayan gurita yang mengolah laut di Desa Popisi dan menjadi pengelola proses penutupan sementara di wilayah laut Desa Bone Baru. Melakukan Sosialisasi dan Memberi pemahaman kepada setiap orang dengan cara pendekatan untuk membangun kepentingan bersama adalah kunci dalam sebuah pengorganisiran, itulah yang dilakukan kepala Desa Popisi ini hampir setiap hari betemu dan berbincang dengan masyarakatnya. Tidak sedikit gesekan–gesekan yang muncul di tingkat masyarakat, namun hal itulah yang menjadi tantangan dan pembelajaran baginya secara pribadi menghadapi situasi  serta menjalankan amanah sebagai kepala Desa.

 

 

 

 

(Foto acara pertemuan di balai desa popisi. Sumber foto: Abdillah)

 

“Tidak ada nilai harga kepada manusia, karena hakekatnya manusia itu sama di mata Allah,”

kalimat inilah yang selalu mengiringi pekerjaan Camat Banggai utara, dengan bekal dan pengalaman selama mengabdi di dunia birokrasi, mulai dari PNS biasa hingga menjabat sekretaris KPU dan sekretaris BKD. Sangat mungkin beliau mengerti situasi dan kondisi sosial masyarakat. Sebagai Camat, Baginya tidak ada jarak dan level antara kepala desa dengan camat, selagi urusannya mengembankan kepentingan masyarakat semua akan di utamakan.

keikutsertaan camat Banggai Utara dalam mendorong peraturan Kepala Desa bersama ini tidak lain untuk mengakomodir kepentingan masyarakat. Berbagai sosialisasi untuk sebuah pemahaman tentang  pentingnya PERKADES bersama sudah dikaji dengan matang, berkoordinasi dengan level pemerintah kabupaten adalah salah satu bentuk negoasiasi yang dilakukan oleh camat Banggai Utara ini. Mengajak semua pihak untuk bekerjasama dengan baik demi kemajuan kecamatan Banggai Utara dengan prinsip dan niat mulia adalah harapan terbesar camat Banggai Utara. Selain itu, bagi setiap orang yang sudah melekatkan dirinya mengembankan amanah dalam mengakomodir kepentingan masyarakat harus mengerti kondisi masyarakat di tingkat yang paling bawah sehingga pekerjaan betul-betul sesuai dengan tupoksinya.

“Saya hanya berusaha bekerja dengan baik, selebihnya biarkan orang yang menilai dan tuhan yang melihat, saya yakin bahwa setiap yang saya kerjakan dan keputusan yang saya ambil akan memberi manfaat bagi orang lain, saya tidak takut menanggung risikonya. Tuhan bersama saya. “Jelas Camat Banggai Utara.

“PENGENALAN PRODUK MASYARAKAT DAMPINGAN AKAR FOUNDATION”

Dalam proses kunjungan mitra yang melibatkan Staf Akar dan perwakilan masyarakat nelayan ke banggai laut, salah satu buah tangan yang bawa adalah kerupuk gurita dan kopi AKAR. Dalam perkenalannya Staf Akar menyampaikan produk kopi dan kerupuk gurita merupakan buah keberhasilan masyarakat dalam mengelola kawasan hutan yang di dampingi oleh Lembaga Akar Foundation. Pilihan usaha tersebut adalah bentuk nyata dari proses pendampingan dan pengembangan ekonomi masyarakat lokal. Kopi Akar misalnya, sebelum masyarakat bisa mengakses kawasan hutan, Lembaga Akar Foundation secara terus menerus melakukan pendampingan dalam bentuk peningkatan kapasitas kelompok, unit usaha untuk dengan tujuan  mereposisi ruang kelola rakyat dengan melakukan negosiasi efektif kepada pemangku kawasan berdasarkan aturan yang berlaku dengan skema HKM (hutan kemasyarakatan), kemudian kerupuk gurita, usaha masyarakat ini sebagai alternatif pengembangan ekonomi di tingkat desa. Dengan rantai pasar yang panjang dan lokasi pemasaran yang masih tergolong belum menentu sangatlah mungkin hasil tangkapan laut berupa gurita di buat variasi produk.

