Obsesi besar Pemerintah untuk memajukan Indonesia melalui program pembangunan telah berdampak pada corak pedesaan prakapitalisme. Kapitalisme yang hadir melalui program industri perkebunan telah melakukan komodifikasi hampir semua barang, jasa, tenaga kerja dan tanah. Fenomena ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah semakin meningkat. Kebijakannya fokus pada usaha peningkatan produktivitas untuk pertumbuhan ekonomi. Penataan aset produksi diabaikan. Akibatnya, masyarakat marjinal yang hidup dengan corak pedesaan prakapitalisme semakin terabaikan. Masyarakat di desa-desa kehilangan akses terhadap tanah akibat dari praktek okupasi lahan (land rabbing) untuk kepentingan industri perkebunan, pembatasan akses terhadap sumber daya tanah beriringan dengan semakin maraknya kriminalisasi yang dilakukan oleh aparat terhadap petani yang membutuhkan tanah.

Perjalanan dan interaksi selama dua hari yang dilakukan penulis dengan masyarakat Malin Deman Kabupaten Mukomuko, menunjukan bahwa apa yang disebut diatas pada faktanya memang tejadi. Praktek okupasi lahan (land rabbing) sangat gamblang sekali kita lihat akibat dari hadirnya industri perkebunan di atas lahan-lahan milik masyarakat. Kehadirannya mencerminkan suatu tindakan dalam rangka melakukan penundukan masyarakat satu terhadap masyarakat lainnya. Jalan masuknya melalui berbagai cara, mulai dari penataan wilayah, penciptaan aturan hukum, membentuk sistem birokrasi baru hingga misi-misi civilization.

Kehadirannya yang dominatif merupakan penyebab lahirnya ketimpangan penguasaan agraria, salah satu perusahaan menguasai lahan seluas 1.889 Ha sementara masyarakat tidak ada yang melebihi 5 ha dan bahkan ada ratusan masyarakat yang tidak memiliki tanah. Impresi dari ketimpangan penguasaan tanah adalah ketimpangan sosial dan konflik sosial yang ujungnya merusak norma, adat dan budaya yang ada.

Industri perkebunan kadang-kadang hadir dengan cara membujuk, seringkali dengan cara paksaan dan selalu berlingkup dalam suasana konflik yang melahirkan struktur sosial baru di sektor ekonomi, social, budaya maupun kewilayahan. Kehadiran struktur sosial baru selalu saja disertai dengan dampak ikutan yaitu konfik dan kekerasan.[1]

Puluhan tahun Masyarakat di Malin Deman Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu telah merasakan dampak dari kehadiran perusahaan perkebunan akibat praktek okupasi lahan (land rabbing). Kehadirannya menggambarkan pola perampasan legal di tengah-tengah masyarakat petani subsisten dengan melakukan eksklusi ruang hidup masyarakat. Tindakan penyingkiran terlihat dengan sangat jelas, wilayah Malin Deman didominasi oleh kekuatan empat onderneming  perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Alno Agro Utama, PT Agromuko, PT Daria Dharma Pratama (PT DDP) dan PT Bumi Bina Sejahtera (PT BBS).

Kekuatan onderneming tersebut didukung oleh sistem politik “kolonialisasi” dan kapitalisme, yang pada prinsif dasarnya melakukan penakluklan, perampasan dan menuntut pelipatgandaan modal secara terus menerus dan mengutamakan bekerjanya modal sebagaimana pada konsep primitive accumulation.

Konflik lahan yang dialami oleh masyarakat Malin Deman di atas lahan Hak Guna Usaha milik PT Bumi Bina Sejahtera (PT BBS) adalah gambaran bagaimana petani kecil dan petani tak bertanah (landless peasants) melawan investor yang ingin menguasai tanah dalam skala luas. Simtom yang paling mendalam dalam konflik agraria seperti yang terjadi di Malin Deman adalah menguatnya relasi modal dalam struktur kekuasan dan relasi kekuasan. Negara dengan otoritasnya telah membuka ruang terjadinya eksklusi terhadap lahan-lahan masyarakat.

Negara menciptakan kebijakan liberalisai salah satunya melalui Surat Keputusan Menteri Pertanahan No: 42/HGU/BPN/1995 Negara memberikan hak penguasan lahan seluas 1.899 Ha kepada PT Bumi Bina Sejahtera di atas lahan milik warga Malin Deman. Lahan yang diberikan oleh Negara diterlantarkan dibiarkan tidak produktif sampai tahun 2005 kemduian melahirkan benturan-benturan sosial di bawah.

