Mengawali tahun 2023, Akar Foundation bersama nelayan Gurita yang tergabung dalam Kelompok Usaha Bersama (KUB) Ujung Lancang mengadakan pekan Gurita dan Penutupan Sementara (Temporary Closure) habitat Gurita.  Dua kegiatan yang dilaksanakan ini bertujuan untuk mewujudkan keberlanjutan pengelolaan sumber daya laut dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir barat Bengkulu. Acara ini juga dihadiri dan dibuka langsung oleh Bupati Kaur, , H Lismidianto, SH, MH didampingi Sekda Kaur DR. Ersan Syahfiri, MM serta Asisten 1 Sinarudin dan Asisten 2 Arsal Adelin, M.Pd.

Sumber Foto: radarkaur.co.id

Kegiatan-kegiatan pendampingan, riset dan pendataan komoditi Gurita yang ada di Desa Merpas dan Linau Kabupaten Kaur yang dilakukan oleh Akar Foundation sejak tahun 2020, menunjukan bahwa praktek pengelolaan pesisir dan laut yang dilakukan oleh masyarakat di dua desa tersebut merupakan praktek pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang berkelanjutan. Dari sisi  ekonomi, praktek pengelolaan yang dilakukan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi melalui pemeliharaan kapital (capital maintenance) secara efisien

Secara ekologi, pengelolaan sumberdaya tersebut merupakan praktek pengelolaan yang mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan dan konservasi biodiversity. Praktek pengelolaan yang menyeimbangkan pemenuhan kebutuhan ekonomi sekaligus keberlanjutan ekologi. Dalam jangka panjang berkontrobusi pada keberlanjutan sosial dan politik untuk menciptakan pemerataan hasil pembangunan, pemberdayaan institusi local, mobilitas sosial, partisipasi sekaligus kohesi sosial.

Sumber Daya perikanan merupakan kelompok sumberdaya terbarukan yang memerlukan pendekatan yang menyeluruh. Temporary Closure, pendataan sumber daya, penguatan kelembagan kelompok nelayan dan pekan gurita merupakan elemen penting dari tindakan yang bukan hanya mendekatkan masyarakat dengan sumberdaya, tetapi merupakan strategi dalam mereduksi konflik dimasa depan berhubungan dengan akses dan control masyarakat terhadap sumber-sumber penghidupan. Menjadikan masyarakat sebagai subjek pengelolaan sumber daya merupakan penghormatan terhadap strategi bertahan hidup yang dilakukan oleh masyarakat secara harmoni dengan alam, yang dalam pemaknaan terhadap alam melahirkan bentuk-bentuk pengetahuan dan daya adaptasi terhadap berbagai perubahan yang akan terjadi.

Catatan penting yang direkam oleh Akar Foundation. Masyarakat di Desa Merpas dan Linau, praksis dari pengetahuan dan adaptasi berasimilasi dalam bentuk keterampilan dan resiliensi. Masyarakat nelayan mampu beradaptasi dengan siklus tahunan, musim hujan dan kemarau yang fenomenanya acak dan tidak bisa di prediksi pada kenaikan air laut, musim dan angin laut.

Ancaman terbesar yang dihadapi oleh masyarakat di masa mendatang adalah perubahan iklim. Perubahan iklim merupakan bentuk ancaman terbesar terhadap terumbu karang yang menjadi tuan rumah bagi berbagai jenis spesies ikan laut, penting sebagai menyediakan layanan sosial, ekologis, budaya dan ekonomis.

Terumbu karang merupakan ekosistem keanekaragaman hayati yang paling inheren di laut dan sebanding dengan hutan hujan di darat. Terlepas nilainya, sebagian besar terumbu karang berada di bawah tekanan besar berbagai aktivitas manusia termasuk limpasan pertanian, pabrik di bagian hulu, pembangunan, serta penangkapan ikan secara berlebihan. Peningkatan suhu lautpun dan  karbon dioksida atmosfer memicu kematian karang beberapa tahun terakhir.

Dari dua ancama eksternal tersebut, menyadarkan kita pentingnya teknik resiliensi ekosistem pesisir dan laut dan pengembangan pendekatan yang dibutuhkan untuk beradaptasi. Adaptasi merupakan kemampuan sistem ekologi dan sosial yang terkait erat, untuk menghadapi situasi baru tanpa mengurangi kesempatan mendapatkan pilihan masa depan. Kunci untuk meningkatkan kapasitas adaptif ialah resiliensi yang merupakan strategi yang harus mulai dikembangkan.