(Foto penyerahan dan pengenalan kopi akar dan kerupuk gurita. Sumber foto: Abdillah)

 

 

 

 

 

 

 

 

Dengan pengenalan produk ini, pemerintah kecamatan banggai utara dan pemerintah desa popisi merasa senang sekali dan berharap bisa mengadopsi usaha yang sudah dilakukan di desa merpas terkait pengolahan kerupuk gurita.

“DISKUSI ANTAR MITRA PENDAMPING DAN NELAYAN”

Diskusi antar Lembaga Mitra dilakukan di kediaman habib yang merupakan anggota dari yayasan KALI, pemilihan kediaman Habib berdasarkan kesepakatan, karena lokasi rumah yang berada diatas laut dan sedikit menjorok ketengah menyugukan pemandangan yang indah, udara yang sejuk dan langsung menghadap ke lautan.

Tak hanya bak kolam renang yang di sebut bapak Bob, kejernihan laut Popisi juga memperlihatkan ikan-ikan dan spesies laut lainnya dengan jelas. Apalagi disediakan alat pancing untuk menyalurkan hobi.

Erwin perwakilan YPL juga dimulai dengan sharing pengalaman Lembaga Akar terkait pendekatan politik dengan pemerintah daerah serta pembentukkan koperasi di tingkat masyarakat. Dari penjelasan Warman Kudus yang merupakan staf tata kelola wilayah rakyat Akar Foundation, secara garis besar bahwa Akar Foundation dengan visi dan misinya untuk menjamin terwujudnya kedaulatan hak-hak masyarakat lokal/adat melalui perlindungan, pelestarian, pemberdayaan dan pengelolaan sumber daya alam secara mandiri yang berkeadilan, kesejahteraan sosial, demokratis berdasarkan HAM dan keadilan gender selama lebih dari satu dekade telah melakukan berbagai pola pendekatan dan pendampingan. Membangun kepercayaan, melakukan komunikasi berkelanjutan serta merawat pertemanan adalah bagian penting dalam bentuk kerjasama yang baik. selain itu, penawaran konsep yang terarah, logis dan bermutu sesuai dengan arah pembangunan daerah adalah kunci dari sebuah negosiasi. pemerintah sudah memberi ruang kepada setiap unsur komunitas untuk memberikan informasi dalam menyusun rencana pembangunan jangka menengah daerah, dengan demikian kehadiran akar sebagai lembaga yang memiliki track record yang berkualitas serta konsep yang bermutu tentu membantu pemerintah dalam pelaksanaan programnya. Bergerak di isu perhutanan sosial, Akar memberi sumbangsih besar kepada Pemerintah Daerah Bengkulu, berdasarkan luas Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) Provinsi Bengkulu yang berjumlah 106.000 Ha, Akar sudah mereposisi ruang kelola masyarakat hampir 25% dari luas keseluruhan, dan telah memfasilitasi masyarakat dalam pengajuan permodalan fasilitas dana bergulir badan layanan umum pusat pembiayaan pembangungan hutan (BLUP3H) sebesar hampir 8 miliar di dua Provinsi yakni Provinsi Bengkulu dan Provinsi Sumatera Selatan (Kabupaten Musirawas) selain itu Akar Foundation adalah lembaga non pemerintah pertama yang mendorong terbentuknya PERDA (peraturan daerah) No 4 tahun 2017 tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat Rejang di Kabupaten Lebong. Artinya lembaga Akar lah yang pertama kali mendorong usulan HA (Hutan Adat) di Provinsi Bengkulu.