Atas dasar skema corporate rescue PT Daria Dharma Pratama mengakuisisi lahan yang diterlantarkan. Strategi ini biasa dilakukan oleh para kreditor untuk perusahaan pailit dengan cara menghindari likuidasi. Hanya berdasarkan pada surat utang piutang Negara cabang DKI Jakarta No SPPPNL-26 tanggal 10 Mei 2012 dan lagi-lagi Negara melegitimasi penguasaan lahan oleh PT Daria Dharma Pratama seluas 1.889 Ha.

Kehadirannya membuka ruang perseteruan baru. Dari benturan sosial yang dialami oleh Masyarakat Malin Deman berlahan bertransformasi pada benturan dan persoalan yuridis. Klaim hak dari para pihak menyebabkan terjadinya kekaburan penguasaan Hak Guna Usaha. Dalam setiap benturan yang terjadi unsur-unsur kekerasan, tindakan intimidasi dan kriminalisasi selalu melingkupinya.

Perampasan tanah yang dilakukan atas nama pembangunan industri perkebunan kelapa sawit telah memicu perlawanan masyarakat. Cara-cara penguasaan lahan yang dilakukan dengan tidan fair oleh perusahaan menimbulkan perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat baik yang tergabung dalam Perkumpulan Petani Pejuang Bumi Sejahtera (PPPBS) maupun oleh kelompok masyarakat adat tergabung dalam system Kaum. Sebelumnya, selama puluhan tahun perlawanan dilakukan secara individual. Apa yang dilakukan oeh petani yang mengabungkan dirinya dalam Perkumpulan Petani Pejuang Bumi Sejahtera (PPPBS) merupakan tindakan sadar mengkolektifkan pola perlawanan. Mereka sadar sebagaimana yang disampaikan oleh bahwa Scott bahwa kekuatan pola perlawanan secara indivudual “Sebagaimana jutaan binatang kecil di laut, mau tidak mau menciptakan batu karang. Demikian juga ribuan aksi perlawanan individu menciptakan tembok karang politik dan ekonomi. Namun, jarang sekali orang yang melakukan tindakan-tindakan kecil itu berusaha menarik perhatian orang kepada dirinya, sebab keamanan mereka justru terletak pada anonimitas mereka”

Dalam benturan di konflik yang terjadi pada tahun 2022 setidaknya 60-an orang petani telah merasakan tindakan refresif sekaligus kriminalisasi, 187 orang telah kehilangan hak tanah dan 40 orang anggota Perkumpulan Petani Pejuang Bumi Sejahtera (PPPBS) secara kolektif ditahan dan di keriminalisasi dan kemudian dibebaskan. Ancaman benturan dan kriminalisasi masih terus akan terjadi, walaupun secara formal pendekatan pempidanaan tidak bisa dilakukan kepada petani. Proses pemaksanan pempidanaan terhadap petani yang menuntut hakny atas tanah dijadikan sebagai legitimas oleh perusahaan untuk menguasai lahan. Mereka di bebaskan dari jeratan hukum dengan syarat mengakui lahan perusahaan dan tidak melakukan tindakan yang sama sesuai dengan dakwaan.

Pemaksaan pemidanaan merupakan bentuk dari kriminalisasi, dengan kata lain bentuk dari prison industril complex. Visibilitas dari kriminalisasi adalah bahwa isu kejahatan selalu saja diciptakan oleh agen yang diberi wewenang (authorized agents) dan hukum dijadikan instrumen penjaga kelanjutan kekuasaan oligarkis melalui kriminalisasi apa saja yang dianggap bertentangan dengan kepentingan ekonomi dan politik penguasa.

Pertentangan dengan kepentingan ekonomi kapitalis selalu saja melahirkan refresifitas aparat, benturan social telah melahirkan aktor-aktor lokal sebagai free raiders, memunculkan kecurigaan antar warga semakin tingginya dań proletarisasi petani menjadi buruh harian di beberapa perusahaan perkebunan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Perubahan paling dramatis yang terjadi di Malin Deman secara berlahan-lahan dan massif adalah upaya yang untuk selamanya memisahkan mereka dari dunia masa lampau. Dunia prakapitalis. Mereka diarahkan pada kematian petani. “the death of peasantry” akibat dari kekuatan ekonomi politik yang menghasilkan kecenderungan pengurangan jumlah kelas petani di pedesaan. Dan, Deagrarianization, mengecilkan pengaruh pedesaan pada kehidupan rakyatnya dan saat ini semakin menunjukkan kecilnya andil kerja-kerja dari dunia agraris bagi ekonomi rakyat, perubahan orientasi hidup, identifikasi sosial, dan perubahan lokasi hidup.(NL)

[1] Erwin Basrin, Menyingkap Persoalan Agraria Melalui Anotasi Advokasi Kasus Tanah di Bengkulu, 2018.