Resiliensi merupakan pendekatan yang berbasis ekosistem dan dalam pengelolaan perlu menyertakan masyarakat dalam dalamnya. Harapannya, masyarakat memperoleh manfaat dari strategi pengelolaan tersebut. Membangun model pengelolaan yang berbasis kepada resiliensi ekologi-sosial merupakan strategi yang relevan untuk menjawab permasalahan degradasi ekosistem pesisir dan laut, yang setiap saat rentan terhadap perubahan iklim global.

Pekan Gurita dan Penutupan Sementara (Temporary Closure) yang dilakukan adalah alasan-alasan di mulainya implementasi pengelolaan sumber daya pesisir dan laut  dengan pendekatan adaptasi ekologi-sosial (resiliensi eko-sosio system) sebagai dasar pengelolaan ekosistem berkelanjutan.

Sebagai satu kesatuan dari implementasi konsep Community based Marine Management (CBMM), apa yang dilakukan oleh masyarakat Desa Merpas dan Linau dapat dibaca sebagai usaha jangka Panjang bahwa pengelolaan pesisir dan laut akan berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan dan kelestarian ekologis dengan syarat; Pertama, mempertimbangkan kepentingan dan hak-hak masyarakat, kepentingan kebijakan pembangunan stretegis dan kepentingan yang bersifat khusus. Kedua, pendekatan bio-ekoregion yang saling terkait di antara sub-ekosistem yang mengambarkan kondisi kondisi fisik bio-ekoregion. Ketiga, pengumpulan data dan informasi yang digali dari berbagai persepsi masyarakat yang tergantung hidupnya terhadap eksistem pesisir dan laut, data dan informasi yang digali berbasis historis tentang kejadian-kejadian berkaitan dengan pemanfaatan dan implikasi keberlanjutan yang akan ditimbulkan akibat dari proses pemanfaatan dan perlindungan dalam penetapan zonasi.

Pertanyaannya, apa urgensi menjadikan masyarakat sebagai actor utama dalam pengelolaan sumber pesisir dan laut? Karena krisis pengelolaan sumberdaya alam yang terjadi beberapa dasawarsa belakangan ini merupakan dampak dari Hak Menguasai Negara yang menekankan pada paradigma stated based natural resources, bahwa ‘paradigma pengelolaan sumberdaya alam yang berbasis Negara cenderung memberikan kewenangan yang penuh kepada Negara untuk mengklaim, menguasai, memiliki dan mengatur pengelolaan sumberdaya alam, sehingga secara sistemik Negara menegasikan klaim-klaim Masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alamnya’.

Dengan adanya paradigma pengelolaan sumberdaya alam berbasis Negara yang sangat dominan tersebut, menjadikan sistem perencanaan pengelolaan sumberdaya alam yang dibuat menjadi sangat sentralistik (instructional planning), disebabkan oleh kondisi Negara yang terhegemoni oleh sistem kapitalisme dan kondisi politik Negara yang berkembang. Kebijakan Negara yang dibuat oleh pemerintah sangat berpihak kepada para pemilik modal.

Dengan kata lain, Negara memberikan berbagai fasilitas kemudahan yang memungkinkan para pengusaha besar menguasai sumberdaya alam untuk membesarkan modalnya dan secara nyata tidak mengakomodir kepentingan Masyarakat. Bahkan memberi ruang bagi para pemilik modal besar agar menjadi lebih tertarik dan mau menanamkan modalnya pada eksploitasi sumberdaya alam khususnya pada sektor pesisir dan laut dengan harapan Negara akan memperoleh devisa yang sebesar-besarnya dari berbagi aktivitas-aktivitas tersebut.

Community based Marine Management (CBMM) menhharuskan terjadinya emansipasi dan pastrisipasi sebagai antithesis sentralistik dan instructional planning. Emansipasi dan partisipasi memiliki tiga pilar utama, yaitu; a) dalam partisipasi bukan semata-mata keterlibatan secara jasmaniah, tetapi juga keterlibatan mental dan perasaan, b) adanya kesediaan memberi suatu sumbangan kepada usaha mencapai tujuan kelompok, dan c) adanya unsur tanggung jawab.

Dengan mengacu pada upaya political empowernment, maka partisipasi haruslah berprinsip pada lokalitas dan melepaskan diri dari paradigma yang bersifat dependency creating. Maka, dalam upaya menyukseskan pelaksanaan pembangunan sector pesisir dan laut diperlukan adanya partisipasi aktif dari masyarakat. Pada aras local, sebagaimana yang dilakukan oleh Masyarakat di Merpas dan Linau melalui temporary closure, penadataan, penguatan kapasitas kelambagaan dan enumerator, kampanye gurita merupakan upaya dalam mengoptimalkan partisipasi masyarakat, inisiatif, inovatif, dan kreatif untuk mendorong kemajuan otonomi masyarakat dan menegakkan demokrasi pegelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang selama ini “terpendam” dan telah dimiliki masyarakat.(NL)