 

 

 

 

 

 

 

(Foto sharing antara lembaga mitra dan nelayan. Sumber foto: Abdillah)

Dilanjutkan Warman, bahwa Akar dari awal sudah melakukan koordinasi dengan DKP Provinsi, BAPPEDA Provinsi Bengkulu, DKP Kabupaten Kaur, Camat Nasal dan berbagai pihak lain terkait pendampingan dan penawaran konsep CBMM di Desa Merpas. Dari tawaran konsep tersebut, pemerintah daerah dan dinas terkait bersama Akar membuat kegiatan Workshop integrasi pengelolaan berkelanjutan sumber daya pesisir dan kelautan berbasis masyarakat, dalam workshop tersebut konsep CBMM akan menjadi pilot project di Provinsi Bengkulu dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut yang akan di masukkan kedalam rancangan awal rencana pembangunan jangka menengah daerah di program umum pengembangan kemaritiman, untuk memastikan program Gubernur Bengkulu tentang hilirisasi produk, gurita Merpas akan di prospek dan di pastikan masuk ke dalam produk unggulan Provinsi Bengkulu.

Kemudian pengalaman pembentukkan koperasi, Akar Foundation bersama masyarakat pengelola Hkm Kabupaten Rejang Lebong sudah membentuk koperasi Cahaya Panca Sejahterah (CPS). 20 orang pengurus koperasi yang tergabung dari 5 gabungan kelompok tani. Koperasi dibentuk tidak semata-mata sebagai formalitas, namun memerlukan waktu yang panjang. Melakukan peningkatan kapastitas kelembagaan, pelatihan unit usaha dalam pengembangan ekonomi lokal dan melakukan kunjungan di berbagai daerah yang akhirnya memberikan ide dan menjadi kebutuhan perwakilan kelompok tani untuk membentuk koperasi. Koperasi CPS sebagai central ekonomi masyarakat petani lokal dengan managemen yang terukur.

Menurut Warman, nantinya di lokasi dampingan Desa Merpas yang berada di wilayah laut dan pesisir, Akar akan mengadopsi beberapa pengalaman di kelompok tani hutan dalam pengelolaan hasil produksi. Mental berani dan sumber daya adalah sesuatu yang fundamental untuk menciptakan sebuah unit usaha yang berkelanjutan.

Dilanjutkan oleh Sahrul, staf tata kelola wilayah pesisir dan laut, bahwa di Desa Merpas pendampingan sudah dilakukan lebih kurang satu tahun, beberapa aktivitas program sudah berjalan seperti melakukan riset data sosial, melakukan FGD untuk penyamaan persepsi dengan masyarakat Nelayan, pelatihan–pelatihan untuk peningkatan kapasitas, melakukan partisipatory monitoring, sensus gurita hingga Data Feedback Season (DFS). Sekarang Desa Merpas sudah membuat rancangan pembentukan kelompok khusus nelayan. Rencana kedepan Akar akan melakukan temporary clouser di wilayah tangkap masyarakat nelayan Merpas.

 

 

 

 

 

 

 

(Foto sharing antara lembaga mitra dan nelayan. Sumber foto: Abdillah)

Disisi lain lembaga LINI menyampaikan pengalaman pendampingan di Desa popisi dan bone baru, dan sekarang sudah terdapat 8 desa dampingan. 6 desa di kecamatan banggai utara dan 2 desa (Desa Lobuton & desa Kalumbatan) di kecamatan Totikum selatan kabupaten Banggai kepulauan.

LINI (aLam Indonesia lestarI) sebagai lembaga pendamping menjadi jembatan untuk mendorong kepentingan masyarakat, dengan pengucapan “Line” yang berarti garis, lembaga LINI tetaplah lembaga pendamping masyarakat dan menjadi garis terdepan untuk mengakomodir kepentingan masyarakat lokal.

Pada tahun 2010 Lini melakukan Riset BCF (Banggai Cardinal Fish) di desa Popisi dan bone baru atau secara umum di kecamatan banggai utara. Riset tersebut dilakukan karena adanya isu tentang penangkapan ikan hias endemik banggai (Cardinal Fish) yang tidak ramah lingkungan dan melebihi jumlah tangkapan yang mengakibatkan hampir punahnya ikan tersebut. Setelah melakukan pendampingan beberapa tahun, melakukan Riset dan sosialisasi tentang pentingnya melestarikan cardinal fish, LINI melanjutkan pendampingan untuk pengembangan, pelestarian, restorasi terumbu karang dan budidaya ikan hias tersebut.

Dengan kampanye besar-besaran tentang perlunya menjaga kekayaan laut, di tahun 2018 Menteri kelautan Susi Pudjiastusi melakukan kunjungan kerja ke banggai laut dengan tujuan untuk memastikan masyarakat nelayan dan nelayan dari luar untuk tetap mematuhi zonasi penangkapan ikan dan memastikan kapal pajeko nelayan tetap tertib menangkap ikan dengan mematuhi PERMEN KP no 17 tahun 2016. Misalnya saat berkunjung, menteri yang dikenal dengan selogan “Tenggelamkan!” ini melihat masih ada kapal berukuran besar menangkap di selat yang wilayahnya dibawah 12 mil, dan meminta untuk di atur dengan baik.

Selain itu kunjungan menteri kelautan dan perikanan tersebut memberikan berbagai bentuk bantuan, seperti perahu nelayan dan sebagainya.

Di tahun 2016-2017, lembaga LINI bermitra dengan BV (Blue venture) yang sekarang menjadi YPL (yayasan pesisir lestari). Dari program yang disusun dengan misi YPL :

  1. Mendorong konservasi laut berbasis masyarakat
  2. Mendorong kepentingan lingkungan dan manusianya
  3. Membangun perikanan berbasis masyarakat
  4. Meningkatkan daya tangkap masyarakat lokal
  5. Mendorong sertifikasi industri perikanan
  6. mendorong akses pemasaran / membeli hasil tangkap yang berkelanjutan

salah pintu masuknya adalah nelayan gurita dengan spesies tangkap ikan gurita. Dari kerjasama ini, lembaga LINI awalnya intens untuk pendampingan masyarakat nelayan gurita di dua Desa, yaitu Desa Popisi dan Desa Bone Baru. Melihat situasi tersebut dengan melakukan berbagai bentuk sosialisasi, camat Banggai Utara meminta untuk memastikan 6 Desa keseluruhan di Kecamatan Banggai Utara untuk ikut serta dan berpartisipasi mendorong PERKADES BERSAMA.

Setelah sepakat, dilanjutkan dengan diskusi terfokus kepada pihak pemerintah Daerah Banggai Laut dan membentuk tim kerja dalam rangka menggali potensi wilayah kelautan Kabupaten Banggai Laut. Disisi lain, lembaga LINI bersama seluruh pemerintah Desa di Kecamatan Banggai Utara membentuk divisi-divisi sebagai penanggung jawab kerja di tingkat Desa, hasilnya adalah melakukan pemetaan bersama (partisipatif) untuk mengetahui lokasi tangkap nelayan dan membuat zona-zona berdasarkan kesepakatan bersama. Zona tersebut misalnya adalah zona budidaya, zona tangkap dan lain-lain.

Setelah dokumen dan konsep pengelolaan wilayah laut dibuat dan dikaji dengan matang, lembaga pendamping LINI, seluruh pemerintah desa (6 Desa) dan pemerintah kecamatan Banggai Utara melakukan koordinasi terkait usulan wilayah pengelolaan laut berbasis masyarakat ke DKP. Hasilnya DKP akan menindaklanjuti untuk ditelaah dan di evaluasi, dari konsep itulah dikembangkan menjadi draf PERKADES BERSAMA dengan pengaturan kerja yang terukur.

Lembaga Khatulistiwa Alam Lestari (KALI) yang biasa disebut sebagai anak LINI, adalah Lembaga lokal yang di dirikan dengan pendampinga lembaga LINI. Inisiatif ini dibuat untuk membantu komunikasi yang intesn ke masyarakat secara langsung dan memberi ruang kepada masyarakat lokal untuk tetap bersatu dan kuat.

Beberapa anggota KALI yang awalnya menjadi Community Organizer (CO) LINI dengan bekal pengorganisiran masyarakat sangatlah mungkin untuk membangun sebuah lembaga. Lembaga sebagai central diskusi masyarakat terkait pengelolaan wilayah laut yang berkelanjutan dan wisata lokal.

Di Banggai Utara sendiri dengan central nelayan yang berada di Desa Popisi, lembaga pendamping tetap intens melakukan pendampingan. Bedasarkan pencatatan hasil tangkap, pengumpulan data nelayan, Sekarang dengan progres LINI bersama masyarakat sudah melakukan penutupan sementara wilayah tangkap di dua desa dengan target untuk  meningkatkan hasil tangkap dan kulitas gurita banggai laut, namun perlu meningkatkan kapasitas serta kontrol kelompok pengawas (pokmaswas) untuk bisa berhasil dan berkelanjutan. Akan Membentuk kelompok usaha (koperasi nelayan) dengan memberi ruang kemudahan kepada seluruh nelayan banggai laut dalam penyedian kabutuhan pokok.

 

“DISKUSI ANTAR NELAYAN DAN ENUMORATOR”

Bapak Bob dan rekan dari perwakilan nelayan Desa Merpas Kabupaten Kaur Provinsi Bengkulu, memulai dengan sebuah protes, protes seolah-olah masyarakat nelayan Banggai Utara sudah diberi kemudahan mengakses wilayah laut dengan kondisi laut tenang yang di ibaratkannnya “KOLAM RENANG” serta kaya akan ikan. Sebagai nelayan jerigen, bapak Bob ingin sekali mencoba menyelam di lokasi tangkapan masyarakat Banggai Utara. Sebelum di praktikkan, bapak Bob memperlihatkan jenis “umpan palsu” yang dipakai di Desa Merpas untuk memancing gurita. Dengan riang bapak Bob menjelaskan disetiap bagian dan fungsinya.

 

 

 

 

 

(Foto sharing pengalaman antar nelayan. Sumber foto: Abdillah)

Tidak ada perbedaan mencolok dari metode tangkap gurita di Desa Popisi dengan Merpas, hanya saja perahu yang digunakan tidak memiliki sayap penyeimbang. Hal itu dikarenakan kondisi laut yang tenang.

(Foto bapak Bob saat menjelaskan umpan palsu  Sumber foto: Abdillah)

 

 

 

 

 

 

 

Menggunakan perahu, memancing dan mengintai gurita adalah salah satu metode yang di pakai di Desa Merpas dan Popisi. Kadang kala nelayan Popisi mesti menyelam dengan membawa kawat untuk menombak gurita. Hal itu persis yang dilakukan oleh nelayan di Desa Merpas, bedanya adalah nelayan yang menggunakan kawat besi (kawat cucuk) hanya digunakan oleh nelayan pinggiran, pelakunya pun banyak kaum perempuan. Di Banggai Utara khususnya Desa Popisi tidak ada nelayan perempuan yang menangkap gurita dengan metode tersebut.

Bapak Rustam dari nelayan Popisi tidak mau kalah, beliau juga menunjukkan alat pancing yang biasa dipakai oleh nelayan popisi. Serupa tapi tak sama, nelayan popisi menggunakan alat pancing yang diberi nama “manis-manis” dan “cipo”.

Tidak ada perbedaan antara pelaksanan pendataan gurita yang dilakukan oleh enumerator Desa Merpas dan Desa Popisi, prosesnya sama dengan melakukan pelatihan dan pendataan sesuai formulir pendataan.

 

 

 

 

 

(Foto sharing pengalaman antar nelayan dan enumorator. Sumber foto: Abdillah)

“ALAT TANGKAP GURITA NELAYAN BANGGAI LAUT”

MANIS-MANIS dan CIPO merupakan nama alat tangkap nelayan popisi.

Manis–manis adalah rekayasa gurita yang terbuat dari kayu keras dan dilengkapi sekitar 8 kain penguntai yang menyerupai tentakel gurita. Manis-manis digunakan sebagai pemikat (lawan) gurita di dalam air, saat gurita asli melihat manis-manis, gurita akan mengejar manis-manis tersebut. Air yang jernih membuat nelayan dengan mudah memperhatikan alat yang diluncurkan menyerupai gurita ini. Setelah gurita mendekat (mengejar) barulah nelayan menggunakan alat pancing CIPO yang dilengkapi mata kail. Manis-manis hanya sebagai pemikat gurita, memerlukan waktu untuk gurita mendarat (ditangkap). Bob yang biasa berkompetisi menangkap gurita dengan umpan palsu menggunakan jerigen menyelah, di laut merpas sangat tidak mungkin menggunakan alat manis-manis, karena lokasi tangkap yang sedikit dan nelayan yang banyak membuat nelayan tidak akan mendapati hasil maksimal. Kata Bob, kadang saat memancing nelayan hanya berjarak beberapa meter dengan nelayan lain artinya kalau menggunkan manis-manis ada kemungkinan gurita malah di tarik oleh nelayan lain yang bersebelahan dengan dia.

 

 

 

 

 

 

(Foto alat tangkap nelayan popisi. Sumber foto: wk)

Kemudian Cipo, cipo mirip dengan umpan palsu yang dibawa Bob dari Bengkulu. Hanya saja cipo menyerupai udang /lobster dengan warna menguning. Lagi–lagi Bob mengatakan bahwa alat tangkap seperti cipo sudah di pakai oleh nelayan merpas 5 tahun yang lalu. Bob membuat pengamatan setiap memancing dengan menggunakan berbagai variasi alat pancing. Alat pancing berupa umpan palsu seperti yang dibawa Bob lah yang sangat digemari oleh gurita. Warna yang cerah tentu beralasan, pemilihan warna cerah karena kondisi laut Merpas kadang-kadang sering keruh.

“NELAYAN SUKU BAJO DI BANGGAI UTARA”

Banggai Utara merupakan salah satu Kecamatan di Kabupaten Banggai Laut yang terdiri dari 6 Desa yaitu Desa Kendek, Desa Lokotoy, Desa Popisi, Desa Paisumosoni, Desa Tolitetubono dan Desa Bone Baru. Mayoritas penduduk di Banggai Utara berprofesi sebagai nelayan (ikan dan gurita) dan petani (cengkeh dan kelapa). Desa Popisi adalah Desa yang hampir 95% berprofesi sebagai nelayan, nelayan di Desa Popisi berasal dari suku Bajo dan suku asli Banggai. Seperti yang kita ketahui bahwa suku Bajo/Bajau/Same/sama berasal dari daerah suku Filipina bagian Selatan, menggantungkan hidup di laut lepas secara turun temurun, sejak ratusan tahun yang lalu suku Bajo sudah menyebar kedaerah sabah dan merupakan anak negeri di sabah, lalu menyebar ke  berbagai daerah di Indonesia.

Suku-suku di Kalimantan diperkirakan berimigrasi dari arah Utara (Filipina) pada zaman prasejarah. Suku Bajo yang muslim ini merupakan gelombang terakhir migrasi dari arah Utara Kalimantan yang memasuki pesisir Kalimantan Timur hingga Kalimantan Selatan dan menduduki pulau-pulau disekitarnya. Lebih dahulu dari kedatangan rumpun-rumpun Bugis yaitu suku Bugis dan suku Mandar.

Saat ini suku Bajo sudah menyebar kesuluruh pulau yang ada di Indonesia terutama Indonesia bagian Timur bahkan sampai ke Madagaskar.

 

 

 

 

 

 

 

(Foto nelayan dan kebun cengkeh. Sumber foto: wk)

Suku Bajo tidak lagi hidup secara nomaden, sekarang suku Bajo sudah beradaptasi dan menetap dengan suku asli di Banggai.

di Banggai kesehariannya sebagai nelayan termasuk nelayan gurita dengan pendapatan antara 100-300 rb sekali melaut dalam waktu 3-8 jam. Bagi mereka yang berprofesi sebagai nelayan ikan pendapatan nelayan Banggai bisa lebih dari 300 rb per harinya. (sumber: wikipedia)

“PANTAI OYAMA”

Pantai merupakan salah satu lokasi yang sering dijadikan background dalam sebuah pertujukan ekpresi di era milenial zaman sekarang. Hampir semua pantai yang ada di Indonesia bahkan didunia memberikan jawaban dari setiap keluh kesah dan lepas hasrat pengunjungnya saat ingin melepaskan rasa penat.

Kabupaten Banggai Laut memiliki satu pantai terindah dari berbagai pantai yang tersebar di 300 pulau di Banggai, Pantai Oyama namanya.

Menurut cerita ibu Neni (warga Desa Bone Baru) Pada tahun 1980-an, ada seorang manager perusahaan dari Jepang yang bekerja di salah satu perusahaan Mutiara di Banggai (sekarang mekar menjadi Kabupaten Banggai laut) namanya Mr. Oyama. Saat jam istirahat kerja beliau selalu menyempatkan diri untuk bersantai menikmati pantai tersebut sendirian.

Entah apa motifnya, mungkin saja sekedar melepaskan rasa lelah saat bekerja. Beliau selalu bepergian sendirian kesana dengan menggunakan perahu. Tidur-tiduran dipantai selepas menikmati jernihnya laut Banggai tak ubahnya seperti turis yang datang saat menyambangi sebuah destinasi wisata. Pasir putih yang halus bagaikan taburan terigu semakin melengkapi pesona dari Pantai Oyama.

 

 

 

 

 

 

(Foto panorama pantai oyamai. Sumber foto: wk)

 

Singkatnya, setelah Mr. Oyama kembali ke Jepang, masyarakat lokal menyebut pantai itu dengan nama Pantai Oyama. Hingga sekarang Pantai Oyama menjadi aset wisata masyarakat lokal saat membawa pengunjung dari luar daerah termasuk kegiatan anjangsana mitra yang pesertanya dari Provinsi Bengkulu. Indah sekali.

 

HARI KE III REFLEKSI DAN EVALUASI

Dari kegiatan Anjangsana Mitra ini peserta dari Bengkulu perwakilan staf Akar Foundation, pemerintah desa (sekdes merpas), enumorator, nelayan jerigen, nelayan biasa dan pemuda Desa Merpas sudah melihat Utara secara langsung aktivitas masyarakat nelayan di Kecamatan Banggai, mekanisme penutupan sementara memberikan manfaat bagi para nelayan gurita di Desa Popisi dan sekitarnya. Skema penutupan sementara akan di adopsi di desa merpas dengan penentuan dan kesepakatan bersama. PERKADES BERSAMA yang sudah di tetapkan akan menjadi pembelajaran bagi pemerintah Desa Merpas dan lembaga pendaping Akar Foundation dalam melakukan pendampingan serta advokasi kebijakan di tingkat desa hingga daerah.

Ada peluang bagi pemerintah Desa Merpas untuk mengalokasikan dana Desa kedalam pengelolaan laut berbasis masyarakat yang akan diruangkan kedalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) Merpas.

Keterbatasan waktu menjadi catatan bagi lembaga penyelenggara kegiatan kunjungan mitra, menurut beberapa perwakilan dari Bengkulu, perlu banyak waktu untuk bisa berdiskusi lebih intens ke masyarakat Banggai Utara khususnya masyarakat nelayan. Perbedaan kondisi laut, spesies ikan, karakter masyarakat dan kontur tanah banggai menjadi catatan penting dalam sebuah pereplikasian kegiatan di Desa Merpas.

Tidak ada perbedaan yang mendasar antara lembaga pendamping (Lembaga LINI & KALI) di Banggai dengan di Bengkulu (Lembaga Akar foundation). Akar foundation memulai pengorganisiran masyarakat pesisir dan laut sejak tahun 2020 yang sebelumnya lebih konsen mendapingi daerah pegunungan bersama masyarakat yang beririsan dengan kawasan hutan mereposisi ruang kelola dan pengembangan ekonomi masyarakat petani hutan. Dalam waktu yang singkat berbagai terobosan-terobosan serta pendekatan politik ke kepemerintah daerah sudah berjalan dengan baik dengan konsep pengelolaan laut berbasis masyarakat atau lebih dikenal dengan CBMM. Konsep yang yang ditawarkan Akar Foundation menjadi bagian dari pembangunan Provinsi Bengkulu dalam hilirisasi produk gurita dan menjadi bagian dari program pengembangan kemaritiman.